Banten Dikepung Potensi Bencana, Wartawan dan Aktivis Dalami Jurnalisme Profetik

SERANG – Peristiwa tsunami Banten yang terjadi pada medio 2018 lalu menjadi refleksi wartawan dan pegiat lingkungan serta kebencanaan. Selain itu, berbagai potensi bencana lainnya, baik bencana alam maupun bencana non alam disebut mengepung wilayah Banten.

Hal itu mengemuka dalam kegiatan Diskusi dan Pelatihan Jurnalis Lingkungan Hidup dan Kebencanaan yang dihelat di Anyer, Banten. Kegiatan ini akan dihelat selama tiga hari, 24-27 September 2020.

Kegiatan yang diinisiasi Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Provinsi Banten ini dibuka dengan diskusi dengan tema Potret Potensi Bencana di Banten, Jumat (24/9/2020).

Kemudian, peserta mendapatkan berbagai materi terkait isu ekologi dan kebencanaan dari berbagai narasumber berkompeten, salah satunya terkait jurnalisme profetik.

Aat Surya Safaat, wartawan senior Kantor Berita Antara yang didaulat menjadi salah satu narasumber menekankan, persoalan lingkungan hidup harus menjadi isu yang dikuasai oleh seorang wartawan. Sebab kata Aat, tiga isu utama di dunia internasional selain demokrasi dan hak asasi manusia, tak lain lingkungan hidup.

“Dunia internasional memberikan perhatian serius terhadap keberlanjutan kehidupan di bumi yang terus mengalami degradasi kualitas. Saat ini dampaknya sangat terasa, seperti perubahan iklim yang memacu pemanasan global, serta berbagai ancaman bencana di masa depan lainnya,” ungkapnya kepada wartawan di lokasi, Sabtu (25/9/2020).

Mantan Kabiro Kantor Berita Antara di New York tersebut menekankan peran strategis seorang wartawan yang disejajarkannya dengan penerus para nabi dan wali sebagai penyampai risalah kebenaran.

Perserta Diskusi Kebencanaan yang diselenggarakan PWI Banten /Dok

“Wartawan harus mampu menghasilkan karya jurnalistik yang mampu membangkitkan semangat dan harapan pembaca. Merespon setiap persoalan dengan cara pandang yang jernih, serta mampu mendorong lahirnya solusi,” paparnya.

Pandangan demikian disebutnya jurnalisme profetik, yaitu jurnalisme yang dalam praktiknya meneladani perjuangan para nabi dan wali saat menyampaikan risalah kebenaran, tanpa menimbulkan kegaduhan, melainkan kesejukan bagi umat.

Saat merespon isu lingkungan dan kebencanaan, Aat berpesan kepada peserta pelatihan, agar mampu membangkitkan kesadaran pentingnya menjaga kelestarian dan keberlanjutan kehidupan di bumi. Karya jurnalistik wartawan diharapkannya mampu melahirkan cara pandang ekosentrisme, yaitu pandangan hidup yang menyelaraskan diri dengan alam semesta.

Pandangan hidup demikian telah diwariskan oleh para leluhur di Nusantara. Di Banten tercermin dalam adat istiadat orang Kanekes (Baduy).

Namun seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan, ekosentrisme tergeser oleh pandangan antroposentrisme, dimana manusia menjadi pusat alam semesta, sehingga mengklaim sebagai penguasa alam semesta. Celakanya, cara pandang ini justru telah berdampak pada kerusakan lingkungan hidup yang melahirkan berbagai bencana.

“Dengan pendekatan jurnalisme profetik, kita diingatkan kembali bahwa tugas jurnalis tidak sekedar melakukan tugas-tugas jurnalistik seperti yang dikenal saat ini. Tapi, jauh lebih dalam, yaitu menjaga dan merawat kehidupan agar tetap selaras dengan gerak alam semesta,” terangnya.

Senada, Ketua Pelaksana Kegiatan Mohamad Romli menekankan, tugas seorang wartawan saat ini yaitu melahirkan karya jurnalistik yang mampu menjawab persoalan. Tidak hanya sekedar menjadi penyampai pesan, Sekretaris PWI Kabupaten Tangerang ini berpendapat, justru menjadi bagian dari upaya perubahan masyarakat.

“Jurnalis idealnya tidak hanya berkutat dengan teks. Namun justru turut hadir di tengah-tengah masyarakat yang membutuhkan hadirnya sosok-sosok yang dapat mendorong proses perubahan sosial ke arah yang lebih baik,” ungkapnya.

Sehingga melalui pelatihan ini ia berharap, selain memperoleh pengetahuan, jurnalis dan aktivis serta kelompok masyarakat lainnya, bisa bersinergi untuk melakukan aksi bersama demi mendorong proses perubahan sosial di Banten.

“Jika saat ini, isu ekologi dan kebencanaan menjadi perhatian kita bersama, maka tak hanya sekedar terus berdiskusi, namun juga harus pada level tindakan atau aksi bersama. Saya meyakini, kolaborasi seperti ini, akan lebih berdampak dan terlihat hasilnya, daripada melakukan kerja-kerja advokasi masing-masing,” pungkas sosok yang juga dikenal sebagai aktivis lingkungan tersebut. (*/Red)

Honda