Banten Institute Beberkan 8 Persoalan Daerah di Era WH-Andika

SERANG – Lembaga kebijakan publik Banten Institute (BI) mencatat ada delapan persoalan daerah yang dirasakan selama Wahidin Halim (WH) dan Andika Hazrumy menjabat sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Banten.

Banten Institute mengungkap kedelapan persoalan daerah itu di salah satu Cafe yang ada di Kota Serang, Selasa, (27/10/2020).

“Sampai hari ini kami banyak memiliki catatan untuk Gubernur dan Wakil Gubernur Banten. catatan kami belum senua disampaikan. Tetapi untuk bilang gagal atau tidaknya biarkan publik yang menilai,” ujar Direktur Banten Institute, Carlos Fernando Silalahi kepada wartawan.

Koordinator LBH Rakyat Banten ini menyebut, delapan persoalan daerah yang dikaji merupakan data yang dimiliki sesuai dengan telaah serta kajian yang dilakukan.

Kedelapan persoalan itu diantaranya;

Pertama, Indeks Demokrasi Indonesia (Per Provinsi 2018-2019) Provinsi Banten yang dirilis BPS Banten mengalami penurunan dari tahun 2018 dengan nilai 73,78 menjadi 72,60 di tahun 2019 (Sumber BPS Agustus 2020).

Kedua, terkait angka kemiskinan. Angka kemiskinan Provinsi Banten hasil survai sosial ekonomi nasional Bulan Maret 2020 sebesar 5, 92% mengalami peningkatan sebesar 0,98 point dibanding periode sebelumnya September 2019 sebesar 4,94%.

Ketiga, Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT). BI mengungkap, dalam kontek pengangguran di Provinsi Banten sejak tahun 2018 hingga saat ini Banten terus menduduki tingkat pengangguran tertinggi di Indonesia. Periode Agustus 2019 Banten juga menduduki urutan pertama se-Indonesia dengan tingkat pengangguran 8,11%, dan di tahun 2020 juga mengalami urutan pertama se-Indonesia.

Keempat, soal Integritas lembaga. Carlos mengatakan, integritas dalah suatu konsep berkaitan dengan konsistensi dalam tindakan, nilai, metode, ukuran, prinsip, ekspektasi dan berbagai hal yang dihasilkan.

“KPK pada Oktober 2019 merilis hasil survai penilaian integritas pemerintah daerah, hasilnya Provinsi Banten dengan skor 65,88 menempati urutan ke 15 dari 19 Provinsi yang disurvei. Hal ini seharusnya menjadi warning atas program pencegahan korupsi di Banten,” ujarnya.

Kelima BI menyinggung perihal tata kelola keuangan Pemprov Banten yang dinilai tidak transparan. Terlebih, postur anggaran yang belum berpihak kepada kepentingan rakyat menambah catatan BI atas ketidakseriusan pemerintahan di Provinsi Banten.

“Masih segar dalam ingatan masyarakat ketika kebijakan memindahkan RKUD dari Bank Banten ke Bank BJB menimbulkan kemelut yang luar biasa. Pemindahan RKUD tersebut memicu rush alias penarikan uang oleh nasabah secara masiv sehingga berdampak pada kondisi Bank Banten,” paparnya.

Kebijakan tersebut lanjutnya, dinilai telah melanggar Peraturan Pemerintah tentang pengelolaan keuangan daerah yang dimana disebutkan bahwa RKUD disimpan di Bank yang sehat, saat Pemerintah Provinsi menarik RKUD kondisi Bank Banten belum ditetapkan OJK sebagai bank tidak sehat.

“Tak berhenti disitu Pemerintah kemudian mengajukan pinjaman uang senilai Rp. 800 miliar ke Bank BJB. Hal tersebut tertuang dalam surat nomor 980/934-BPKAD/2020 perihal Pemberitahuan kepada DPRD Banten tertanggal 29 April 2020,” ujarnya.

Isi surat tersebut masih kata Carlos, menjelaskan dalam masa transisi administrasi terhadap pengakuan kas dan untuk menutup defisit cash flow Pemprov Banten akan melakukan pinjaman daerah jangka pendek kepada Bank BJB.

Namun tak lama berselang Pemerintah Provinsi membatalkan rencana pinjaman daerah jangka pendek tanpa bunga sebesar Rp. 800 M ke Bank BJB tersebut, pembatalan pinjaman daerah tersebut diduga lantaran tidak ada payung hukum yang mengatur pinjaman tanpa bunga.

“Dari potret tersebut terlihat inkonsistensi kebijakan keuangan Pemerintah Provinsi Banten yang seperti tidak merumuskan suatu kebijakan dengan landasan hukum yang tepat, kebijakan yang diambil seolah-olah terburu-buru dan terkesan ditutup-tutupi,” terangnya.

Selanjutnya juga, Pemerintah Provinsi Banten telah mengajukan pinjaman ke PT. SMI (Sarana Multi Infrastruktur) sebesar Rp. 4,9 triliun, pinjaman ini dalam rangka program PEN (Pemulihan Ekonomi Nasional) di daerah pasca pandemi Covid-19 melanda Banten.

