Greenpeace Soroti Dampak Lingkungan dan Kesehatan Warga di Sekitar PLTU di Cilegon
CILEGON – Kota Cilegon sebagai salah satu kota yang memiliki Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) tertua, yang berlokasi di Kelurahan Suralaya, Kecamatan Pulomerak, mendapat sorotan serius dari Non-Government Organization (NGO) Dunia, terkait aktivitas 8 pembangkit listrik yang menggunakan bahan bakar batu bara di wilayah tersebut.
Selain berdampak pada persoalan Inpeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA), yang mencapai ratusan ribu kasus sebagaimana data Dinas Kesehatan Kota Cilegon, Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, Didin Wicaksono mengungkapkan, dampak negatif lingkungan selalu menghantui masyarakat di Kelurahan Suralaya, Kota Cilegon, sebagai wilayah yang sudah memiliki 8 PLTU yang beroperasi.
Lokasi lingkungan pemukiman di Suralaya semakin mengkhawatirkan, ditambah beberapa PLTU swasta yang dimiliki oleh pabrik-pabrik besar di sana. Tentu, akan menimbulkan dampak kesehatan tersendiri, khusus dampak kesehatan yang ditimbulkan dari polusi udara.
“Apalagi salah satu PLTU di Suralaya adalah PLTU tertua di Indonesia, yang seharusnya sudah dihentikan operasinya. Semakin bertambahnya jumlah PLTU disana jelas akan membuat kewalahan daya dukung wilayah tersebut,” ungkap Didin Wicaksono dari Greenpeace Indonesia, Selasa (23/6/2020).
Dan, dampaknya akumulasi polusi yang dihasilkan akan semakin tinggi, dan berbahaya bagi penduduk di sekitar wilayah Suralaya dan Pulomerak, khususnya anak-anak dan Lansia.
Kemudian, Didin juga menilai, bila merujuk kepada pembangunan PLTU dengan teknologi yang sama di wilayah lain, kerusakan lingkungan akan selalu muncul dari pembangunan tersebut. Dimulai dari proses pembangunan, hingga ketika proyek tersebut mulai beroperasi, dan wilayah pesisirlah yang pasti akan merasakan dampak paling awal.
“Dimana meningkatnya suhu air, akibat buangan air bahan PLTU menyebabkan kondisi ekosistem perairan akan berubah. Bahkan di beberapa lokasi yang memiliki PLTU untuk waktu yang lebih lama akan menyebabkan (mati) ekosistem di perairan tersebut,” paparnya, saat dihubungi secara daring.
Lebih lanjut, ia menilai akan terjadi sendimentasi ekosistem di perairan dekat aktivitas PLTU, dan lalu lalang tongkang pengangkut batubara di beberapa tempat sering mencemarkan laut, dan tentunya akan memperparah kondisi tersebut.
Kemudian, untuk dampak lingkungan di daratan pun tidak kalah mengerikan, akumulasi fly ash, dan bottom ash yang kebanyakan tidak pernah dikelola dengan baik akan menyebabkan pencemaran lain yang membuat pohon-pohon di sekitar PLTU akan mengalami kekerdilan.
“Pohon juga akan mati, dimulai dari pohon-pohon tinggi seperti kelapa. Hingga tanaman yang ukuranya lebih rendah,” jelas Didin. (*/A.Laksono)