Dewan Pertimbangan MUI: Tidak Tepat Mengganti Kata Kafir dengan Muwathinun
JAKARTA – Polemik seputar penggantian istilah kafir menjadi muwathinun (warga negara) masih terjadi. Pro-kontra itu muncul setelah Bahtsul Masail Munas dan Konbes Nahdlatul Ulama 2019 yang dilaksanakan di Banjar, Jawa Barat, beberapa waktu lalu menetapkan rekomendasi, antara lain, tidak lagi menggunakan istilah kafir bagi warga negara Indonesia yang non-Muslim.
Terkait hal itu, Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Prof Din Syamsuddin menerangkan, istilah kafir dan muwathin berada di dua ranah berbeda, yakni kategori teologis-etis dan sosial-politik. Maka dari itu, tidak tepat bila yang satu menggantikan yang lain.
Lebih lanjut, dia menilai ada hal yang lebih mendesak untuk dibahas ketimbang persoalan mengganti istilah kafir menjadi warga negara, yakni paradigma demokrasi yang berlaku di Tanah Air saat ini. Hal demikian, bagaimanapun, masih berkaitan dengan implementasi kewarganegaraan (muwathanah).
Menurut Din, muwathanah menuntut adanya rekrutmen politik yang berdasarkan prestasi individual (meritokrasi) bila demokrasi di Indonesia dipahami sebagai manifestasi kebebasan dan persamaan hak politik (political liberty and equality) di antara warga negara. Imbasnya, tidak relevan lagi isu mayoritas-minoritas.
Sebaliknya, jika isu mayoritas-minoritas demografis itu dipertahankan, apalagi dikaitkan dengan realitas historis dan sosiologis, maka paradigma demokrasi semestinya bersifat kultural.
Din menegaskan, problem demokrasi hari ini adalah, apakah Demokrasi Pancasila, yang berbasis pada sila keempat (“Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan”), mengandung arti demokrasi liberal atau demokrasi multikultural?
Corak yang pertama mendesak adanya pseudo-meritokrasi, sedangkan corak yang lain menuntut adanya inklusi, toleransi, dan solidaritas sosial.
“Pilihan bangsa terhadap corak demokrasi yang ingin diterapkan berhubungan erat dengan konsep muwathanah yang perlu kita pahami,” ujar Din Syamsuddin dalam keterangan tertulis yang diterima Republika.co.id, Selasa (5/3).
“Maka pada hemat saya, tafsir jama’iterhadap sila keempat Pancasila itu jauh lebih mendesak ketimbang mengangkat isu muwathin/warga negara dengan mengaitkannya dengan istilah kafir, terutama dalam suasana politik sensitif yang rentan memunculkan prasangka buruk yang tidak semestinya,” kata ketua umum PP Muhammadiyah 2005-2015 itu meneruskan.
Bagaimanapun, Din mencoba untuk memahami maksud baik di balik keputusan mubes dan konbes tersebut. Pendiri CDCC itu mengira, maksud PBNU adalah agar para penerima rekomendasi tidak membawa-bawa urusan agama ke dalam politik.
“Seperti menyebut istilah kafir kepada sesama anak bangsa karena mereka adalah sesama rakyat warga negara atau muwathin. Kalau demikian adanya, maka itu merupakan ‘pandangan hukum keagamaan atau fatwa.’ Oleh karena itu, terserah kepada ‘pasar bebas’, mau membeli atau menolak,” tutur Din yang juga ketua Center for Dialogue and Cooperation among Civilizations (CDCC) itu.
Dugaan lainnya, PBNU menegaskan untuk kesekian kalinya pesan-pesan moral. Misalnya, jangan mudah menuduh dan melabeli pihak lain dengan berburuk sangka. Sebab, tuduhan atau labelisasi itu mencerminkan moralitas superior dan arogan.
“Maka, kepada umat Islam, mulai sekarang jangan ada lagi yang saling mengafirkan, saling menghina, seperti ‘kamu Wahabi, Salafi, atau Khilafati (maksudnya pendukung khilafah)!’ Sesuai firman Ilahi, ‘Yang menghina belum tentu lebih baik dari yang dihina.’ Allahu a’lam bis shawab.” (*/Republika)