Kartini dprd serang

“Pada tahap I telah digelontorkan Rp 851,7 miliar oleh PT SMI kepada Pemprov Banten dan akan direalisasikan pada Tahun Anggaran 2020. Namun herannya dana pinjaman program PEN ini malah digunakan salah satunya untuk pembangunan Proyek sport center yang ditangani oleh Dinas Perkim Provinsi Banten senilai Rp. 430 miliar,” bebernya.

BI mengaku heran, terkait korelasi dana pinjaman PEN digunakan untuk pembangunan sport center yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan program pemulihan ekonomi di daerah.

“Hal tersebut patut diwaspadai bersama untuk menghindari adanya kepentingan kelompok tertentu yang memaksakan pembangunan sport center di tengah Pandemi Covid-19. Seharusnya dana pinjaman teersebut digunakan untuk membangun infrastruktur ekonomi dan pemberdayaan UMKM,” sebutnya.

Yang keenam, mereka menyoroti tentang sektor pendidikan yang terjadi pada masa pemerintahan WH-Andika.

BI mencatat, pada tahun 2019 pertumbuhan pembangunan manusia di Banten mengalami pelambatan dibanding 2018 dari 0,78% menjadi 0,64%.

Padahal katanya, sektor pendidikan harus menjadi fokus utama dalam pembangunan di Provinsi Banten terutama pada dua hal yaitu aksesibilitas masyarakat terhadap pendidikan dan kualitas layanan pendidikan.

“Sarana prasarana sekolah, satu Kecamatan Satu Sekolah Lanjutan Tingkat Atas belum juga terealisasi sampai saat ini,” ucapnya.

“Kita disuguhkan pada fakta yang begitu banyak persoalan atas dugaan tindak pidana korupsi pada kegiatan Proyek Pengadaan Lahan untuk SMA/SMK Tahun Anggaran 2017 senilai Rp. 40 miliar dan Pengadaan Komputer UNBK pada Tahun Anggaran 2017 sebesar 40 miliar dan Tahun Anggaran-2018 sebesar Rp. 25 miliar yang diduga menyeret orang-orang berpengaruh di lingkaran kekuasaan,” sambung mantan aktivis gerakan ini.

Kemudian pengelolaan tertib administrasi di sekolah seolah dibiarkan tanpa kejelasan dengan terdapat sekitar puluhan sekolah SMA/SMK dijabat oleh Plt (pelaksana tugas).

Ditambah sarana prasarana sekolah yang belum memadai menambah rentetan panjang persoalan pendidikan di Banten.

“Belum lagi adanya dugaan tindak pidana korupsi (Mark up) pada KCD Dindikbud Provinsi Banten Wilayah Kabupaten Lebak dalam kegiatan pengadaan barang dan jasa HP Tablet untuk 29 sekolah SMA/SMK/SKh yang bersumber dari dana BOS Afirmasi dan Kinerja TA 2019 sebesar RP. 8, 592 miliar dengan rincian dana BOS Afirmasi sebesar RP. 6,792 miliar untuk 23 sekolah dan dana BOS Kinerja Rp. 1,8 miliar untuk 6 sekolah,” ungkapnya.

Yang ketujuh BI mempersoalkan sektor kesehatan di masa WH-Andika. BI mengungkap janji politik Gubernur dan Wakil Gubernur Banten terkait kesehatan gratis dengan menggunakan KTP. Menurutnya, hingga kini belum terealisasi dengan alasan terhalang oleh regulasi.

“Hal ini menunjukkan begitu lemahnya kematangan sebuah program. Pemerintahan Provinsi Banten haruslah merubah perspektif bahwa regulasi mengikuti perkembangan dan kebutuhan masyarakat,” kata Carlos.

Terlebih, kondisi sarana prasarana kesehatan yang belum memadai menjadi ‘PR’ besar dalam memberikan layanan prima dibidang kesehatan kepada masyarakat.

Dinas Kesehatan Provinsi Banten didesak agar mempertanggungjawabkan pengelolaan dana BTT Covid-19 secara akuntabel dan transparan.

“Bahkan saat ini Dinas Kesehatan Provinsi Banten sedang menghadapi dugaan tindak pidana korupsi pada proyek Pematangan Lahan Rumah Sakit Jiwa Tahap I dengan total anggaran Rp. 9.133.679.256.- proyek tersebut didanai dari APBD TA 2019,” lanjutnya.

Terakhir BI mengamati dan mencatat terkait kondisi reformasi birokrasi di tubuh Pemprov Banten.

BI memandang, hasil asessment yang seharusnya menjadi rujukan dalam pemetaan pegawai juga tidak terlaksana dengan baik.

“Kekosongan jabatan kepala sekolah di SMA/SMK serta dibeberapa OPD yang bertahun-tahun dijabat oleh Plt (Pelaksana Tugas) menjadi cerminan buruk atas kinerja aparatur birokrasi,” pungkas Carlos. (*/Faqih)

Polda