Memaknai Esensi Nuzulul Qur’an di 17 Ramadhan

*) Oleh: Ilung (Sang Revolusioner)

FAKTA BANTEN – Tak terasa kita sudah melewati petengahan puasa di bulan Ramadhan. Malam ini (11/06/2017), kita sudah memasuki malam ke-17 sebagai malam yang di sebut dengan malam Nuzulul Qur’an, dimana Al-Qur’an diturunkan untuk ummat manusia.

Mungkin tidak sedikit yang masih belum memahami pengertian Nuzulul Qur’an, sehingga malam yang istimewa ini dianggap biasa, sama seperti malam – malam yang lainnya.

Maka perlu kiranya terlebih dahulu kita ketahui, secara harfiyah atau secara bahasa, Nuzulul Qur’an berasal dari dua kata, Nuzul yang berarti Turun dan Qur’an artinya kitab suci Al- Qur’an. Jadi, secara bahasa Nuzulul Qu’an berarti diturunkannya Al-Qur’an.
Secara istilah, Nuzulul Qur’an berarti suatu peristiwa penting dalam momen penurunan Al- Qur’an secara keseluruhan diturunkan dari Lauhul Mahfuz ke Baitul Izzah di langit dunia, hingga diturunkan secara berangsur-angsur kepada Rasulullah SAW sesuai dengan peristiwa-peristiwa dalam jangka waktu kurang lebih 23 tahun.

Walaupun ada perbedaan pendapat di kalangan Ulama mengenai waktu terjadinya Nuzulul Qur’an, hal ini dikarenakan karena tidak ada keterangan yang resmi atau yang mendasari mengenai waktu tepatnya Nuzulul Qur’an.
Ada yang meriwayatkan Nuzulul Qur’an terjadi pada tanggal 17 Ramadhan, ada pula yang mengatakan tanggal 21 ramadhan, ada juga yang mengatakan tanggal 23 dan 24 Ramadhan.
Namun karena begitu mulianya kitab suci Al- Qur’an, maka para ummat muslim enggan memperdebatkannya dan lebih memilih memperingati malam Nuzulul Qur’an mulai tanggal 15 sampai dengan tanggal 24.

Dan kita ummat muslim di Indonesia selama ini umumnya memperingati malam Nuzulul Qur’an pada tanggal 17 Ramadhan. Cara memperingatinya biasa ada yang menjalankannya dengan Khataman Al-Qur’an sendiri dan berkelompok, ada juga yang memperingatinya dengan mengadakan lomba musabaqoh sampai tausiah Kyai dengan tema Nuzulul Qur’an. Tentu saja hal ini dilakukan untuk memuliakan Al-Qur’an dan mengenang pertama kali Rasulullah SAW mendapat wahyu “Iqra” dari Allah SWT melalui Malaikat Jibril, ayat yang pertama dari Surat Al-‘Alaq ayat 1- 5. Saat itu Rasulullah SAW berada di Gua Hira’.

Dari ayat di atas, dapat kita fahami bersama bahwa ayat yang pertama kali turun merupakan ayat yang memerintahkan kita untuk membaca, supaya kita tahu petunjuk hidup dan dapat membedakan hak dan batil.

Bahkan kalau kita ingin menggali sejarah awal mula dan substansi Al Qur’an, jauh sudah ada sebelum Nabi Muhammad SAW yang sejarah mengenalnya pernah hidup di dunia selama 63 tahun. Beliau terlahir dari rahim seorang ibu bernama Siti Aminah, dan bapak Abdullah. Adapun Nur Muhammad, telah diciptakan oleh Allah sebelum, Kanzul Jannah, Malaikat, Jin, bahkan sebelum seluruh jagad raya ini ada. Ketika Nur Muhammad diciptakan disitulah Al-Qur’an ‘included’ (termasuk).

Nur Muhammad yang pertama kali diciptakan oleh Allah SWT, dan karena Allah cinta pada cahaya yang terpuji itu, maka Allah menciptakan yang lainnya.
Berdasar teori ‘Nur Muhammad’, jika ayat ‘Iqra’ bukan momentum lahirnya eksistensi Al-Qur’an, berarti ia merupakan momentum ‘aplikasi’ Al-Qur’an. Jika demikian, Al-Qur’an sebagai “programming” telah ada sebelum aplikasi itu turun. Hanya saja, sebagaimana air mendidih jika mencapai derajat panas tertentu, Al-Qur’an – sebagai puncak kesempurnaan kitab-kitab sebelumnya – diturunkan ketika kondisi kesiapan (umat manusia) terpenuhi.

Al-Qur’an sejatinya itu nilai, tidak bisa dilihat secara kasat mata. Apa yang berupa lembaran dan terjilid di rumah masing-masing itu adalah mushaf.

Untuk memahaminya lebih mudah, cobalah cara pandang bahwa Al-Qur’an itu memiliki tiga dimensi. Dimensi pertama ialah teks atau mushaf yang secara umum ummat Muslim baca dan simpan di rumah masing-masing. Kedua ialah esensi atau substansi yang berupa ajaran Al-Qur’an itu sendiri. Ketiga, dimensi kontekstual, penerapan atau aplikasinya.

Jika Nuzulul Al-Qur’an hanya dikaitkan dengan ayat “Iqra”, siapapun bisa mempelajarinya dengan mudah dari sejarahnya dan penjelasannya di berbagai kitab. Tapi kapan Al-Qur’an itu turun di dalam hati kita? Apakah kita telah menyadarinya? Mungkin saja hanya sampai di mata, lidah dan telinga tapi tidak di hati.

Sebagai contoh, bagaimana nilai-nilai Al-Qur’an termanifestasi dalam setiap gerak-gerik akhlak Rasulullah. Sedemikian, sehingga Nabi Muhammad disebut Al-Qur’an berjalan. Jika Rasulullah itu merupakan Al-Qur’an berjalan, bagaimana dengan posisi Al-Qur’an pada diri kita masing-masing?

Maka, di momen Nuzulul Qur’an ini ada baiknya kita introspeksi diri. Karena sejatinya, nilai-nilai Al-Qur’an telah ada dalam diri manusia masing-masing bahkan seluruh alam semesta ini bermuatan firman-Nya.

Masalahnya, kita menggalinya ataukah tidak?

Wallahu’alam bishowab… (*)
*) Penulis adalah Jurnalis Fakta Banten Online

Honda