Forum Nelayan; Perda Zonasi Hanya Melegalkan Perampasan Hak Warga Pesisir
JAKARTA – Setiap tanggal 6 April diperingati sebagai peringatan hari Nelayan Nasional. Hal tersebut sebagai bentuk mengapresiasi jasa para nelayan Indonesia dalam upaya pemenuhan kebutuhan protein dan gizi bagi seluruh elemen masyarakat Indonesia.
Telah diketahui Indonesia dikenal sebagai negara bahari, Indonesia memiliki sumberdaya kelautan dan perikanan yang dapat ditemukan di kawasan pesisir, pulau-pulau kecil, serta kawasan perairan dalam. Tak hanya potensi perikanan tangkap, Indonesia juga memiliki sumber daya pesisir dan kelautan lainnya yang melimpah, diantaranya hutan mangrov yang luas mencapai 2,6 juta hektar. Luas hutan tropis di pulau-pulau kecil seluas 4,1 juta hektar, kawasan budidaya rumput laut seluas 1.110.900 hektar, dan tambak garam yang luasnya mencapai lebih dari 25 ribu hektar.
Seluruh sumber daya ini, seharusnya dapat memberikan dampak positif bagi kehidupan masyarakat pesisir di Indonesia. Namun, sampai hari ini, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) menemukan lebih dari 7,87 juta jiwa atau 25,14 persen dari total penduduk miskin nasional adalah mereka yang menggantungkan kehidupannya pada sektor kelautan.
Merespon hal ini, Susan Herawati, Sekretaris jendral KIARA yang juga turut menjadi pembicara dalam diskusi tersebut, mengatakan bahwa adanya Perda zonasi yang tersebar di 16 provinsi se-Indonesia hanya dapat memberikan fasilitas kepada investor untuk mendapatkan kemudahan investasi.
“Perda zonasi yang ada saat ini di enam belas Provinsi di Indonesia yakni: Sulawesi Utara, Sulawesi Barat, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Tengah, Jawa Timur, Lampung, Sumatera Barat, Maluku, Maluku Utara, Kalimantan Utara, DI Yogyakarta, Kalimantan Selatan, Gorontalo, Jawa Tengah, dan terakhir Kalimantan Barat. Pada praktiknya semata untuk melegalkan perampasan ruang hidup masyarakat pesisir,” tegas Susan Herawati.
Turut hadir dalam acara diskusi tersebut, masyarakat Pulau Sabesi, Pulau Pari, dan Pulau Sanghiang. Yang merasakan kerugian langsung dari adanya sengketa lahan dengan perusahaan swasta dalam rencana tempat pariwisata, lahan tambang, bahkan reklamasi di pulau kecil pesisir.
“Ada banyak masalah yang kami rasakan hari ini dan dapat didiskusikannya, seperti kami merasakan bentuk kriminalisasi dari sebuah perusahaan yang akan menyerobot tanah leluhur di daerah Desa Cikoneng Kecamatan Anyar Kabupaten Serang-Banten. Bahkan tiga warga kami saat ini sedang menjalani proses hukum dan akan menghadapi putusan di PN Serang pekan depan,” terang Sofian.
“Kami menilai negara belum mampu hadir dalam melindungi banyak masyarakat yang tinggal di pulau kecil utamanya pesisir, dan tidak menjalankan sesuai amanat UUD 1945 yakni kesejahteraan yang harus diciptakan bukan hanya sekedar Kesejahteraan Ekonomis, bukan sekedar Kesejahteraan material, melainkan kesejahteraan lahir dan batin, kesejahteraan material dan spiritual artinya kesejahteraan material itu harus terselenggara dalam masyarakat yang saling menghormati dan menghargai hak dan kewajiban masing-masing, masyarakat yang bebas dari rasa takut, masyarakat yang hidup dalam kesederajatan dan kebersamaan, masyarakat yang bergotong-royong, masyarakat adil, makmur dan beradab,” tutup Sofiyan. (*/Eza Y,F).