Wakil Ketua DPRD Cilegon Desak Pemkot Bentuk Laboratorium Lingkungan: Jangan Sampai Rakyat Jadi Korban
CILEGON – Wakil Ketua DPRD Kota Cilegon, Masduki, mendesak pemerintah kota untuk segera membentuk Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Laboratorium Lingkungan guna memperkuat sistem pengawasan terhadap dampak industri.
Ia menilai ketiadaan laboratorium milik pemerintah membuat pengawasan lingkungan lemah dan rawan konflik kepentingan.
“Bagaimana kita bisa melindungi rakyat kalau Dinas Lingkungan Hidup (DLH) hanya menerima laporan dari laboratorium yang dibayar oleh industri? Itu bukan pengawasan, tapi ketergantungan. Dan ketergantungan ini sangat berbahaya,” kata Masduki saat memberikan keterangan kepada media, Jumat (23/5/2025).
Masduki menyoroti lemahnya kontrol pemerintah terhadap dampak lingkungan dari aktivitas industri besar di Kota Cilegon, salah satunya dalam fase commissioning PT Lotte Chemical Indonesia (LCI), salah satu proyek petrokimia terbesar di Asia Tenggara.
Dalam kasus tersebut, menurutnya, DLH hanya menerima data lingkungan dari laboratorium swasta yang dibiayai oleh LCI, tanpa ada mekanisme verifikasi independen.
“Kita hanya jadi penerima data. Tidak ada alat kontrol, tidak ada hak verifikasi. Ini membuat kita tak lebih dari penonton,” ujarnya.
Ia menegaskan, Cilegon tidak boleh terus menjadi “kota industri tanpa kendali”.
Oleh karena itu, Masduki mendesak agar pembangunan industri diiringi dengan penguatan kelembagaan pengawasan negara.

Salah satunya dengan membentuk laboratorium lingkungan yang netral, mandiri, dan terakreditasi.
“Negara harus hadir. Kehadiran itu dimulai dari alat paling dasar: laboratorium pengujian lingkungan. Kalau tidak ada, bagaimana bisa menegakkan hukum lingkungan?” tegasnya.
Menanggapi hal tersebut, Senior Assistant Manager General Affair PT Lotte Chemical Indonesia, Mohamad Kalimi, menyatakan bahwa pihaknya telah menunjuk laboratorium pihak ketiga yang terakreditasi untuk melakukan pengawasan selama masa commissioning proyek.
“Penunjukan laboratorium pihak ketiga dilakukan sebagai bagian dari upaya memastikan seluruh proses berjalan sesuai ketentuan,” ujarnya.
Namun bagi Masduki, akreditasi semata tidak cukup. Ia menekankan bahwa dalam prinsip tata kelola yang baik (good governance), lembaga pengawas tidak boleh dibiayai oleh pihak yang diawasi.
“Akreditasi bukan jaminan netralitas kalau dananya dari yang diawasi. Itu prinsip dasar pengawasan yang sehat,” ungkapnya.
Masduki juga menyinggung lambannya langkah Pemerintah Kota Cilegon dalam membentuk UPTD Laboratorium Lingkungan, padahal dasar hukum sudah jelas tertuang dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup serta Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
“Ini bukan soal anggaran, tapi komitmen politik. Kalau kita bisa fasilitasi investasi triliunan rupiah, masa bikin laboratorium kecil saja tidak bisa?” sindirnya.
Ia mendorong agar pembentukan laboratorium lingkungan dimasukkan dalam prioritas Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Perubahan Tahun 2025, termasuk penyusunan naskah akademik, dokumen teknis kelembagaan, pengadaan peralatan dasar, dan pelatihan tenaga ahli.
“Laboratorium ini akan jadi benteng terakhir kita. Kita tidak boleh menunggu bencana pencemaran besar baru bertindak. Pencegahan adalah bentuk perlindungan tertinggi,” pungkasnya. (*/Nandi)