Sawah di Cilegon Terus “Tergerus”, Bagaimana Nasib Petani?

Sankyu

CILEGON – Semakin pesatnya deru pembangunan dan makin padatnya Kota Cilegon, tak bisa dipungkiri hal itu semakin menyusutkan luas lahan pertanian.

Hal ini juga tentunya berdampak pada fakta akan nasib petani di Kota Cilegon yang kian termarjinalkan oleh pesatnya arus pembangunan. Sementara upaya regenerasi petani juga seakan menjadi hisapan jempol belaka.

Seperti di Kelurahan Sukmajaya, Kecamatan Jombang sebagai jantung kota Cilegon, dengan keberadaan pasar induk, hotel-hotel, mall, perumahan, restoran serta pemukiman penduduk. Sementara pofesi petani nyaris tidak ada regenerasi. Padahal wilayah tersebut beberapa dekade sebelumnya menjadi salah satu lumbung padi di Cilegon dengan kontur agraria yang masih terlihat.

Hal itu diakui oleh Sanuri, petani asal Link. Priuk, Kelurahan Sukmajaya yang meski usianya sudah senja, ia masih tetap istiqomah “nguri-nguri” mengelola sawah yang masih tersisa. Bahkan lahan sawah yang dikelolanya tersebut diakui sudah bukan miliknya lagi.

“Anak saya gak tak suruh macul aja gak bisa, kalau emang mau nerusin gak kayaknya. Kalau lahan sudah punya orang,” ujarnya saat ditemui wartawan di sela kesibukannya membersihkan saluran irigasi, Sabtu (7/3/2020).

Selain sawah, lahan pertanian lainnya yang tersisa juga potensial untuk bercocok tanam sayuran, seperti Kangkung, Genjer Bayam dan sebagainya.

Keberadaan beberapa sungai atau kali yang melintas di Kelurahan Sukmajaya menjadikan lahan pertanian di sana bukanlah pertanian tadah hujan. Namun faktanya reklamasi atau pengurukan lahan-lahan pertanian terus saja dilakukan dengan derasnya.

Sekda ramadhan

Melihat data beberapa tahun terakhir yang diperoleh dari Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian (DKPP) Kota Cilegon, lahan pertanian sawah di Kota Cilegon pada 2016 seluas 1.611 hektar, namun pada 2017 lahan pertanian sawah tersisa 1.595 hektar. Sementara, lahan pertanian non sawah juga mengalami penyusutan yang signifikan. Lahan Pertanian non sawah pada 2016 seluas 7.624 hektar, dan pada 2017 tinggal tersisa 7.310 hektar.

Menyikapi hal ini, dengan adanya regulasi Undang-undang Nomor 41 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Alih Fungsi Lahan Pertanian, Pemkot Cilegon selaku pemegang kebijakan penuh atas peraturan yang berlaku, sudah sepatutnya dengan berubahnya lahan pertanian menjadi pemukiman atau industri bukan hanya menjadi kewenangan DKPP Kota Cilegon saja.

Hal ini juga perlu adanya peranan Pemkot Cilegon yang dalam hal ini, DPUTR (Dinas Pekerjaan Umum dan Tata Ruang) yang mengurusi masalah tata ruang, Dinas Perumahan dan Kawasan Pemukiman, Badan Perencanaan Daerah (Bappeda) dan tentunya adalah Walikota Cilegon sebagai puncak pimpinan tertinggi di Kota Cilegon untuk berupaya menjaga penyusutan lahan pertanian tersebut.

Selain Pemkot, masyarakat Cilegon juga sudah seharusnya memiliki daya upaya menjaga lahan pertanian yang dimilikinya secara perorangan agar tidak beralih fungsi dengan tidak menjualnya kepada pihak-pihak pemilik modal besar untuk industri dan properti dan sebagainya. Untuk pertahankan sebagai warisan kepada anak cucu kelak.

Diketahui, lahan pertanian di Kota Cilegon saat ini yang masih banyak terdapat di Kecamatan Cibeber dan Jombang. Dua kecamatan yang dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Cilegon kedepan, sangat rentan terkangkangi oleh pembangunan di bidang perdagangan dan jasa.

Dan sepertinya perlu adanya upaya kemandirian sikap hidup di tanah kelahiran tercinta, menjaga lahan pertanian yang diwariskan oleh nenek moyang kita. Masyarakat harus bisa berdaulat pangan untuk masa depan. Maka selama Pemkot belum bisa diandalkan menjaga lahan pertanian. Mengutip pesan guru bangsa Emha Ainun Nadjib:

“Mari kita ciptakan negeri kesabaran kita sendiri, propinsi ketekunan, kabupaten kerja keras, kecamatan mandiri dan desa barokah kita sendiri. Sebuah desa yang barokah bisa lebih luas dari dunia, apalagi negara”. (*/Ilung)

Honda