MELIHAT realitas akan semakin berhasratnya kehidupan anak bangsa yang lebih cenderung untuk menumpuk-numpuk kekayaan dan hasrat berebut kekuasaan saya jadi terinspirasi untuk mengkaji nilai-nilai sejarah yang dimiliki oleh masyarakat tanah air pada beberapa abad lalu.
Seperti kita ketahui bersama di perdaban modern yang polarisasinya kebanyakan berkiblat ke dunia Barat saat ini, bahwa tujuan hidup orang indonesia untuk menjadi atau mencapai sesuatu yang kalau kita kategorikan, mungkin adalah, untuk;
1. Kaya
2. Kuasa
3. Pandai
4. Kuat
5. Baik
Namun, hal itu justru keadaannya terbalik di masa silam. Saya pernah mendengar analisis sejarah atau hipotesa, ketika Islam datang ke Nusantara di abad 8 yang belum begitu laku di abad-8 hingga 12 dan 13. Karena yang membawa adalah para pedagang atau saudagar. Bukan berarti pedagang itu tidak baik, tapi karena profesi tersebut dianggap berorientasi pada materialisme dunia, ia sulit diterima oleh masyarakat tanah air.
Sementara masyarakat kita pada waktu itu sudah mencapai peradaban yang sangat tinggi. Dimana kekayaan materi itu merupakan kategori paling rendah di bawah kekuasaan, kekuatan, pandai dan baik. Kebaikan disini bisa kita perluas dimensinya pada kemulian, kebijaksanaan, kearifan dan seterusnya.
Ketika Islam dibawa oleh para orang baik, para sufi, para wali menjelang abad 14. Islam bisa diterima berkembang dan kini sudah seperti kita ketahui bersama, Indonesia menjadi negara Islam terbesar di seantereo dunia.
Tingginya peradaban kita kala itu yang bisa menerima Islam karena dibawakan oleh orang dengan kategori baik. Orang yang tidak berorientasi pada matrealisme, orang yang tidak menomor satukan kekayaan dunia, orang yang mengutamakan kemashlahatan hidup, sosial, budaya, yang pada intinya mengedepankan kemuliaan hidup.
Jadi orang baik itu dipilih oleh orang Indonesia di abad 14, dibanding orang kaya, orang kuasa, orang kuat dan pandai. Tapi justru sekarang yang dipilih oleh orang sekarang adalah orang kaya, baru setelah itu orang kuasa, orang kuat dan pandai. Sedangkan orang baik mungkin kini berada di urutan paling bawah. Entahlah, apakah itu karena pengaruh Barat yang dibawa penjajah sejak abad 16, pengarus sekularisme dan kapitalisme masuk begitu deras.
Dan kini mungkin sudah hampir semua orang Indonesia ingin jadi orang kaya. Dan untuk menjadi kaya orang mau menjadi apa saja, jadi kacung dan penjilat. Orang berkuasa supaya kaya, orang kuat ingin kaya, orang masuk fakultas atau universitas tertentu supaya ia bisa kaya. Bahkan mungkin sekarang menjadi orang baik, ada yang tujuannya menjadi kaya.
Kita saat ini bukan saja mengalami degradasi, tapi pembalikan karakter, pembalikan moral, kejungkir balikan watak yang luar biasa. Sehingga kebaikan dan kemuliaan kita letakan di paling bawah. Dan ini mungkin presepsi saya saja dari riset yang saya lakukan, dan kalau pembaca ingin menyangkalnya silahkan lakukan riset terlebih dahulu.
Jadi kalau dalam hidup ini yang kita utamakan bukan kebaikan dan kemuliaan, sedangkan kebaikan dan kemuliaan jurusannya langsung ke Allah. Sementara kecenderungan orang meraih kekayaan dan kekuasaan tujuannya adalah dunia.
Kalau sudah demikian, kita yang tujuannya dunia ini tapi kok kepingin damai. Tentu saja kita akan terus ribut untuk saling berebut. Kita jurusannya saling bertumpuk kekayaan kok pengen adil? Dengan kondisi saat ini tentu kita akan sulit laksanakan Pancasila Sila Ke-5 yang bunyinya “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia”, karena pada prakteknya yang kita jalankan “Kemakmuran Sosial Bagi Sebagian Rakyat Indonesia”.
Tentu saja ini dengan cita-cita para pendiri bangsa dulu yang merumuskan Pancasila, karena kita kerjaannya rebutan, menumpuk harta kekayaan. Dan ini sangat kontra produktif dengan cita-cita kita yang berharap persatuan, kemulian, masyarakat madani, dan segala macam kebaikan lainnya. Jadi kita akan sulit mencapai semua itu.
Maka oleh karena itu, melalui tulisan ini, saya ingin menggugah para pembaca untuk merenung, untuk bermuhasabah nasional. Dengan harapan bisa menjadi inspirasi semua bagi anak bangsa supaya bernaluri bisa mendirikan Indonesia di mulai dari diri kita sendiri yang penuh kemuliaan dan penuh kenyamanan batin dengan kesejahteraan rohani di dalam diri kita, keluarga kita dan masyarakat sejauh bisa kita jangkau. (*)
*) Penulis: Ilung (Sang Revolusioner)