Reklamasi di Pesisir Banten dan Nusantara, Dampaknya pada Manusia dan Bangsa Jin

Dprd ied

*) Oleh: Ilung (Sang Revolusioner)

SAYA kok cemas melihat Reklamasi, Meikarta, serta banyak program dan kontrak-kontrak yang sejenis itu. Apa kita yakin hari esok pasti bisa kita rancang, laksanakan dan kendalikan.

Tentu saja kecemasan saya ini tidak rasional. Karena yang saya cemaskan itu adalah bagian dari kecemerlangan prestasi Pemerintahan Jokowi saat ini yang menurut lembaga-lembaga survei memuaskan 67% rakyat. Bahkan banyak yang meyakini Indonesia kali ini adalah yang terbaik dibanding Indonesia sebelumnya.

Namun demikian, secara pribadi saya tetap siap payung sebelum hujan. Andaikan kita punya Imperium Raksasa menguasai lima benua – apa seluruh kemungkinan bisa diidentifikasi, disimulasi dan di-handle.

Apa setiap pagi tiba, pasti tidak ada yang kita tidak duga. Apa kehidupan, ruang dan waktu ini bisa kita pastikan selalu dalam kontrol kekuasaan kita. Apa semua hal dalam perjalanan sejarah bisa benar-benar kita ketahui dan kuasai. Apakah Banten, Indonesia, manusia, kehidupan dan nasib, begitu remehnya di telapak tangan raksasa dan naga, meskipun kita yang menjadi kuku dan cakarnya.

Kabarnya di Pantai Utara Jakarta dan bisa di titik-titik berikutnya di sepanjang Jawa, mulai dihamparkan bangunan-bangunan metropolitan menyaingi Iroma Dzatil ‘Imad Nabi Hud, atau keagungan fisik kota Negeri Atlantis, bahkan mengalahkan kecanggihan dan kemewahan kota Sulaiman yang menggaji arsitek dan para pekerja dari Masyarakat Jin.

Raksasa itu mempantati tanah kelahiran dan ibukota Negeri saya. Dan mungkin akan membokongi titik-titik lain Utara Pulau Jawa. Negara kita dibokongi Reklamasi.

Reklamasi di Banten

Kita yang di Banten mungkin lebih fokus mengikuti berita pada reklamasi di Jakarta dan tidak melirik atau bahkan tidak tahu praktik reklamasi yang justru sudah, sedang dan akan berlangsung di daerah lain khususnya yang terdekat tempat sendiri, pesisir Banten.

Saya melihat dari Utara ke Selatan begitu banyak titik-titik pantai di Banten ini yang direklamasi.
Di sisi Barat ke Selatan dari Anyer sampai Ujung Kulon, yang pernah saya sisir dalam beberapa bulan terakhir. Reklamasi pada titik ini bila melihat tipology dan prospeknya seperti diperuntukkan guna kepentingan pariwisata modern dimana titik reklamasi terbesar berada di kawasan Tanjung Lesung, Pandeglang.

Sedangkan pada sisi Utara Banten lebih cenderung untuk kepentingan industri-industri raksasa, pada titik-titik di Cilegon dan Serang bisa saya sebutkan, dan untuk di kawasan pantai Tangerang Raya, maaf belum saya pantau secara langsung.

Aktivitas reklamasi di Cilegon sudah berlangsung sejak puluhan tahun lamanya dimana industri mulai merambah kota yang dulu mata pencaharian masyarakatnya merupakan Petani dan Nelayan ini. Dalam beberapa tahun belakangan hingga beberapa hari yang lalu, saya melihat reklamasi terjadi pada titik; pesisir Pantai Kubangsari, Pantai Urugan Merak, Timas Mabak, ASDP Merak, Pulorida, Kelapa Pitu, hingga Suralaya dan Pelabuhan Warnasari.

Sementara reklamasi di Kabupaten Serang dari mulai bekas pantai rekreasi Salira, Sumuranja (Kecamatan Puloampel), Cikubang, Margagiri, dan pada skala besar Lumalang SMI, (Kecamatan Bojonegara), reklamasi yang saya anggap terbesar dan berlangsung sampai bertahun-tahun adalah di Muara Terate hingga Kasemen, dan seterusnya ke sisi Timur hingga belakangan terdengar kabar, warga pemilik tambak di Tenara, mulai dibeli pemilik modal.

