Melihat Sisa-sisa Geliat Kehidupan Santri di ‘Kota Industri’

CILEGON – Julukan ‘Kota Santri’ yang dulu disematkan kepada Cilegon sepertinya sangat berdasar dan memang pantas, bila melihat banyaknya Pondok Pesantren, Majelis Pengajian di Kampung-kampung serta keberadaan Masjid yang hampir ada di setiap pemukiman warga di kota ini.
Dan seiring dengan perkembangan zaman dimana industri berkembang begitu pesat yang bersambutan dengan gelombang dan informasi modernisasi global di kota ini, seakan meredupkan julukan yang sudah ada atau terstigma sebelumnya. Hal ini terbukti dari fakta akan santernya julukan (baru) kepada Kota Cilegon dengan ‘Kota Industri’.
Namun, apalah arti julukan bila memang ‘ke-Santri-an’ di kota ini masih tetap ada. Dan dengan begitu justru bisa membuat para santri lebih ‘nothing too lose’ jadi tidak mau dipuji-puji, lebih terseleksi dan dengan hadirnya ‘iming-iming’ glamournya dunia modern sekarang bahkan justru para santri di Cilegon lebih terlatih dan teruji ke-Santri-annya.
Secara historis, eksistensi santri di Cilegon sudah sejak berabad-abad silam, mengingat Cilegon adalah wilayah Kerajaan Islam Banten, para santri juga menjadi pelopor kaum petani melawan Pemerintah Belanda sampai pejuangan terwujudnya kemerdekaan.
Seperti halnya para Santri di Ponpes (Pondok Pesantren) Salafi Darunnajah yang berada di Kampung Kubang Welut Kulon, Kelurahan Banjarnegara, Kecamatan Ciwandan ini, saat Fakta Banten bersilaturahmi Senin malam tadi (8/5/2017), puluhan santri tampak serius menyema’ dan menggoreskan tinta diatas Kitab Kuning ‘Syarah Mukhtaarul Ahaadiits’ yang diajarkan langsung oleh Kyai Khomsin, selaku pimpinan Ponpes Darunnajah ini.
Ponpes Salafi yang masih mempertahankan ke khasan tradisional berupa tembok bangunan ‘kobong’ dari bilik bambu ini berdiri sekitar tahun 80-an pada saat dunia industri di wilayah tersebut mulai berkembang.
“Persisnya kurang tahu ya, kayaknya sih sekitar tahun 80-an lah, waktu pabrik Krakatau Steel mulai rame,” tutur Kyai Khomsin.

Kitab kuning dalam pendidikan agama Islam, merujuk kepada kitab-kitab tradisional yang berisi pelajaran-pelajaran agama Islam (Diraasah Al-Islamiyyah ) mulai dari Aqidah, Akhlaq, Fiqih, Tasawuf, Tata Bahasa Arab (Nahwu Sharf ), Hadits ,Tafsir ‘Ulumul Qur’an, hingga ilmu sosial dan kemasyarakatan atau mu’amalah.
Selain di Ponpes, Kitab Kuning yang dikenal juga dengan sebutan ‘Kitab Gundul’ karena memang tidak memiliki harakat (Fatthah, Kasroh, Dhommah, Sukun) ini juga digunakan di dalam pendidikan madrasah serta pengajian-pengajian di Majelis Ta’lim di Kota Cilegon.
Dan sepulang dari Ponpes Darunnajah, Fakta Banten juga menjumpai aktivitas pengajian Kitab Kuning di Majelis Al-Hidayah yang diajarkan oleh Ustadz Martin Suhaemi di Kampung Palas, Bendungan.
Ibarat “Titik-titik Oase ditengah Padang Pasir”, Pondok ini menjadi penyejuk umat Islam di kota yang makin pengap oleh hingar bingar ‘derap sepatu’ pembangunan dan glamournya dunia modern.
Terlebih adanya ‘susupan’ rencana Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI yang mulai tahun ajaran baru nanti akan memberlakukan sekolah formal menjadi 8 jam atau full Day School, yang tentu saja akan bertabrakan dengan sistem pendidikan tradisional keagamaan masyarakat Cilegon melalui Madrasah Dinniyah, umumnya diajarkan pada siang sampai sore hari.
Inilah tantangan baru bagi para santri di Cilegon bagaimana mempertahankan eksistensi pendidikan tradisional Madrasah Dinniyah yang merupakan sarana regenerasi santri karena mengajarkan dasar-dasar ilmu agama Islam khususnya dasar mempelajari baca tulis Kitab Kuning ini.
Semoga para santri di Cilegon yang sudah terlatih dan teruji ini, bisa tetap menjaga Oase itu tidak surut apalagi sampai kering dari Gurun Pasir yang terik dan makin meningkat suhu panasnya. (*)