*) Oleh: Eka Cahya Purnama
PEMERINTAH Kota Cilegon melalui Sekretaris Daerah (Sekda) menerbitkan Surat Nomor: 003.2/3555/Pemt, yang mengimbau Camat dan Lurah di Kota Cilegon agar melarang warganya yang akan melakukan takbir keliling.
Keputusan tersebut secara umum mungkin dapat diterima dengan argumen ketertiban dan keteraturan. Pertanyaannya: mengapa perayaan pergantian Tahun Baru Masehi, Pemerintah Kota Cilegon malah memfasilitasi keramaian dan membebaskan siapa saja untuk berkonvoi, menyalakan kembang api dan petasan?
Kita mesti melihat kembali sejarah Cilegon, dimana pada tahun 1.888 terjadi perlawanan besar-besaran yang dikenal dengan nama “Geger Cilegon”.
Perlawanan itu terjadi karena pelarangan adzan menggunakan pengeras suara oleh Belanda, bahkan ada satu menara langgar yang dirobohkan Belanda.
Inilah yang harus dicatat! Cilegon memiliki kultur. Kultur Cilegon jangan dicerabut dengan alasan ketertiban. Jangan sampai kelak kebijakan ini menjadi bola api yang menggelinding di tengah masyarakat.
Oleh karena itu demi kemasalahatan bersama, kebijakan ini harus dicabut.
Kedepan, jika hendak mengeluarkan peraturan yang berkaitan dengan sosio-kultural, baiknya tidak mengambil keputusan tanpa melakukan komunikasi dan penyampaian pemahaman dengan para tokoh masyarakat, tokoh kebudayaan, dan para intelektual di Kota Cilegon. (*)
*) Penulis adalah Ketua BEM STIKOM Al-Khairiyah Cilegon