Dampak Reklamasi

Padahal yang perlu disadari oleh warga Banten khususnya para pemangku kebijakan yang digaji rakyat adalah dampak negatif dari proses reklamasi pada lingkungan. Dari dampak yang meliputi dampak fisik lingkungan, sosial hingga dampak pada perekonomian warga.

Dampak fisik seperti halnya perubahan hidro-oseanografi, sedimentasi, peningkatan kekeruhan air, pencemaran laut, peningkatan potensi banjir dan genangan di wilayah pesisir, rusaknya habitat laut dan ekosistemnya. Selain itu, reklamasi juga akan berdampak pada perubahan sosial ekonomi seperti kesulitan akses publik ke pantai, berkurangnya mata pencaharian.

Beberapa dampak negatif yang ditimbulkan dari dilakukannya Reklamasi Pantai, yaitu potensi banjir, ketersediaan bahan urugan yang menggunduli perbukitan dan pegunungan di sekitarnya, perubahan pemanfaatan lahan, ketersediaan air bersih, pencemaran udara, sistem pengolahan sampah, pengelolaan sistem transportasi dan pengaruhnya terhadap kegiatan-kegiatan yang telah ada seperti pada masyarakat pesisir yang kemudian tersingkir akibat penggusuran atau hilangnya mata pencahariannya sebagai nelayan akibat adanya reklamasi pantai yang menyebabkan hilangnya biota laut.

Ada Apa dengan Pemerintah Saat ini?

Bila melihat dampaknya yang demikian, lalu ada apa dengan para penguasa negeri ini? Seolah mereka telah melakukan riset komplit dan komprehensif dengan metodologi paling advanced; mereka menetapkan kesimpulan bahwa Tuhan kurang tepat mendesain bumi, daratan dan lautan. Bahkan seakan-akan Tuhan dianggap gagal paham terhadap manusia. Tuhan kurang move-on.

Maka dipilihlah pucuk pimpinan dan Pemerintahan Indonesia yang mantap dan kapabel memperbaiki kelemahan desain Tuhan di Indonesia. Kalau pakai bahasa Medsos, supaya Tuhan tahu bahwa konsumsi kuliner manusia bukan hanya tambang dan korupsi. Manusia juga sangat gemar makan bumi dan lautan. Dan itu mereka belajar dari bangsa Utara yang bermata sipit.

dprd tangsel

Seakan Allah membuat daratan Nusantara ini ada yang ketidaktepatan proporsinya, prosentasenya, maupun berbagai fungsi lainnya. Terdapat sejumlah konsep yang kurang relevan, kurang proporsional dan kurang memenuhi ekuilibrium sosial ekonomi untuk hajat hidup ummat manusia, utamanya bangsa Indonesia. Maka ditetapkan oleh para Khalifah di tanah Nusantara itu sebuah keputusan besar, yakni Reklamasi?

Apakah dengan daratan harus diperluas, karena desain asli dari Allah dulu kurang futurologis, tidak memperhitungkan eskalasi deret hitung atau ukur populasi penduduk Indonesia?

Apalagi Indonesia ini berhati lapang, berjiwa besar, membuka pintu bagi tetangga-tetangganya yang kekurangan tempat hunian. Kalau perlu para makhluk dari Planet Mars atau Jupiter atau luar tata surya, silahkan masuk Indonesia tanpa visa.

Atau mungkin muali ada gejala di Indonesia yang sudah lama mempelajari dengan seksama bahwa Tuhan memang kurang perfect?

Masyarakat Jin Pun Terkena Dampak Reklamasi

Dan bukan manusia di Banten dan Nusantara Raya ini yang terkena dampak dari rakusnya manusia reklamator ini. Bangsa Jin yang juga makhluk Allah, setahu dan seingat saya bangsa Jin adalah seniornya Manusia, dimana banyak ayat Al-Qur’an yang menyebut Jin terlebih dahulu daripada Manusia dan hanya 1-2 ayat saja Manusia disebut lebih dulu, dan ada Ayat dalam Al-Qur’an yang menyebutkan kalau Gunung dan Lautan adalah tempat singgasana bangsa Jin. Dan tentu saja terkena dampak dari reklamasi ini.

Jangan menganggap bahwa nama-nama Jin seperti Sapuregel, Zaknabur atau Wirasuli Waringin itu sekadar karangan. Ada lebih banyak nama lagi, dan jangan menyimpulkan bahwa itu fiksi.

