Lebih Mesra “Berpacaran” dengan Allah di Akhir Ramadhan

*) Oleh: Ilung (Sang Revolusioner)

IBADAH puasa adalah saat-saat memelihara keintiman hubungan dengan Allah SWT. Puasa itu terkadang bersifat sangat pribadi. Kesempurnaan puasa hanya diketahui oleh Allah dan pribadi yang menjalankannya.

Ibadah puasa pada dasarnya adalah sebuah kontemplasi tahunan, wadah bagi manusia untuk merenung. Demikian disampaikan Emha Ainun Najib (Cak Nun), dalam beberapa acara pengajiannya.

“Puasa adalah kesempatan pacaran dengan Allah, berdua. Maka dari itu, Idul fitri pun hanya satu malam yang merupakan puncak dari kesunyian dengan Allah,” ujarnya di hadapan para jemaah.

Tokoh Nasional yang lebih akrab di panghila Cak Nun, ini pun mengaku keheranan dengan cara perayaan bulan puasa masyarakat yang lebih sering dengan keramaian. “Puasa itu sangat pribadi untuk setiap manusia dan Allah. Puasa adalah kontemplasi,” ujarnya.

Ia melanjutkan, Allah SWT sudah menciptakan suatu siklus hidup yang dalam setahun diberikan waktu khusus bagi manusia untuk bertafakur, beritikaf, dan berkontemplasi.

Hal ini sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu berkata, Rasulullah sallallahu’alai wa sallam bersabda, “Allah berfirman, ‘Semua amal anak Adam untuknya kecuali puasa. Ia untuk-Ku dan Aku yang akan membalasnya.”

Di bulan puasa terlebih pada 10 hari terakhir Ramadhan (Itskum minannar) dan terdapat ‘Lailatulqodar’, namun, fenomena kaum muslim justru lebih gemar pada keramaian. Realitanya tentu kita sendiri yang merasakannya masing-masing, akan tetapi secara umum indikasinya bisa kita saksikan sendiri dari maraknya pencari THR, makin “maju”nya Shaf Sholat Terawih di Masjid-masjid atau Mushola dan justru makin ramainya tempat-tempat perbelanjaan, dan sebagainya.

Kalau mengacu pada Ayat 183 Surat Al-Baqarah, kita ummat Islam diperintahkan Allah SWT berpuasa di bulan Ramadan dimana ending atau outputnya adalah “La’allakum Tattaquun”. Maka bila dinalar, bertaqwa yang kita raih sejalankah dengan fenomena yang terjadi?

Padahal di 10 hari akhir Ramadhan atau penghujung bulan suci ini banyak hikayat yang menceritakan para Waliallah yang bersedih dan menangis karena bulan yang agung ini akan meninggalkannya.

Apalagi Rasulullah SAW, sebagai panutan kita yang harus diteladani adalah meningkatnya intensitas amalan ibadah beliau di akhir bulan Ramadhan.

“Adalah Rasulullah SAW jika telah masuk sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, beliau mengencangkan kainnya, menghidupkan malamnya, dan membangunkan keluarganya.” (HR. Bukhari-Muslim).

Hikmah di balik meningkatnya volume ibadah Rasulullah SAW itu adalah karena sepuluh hari yang terakhir ini merupakan penutup bagi bulan Ramadhan, sedangkan amal perbuatan itu tergantung pada penutupannya atau akhirnya.

BI Banten

Berikut ini adalah amal-amalan ibadah yang dilakukan oleh Rasulullah SAW di sepuluh hari yang terakhir :

-Menghidupkan Malam.
Menghidupkan malan di sini mengandung kemungkinan bahwa beliau menghidupkan seluruh malamnya atau kemungkinan pula beliau menghidupkan sebagian besar darinya.

Aisyah ra berkata:
“Tidak pernah aku melihat beliau (Rasulullah SAW) melakukan ibadah pada malam hari hingga pagi harinya dan berpuasa selama satu bulan penuh kecuali di bulan Ramadhan.” (HR. Muslim)

-Membangunkan Keluarganya.
Amalan ini menjelaskan bahwa Rasulullah SAW membangunkan keluarganya untuk mengerjakan shalat sunnah pada malam-malam sepuluh hari yang terakhir. Padahal, hal demikian tidak beliau lakukan di malam-malam yang lain.
Diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib: ia berkata: “Rasulullah SAW membangunkan keluarganya di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan.” (HR. Turmudzi)

-Mengencangkan Ikat Pinggang
Maksudnya, beliau menjauhkan diri dari menggauli istri-istrinya. Diriwayatkan bahwa beliau tidak kembali ke tempat tidurnya sampai rampungnya bulan Ramadhan. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Anas disebutkan bahwa beliau melipat ranjangnya dan menjauhkan diri dari menggauli istri.

Tapi kalau Anda sedang ‘ngodod’ tentunya lebih baik Anda menunaikan ‘hajat’ terlebih dahulu, barulah Anda kembali fokus dalam menghidupkan malam-malam di sepuluh hari yang terakhir ini.

-Mandi antara Maghrib dan Isya`,
Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Aisyah, ia berkata:
“Di bulan Ramadhan, Rasulullah biasanya tidur dan bangun malam, namun jika telah masuk sepuluh hari terakhir, beliau mengencangkan ikat pinggang, menjauhi istri-istrinya, dan mandi di waktu antara Magrib dan Isya.”

Hikmah yang bisa dipetik dari amalan ini adaah untuk menghadirkan kesegaran dan kebugaran pada tubuh sehingga kuat dalam memburu malam demi malam untuk meraih malam yang lebih baik dari seribu malam, yakni Lailatul Qodar.

Amalan kelima bisa dilakukan, kecuali oleh Anda yang memiliki rekam jejak penyakit tulang dan persendian seperti encok, rematik, dan sebagainya.

-Iktikaf.
Aisyah berkata:
“Nabi SAW melakukan iktikaf di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan sampai beliau meninggal. Kemudian, istri-istrinya yang melakukan iktikaf sepeninggal beliau.” (HR. Bukhari-Muslim)

Tujuan nabi melakukan iktikaf pada sepuluh hari terakhir ialah untuk menghentikan berbagai rutinitas kesibukannya, mengosongkan pikiran, mengasingkan diri demi bermunajat kepada Allah, berdzikir dan berdoa kepada-Nya.

Semoga Allah SWT memberi kita kemampuan dan hidayah-Nya untuk kita bisa melakukan amalan-amalan ibadah yang telah dilakukan oleh Rasulullah SAW dalam mengisi sepuluh hari yang terakhir di bulan suci ini.

Wallahu A`alam bis Shawaab. (*)
Penulis adalah Jurnalis Fakta Banten Online

KS Anti Korupsi
WP-Backgrounds Lite by InoPlugs Web Design and Juwelier Schönmann 1010 Wien