PHK Massal PT Bungasari Flour Mills, Aktivis Sebut Ada Upaya Penghancuran Serikat Buruh Gaya Baru
CILEGON – Pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap 50 buruh PT Bungasari Flour Mills Indonesia menuai kecaman dari berbagai kalangan.
Salah satu suara kritis datang dari Muhamad Agung Laksono, warga Cilegon dan eks pengurus Dewan Pimpinan Pusat Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (DPP GMNI), yang menyebut tindakan perusahaan sebagai bentuk perusakan demokrasi di dunia kerja.
Dalam pernyataan tertulis yang diterima redaksi, Agung menilai bahwa PHK massal yang dilakukan usai aksi mogok kerja mengindikasikan adanya represifitas terhadap hak-hak buruh, meski manajemen perusahaan membantah bahwa PHK dilakukan karena mogok kerja.
“Sulit untuk tidak melihat adanya korelasi langsung antara aksi mogok yang dilakukan buruh dan keluarnya puluhan surat PHK. Apalagi sebagian besar yang dikenai sanksi adalah anggota dan pengurus serikat,” ujar Agung, Minggu (15/6/2025).
Menurutnya, meski perusahaan berdalih telah mengikuti prosedur peringatan bertingkat (SP1–SP3), hal tersebut tidak serta merta membenarkan tindakan pemecatan.
Terlebih jika tindakan mogok dilakukan sesuai dengan koridor hukum ketenagakerjaan.
“Mogok kerja itu hak yang dijamin oleh konstitusi dan UU Ketenagakerjaan. Jika aksi damai dibalas dengan surat peringatan dan PHK, ini bukan penegakan disiplin — tapi mungkin praktik union busting gaya baru,” katanya.
Agung juga menyoroti dua dari lima tuntutan buruh yang belum dipenuhi, yaitu pencabutan relokasi terhadap salah satu pengurus serikat dan surat peringatan terhadap anggota serikat.
Agung menduga relokasi tersebut merupakan bentuk tekanan tersembunyi terhadap serikat pekerja.
“Ketika pengurus serikat dipindahkan ke luar kota dengan alasan kebutuhan organisasi, kita perlu curiga: apakah ini manuver untuk melemahkan suara kritis di dalam perusahaan?” tambahnya.
Atas kejadian ini, Agung mendesak Dinas Ketenagakerjaan Kota Cilegon dan Provinsi Banten untuk segera melakukan penyelidikan atas dugaan pelanggaran hukum ketenagakerjaan yang dilakukan PT Bungasari.
Ia juga meminta DPRD Kota Cilegon menggelar audiensi terbuka untuk menyerap langsung aspirasi buruh.
“Cilegon dibangun oleh kerja kolektif rakyatnya. Jika buruh dibungkam lewat sanksi dan intimidasi, maka demokrasi kerja sedang dirusak secara sistemik,” tegasnya.
Agung juga mendorong dibentuknya Tim Independen Pengawas Hubungan Industrial di Kawasan Industri Cilegon sebagai upaya pencegahan terhadap praktik pelanggaran hak-hak buruh di masa mendatang.
“Kita tidak bisa menyerahkan sepenuhnya pengawasan relasi kerja kepada perusahaan. Harus ada mekanisme kontrol dari masyarakat sipil, akademisi, serikat buruh, dan pemerintah secara kolektif,” katanya.
Sebagai penutup, Agung menegaskan bahwa demokrasi bukan hanya soal Pemilu, tapi juga menyangkut hak buruh untuk menyuarakan aspirasi tanpa takut kehilangan pekerjaan.
“Buruh bukan komponen produksi yang bisa diganti seenaknya. Mereka punya suara, hak, dan martabat. Demokrasi kerja yang sehat adalah prasyarat industri yang berkelanjutan,” pungkasnya. (*/Red)