Apa jangan-jangan kita yang mengaku manusia modern ini pernah juga berpikir bahwa Tuhan, Malaikat, Akhirat, Sorga dan Neraka itu sekedar dongeng karena terpengaruh etos modernitas? Bahwa kalau ia tidak tahu, tidak bisa melihat dan tidak bisa membuktikan, itu berarti tidak ada?

Saya pernah dinasehati Guru saya Mbah Nun: “Kenyataan hidup ini tidak terbatas pada yang kalian ketahui, karena jauh lebih banyak dalam kehidupan hal yang tidak kalian ketahui. Kenapa kita sering kaget? Karena kita terlambat tahu bahwa ada fakta yang tidak kita ketahui…”

Dan Guru saya pernah mendengar Jin yang bergulung-gulung mengepung ruangan;
“Apa kalian pikir kami punya tugas atau kewajiban untuk mengurusi Indonesia? Kenapa soal Reklamasi dikait-kaitkan dengan kami masyarakat Jin? Kalau yang di Serang, Makassar, Ternate, Bali, Balikpapan, Palu dan semua itu berjalan tanpa gangguan – itu kan urusan kalian sendiri. Apakah sudah atau belum disiapkan bagaimana mengeruk sedimen di antara pulau-pulau Reklamasi, bukanlah tanggung jawab Lowar, Barandhang, Talengkung, Bancuri Bancuring, dan siapapun staf saya di daratan maupun lautan”.

“Keputusan untuk tidak bersedia menyediakan area nelayan di pulau-pulau Reklamasi, bukan kewajiban Jalilung, Kala Ngadang atau Telohbraja untuk menolaknya. Perkara para pengembang tidak mau mengurangi luasan pulau-pulau Reklamasi, karena memang dikhususkan untuk hunian mewah dan industri, bukanlah tugas Gendir Diyu, Dirgabu, Dulit, atau Mahesa Kuda dan Nini Gelu untuk mengantisipasinya”.

“Bahwa andaikan Anies-Sandi menghentikan Reklamasi yang di Jakarta, toh yang di tempat-tempat lain jalan terus. Masalahnya, kenapa itu kalian bebankan kepada Klabang Curing, Bedreg, Siganadha atau Dodol Kawit. Kenapa kalian kambing hitamkan kami kaum Jin? Semua Muspides, Muspika, Muspida jajaran birokrasi Jin saya bersih dari semua itu dan sama sekali tidak terlibat. Jin juga ada yang serakah, tapi tak ada yang seserakah manusia”.

Putaran asap itu mengencang. Suara yang menggema darinya mengeras.

“Bahkan kami ini dimarginalkan, disingkirkan, diusir dari perkampungan-perkampungan kami sejak 17 Agustus 1945. Kami ini lebih pribumi dari kalian. Sejak berabad-abad silam kami tinggal di tanah yang sekarang kalian sebut Indonesia. Manusia memonopoli bumi, daratan dan lautan. Manusia egois, merasa hanya mereka yang berhak atas bumi”.

Ada juga perbincangan:

“Batalion Jin Sapuregel yang ronda di wilayah Betawi berpihak kepada siapa? Kan dari 17 pulau, ada 6 yang tak layak Reklamasi karena akibat ekologisnya. Kan pasukan Zaknabur makin rajin provokasi di pasar: publik diseret menoleh ke keributan Reklamasi Jakarta, supaya wilayah-wilayah Reklamasi lainnya berjalan lancar tanpa ada yang memperhatikan. Yang di Banten saja tidak pernah dilirik. Kalau Setan Kabiri Cirebon bagaimana, Pakde? Kan Wirasuli Waringin yang jauh di timur sudah menunjukkan sikapnya di Gunung Agung…”
Dan seterusnya…

***

Ada pepatah: Mangga busuk tidak bisa dibikin tidak busuk dengan menyuntikkan cairan yang kita beli juga dari pedagang mangga busuk.
Cara menolak penjajahan tidak bisa dengan mengambil dari ilmu para penjajah. Saya sedang belajar menyapa dan mengaktivasi Malaikat-malaikat pribadi saya sendiri, atau Sedulur Papat Lima Pancer.

“Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah”.
(QS. Ar-Ro’d: 11).

Sebaiknya kalian masuki 2018 dengan mulai belajar bertaqwa. Taqwa itu artinya: waspada. (**)

 

Cilegon, 31 Oktober 2017
(Tulisan ini banyak direferensi dari Guru saya: Emha Ainun Nadjib)

Golkat ied