FAKTA BANTAN – Ekonom Indef Dradjad Wibowo menilai pengumuman hasil negosiasi pemerintah dan Freeport cenderung berlebihan dan penuh pencitraan. “Pencitraan yang dilakukan sangat membodohi rakyat. Saking berhasilnya, tidak sedikit yang menulis “terima kasih Pak Jokowi” tanpa melakukan fact-check,” ujar dia dalam keterangan tertulis yang diterima Tempo, Jumat, 13 Juli 2018.
Ia mengungkapkan sejumlah fakta terkait negosiasi ini. Pertama, menurut Dradjad, menyangkut kesepakatan harga. Kesepakatan harga ini merupakan kesepakatan tiga pihak antara Pemerintah dan Inalum, Freeport dan Rio Tinto.
“Sepakat pada harga US$ 3,85 milyar, atau sekitar Rp 55 triliun. Ini adalah harga bagi pelepasan hak partisipasi Rio Tinto, plus saham FCX di FI,” kata dia.
Rio Tinto terlibat dalam negosiasi karena perusahaan tersebut ikut joint venture dengan Freeport-McMoRan Inc (FCX). Hingga 2021, Rio Tinto berhak atas 40 persen dari produksi di atas level tertentu dan 40 persen dari semua produksi sejak 2022.
“Gampangnya, meskipun FCX pemilik mayoritas FI, tapi 40 persen produksinya sudah di-ijon-kan ke Rio Tinto. Jadi selain saham FCX di FI, Indonesia juga harus membeli hak ijon ini,” ujar dia.
Ia juga menilai klaim Freeport direbut kembali cenderung berlebihan. Transaksi negosiasi ini masih jauh dari tuntas. Ia berkaca pada pernyataan pihak FCX dan Rio Tinto di media asing yang menyebutkan masih ada isu-isu besar yang belum disepakati.
“Dalam berita Bloomberg, Rio Tinto secara resmi menyatakan “Given the terms that remain to be agreed, there is no certainty that a transaction will be completed”. Jadi, masih belum ada kepastian bahwa transaksinya akan tuntas,” ujarnya.
Ia memaparkan, menurut Freeport dalam berita Bloomberg, isu besar itu adalah hak jangka panjang FCX di FI hingga tahun 2041. Butir-butir yang menjamin FCX tetap memegang kontrol operasional atas FI, meskipun tidak menjadi pemegang saham mayoritas, dan kesepakatan tentang isu lingkungan hidup, termasuk tentang limbah tailing.
“Lalu kenapa pada bulan Juli 2018 tercapai kesepakatan harga? Dugaan saya, ini tidak lepas dari fakta bahwa IUPK sementara (Ijin Usaha Pertambangan Khusus) bagi FI habis pada 4 Juli 2018.
Menurut dia melalui revisi SK Nomor 413K/30/MEM/2017, IUPK diperpanjang hingga 31 Juli 2018. Ia mengatakan sejak 2017, IUPK ini sudah berkali-kali diperpanjang. “Harganya mahal atau tidak saya belum bisa menjawabnya sekarang. Tapi yang jelas, sejak lama Rio Tinto pasang harga di US$ 3,5 milyar. Tidak mau nego. Indonesia akhirnya menyerah, terima harga US$ 3,5 milyar, ditambah US$ 350 juta bagi FCX,” tutur dia.
Sebagai perbandingan, kata dia, pada 1 November 2013 Indonesia merebut kembali Inalum dari Jepang. Pihak Jepang, yaitu NAA (Nippon Asahan Aluminium) bersikeras dengan harga US$ 626 juta. Pemerintah pun juga bersikeras pada angka US$ 558 juta. “Mungkin memang lebih mudah mengalahkan Jepang dibandingkan “koalisi” dari AS, Inggris dan Australia,” ujarnya.
Ia juga mencatat aset Inalum saat ini sekitar Rp 90 triliun. Dengan kesepakatan harga US$ 3,85 milyar, transaksi ini nilainya setara 61 persen aset Inalum. Dradjad mengingatkan jangan sampai hal ini menimbulkan permasalahan besar.
Berdasarkan fakta di atas, jelas bahwa Freeport belum “direbut kembali”. Transaksi belum terjadi karena ada isu-isu besar yang belum tuntas. “Itu pun Indonesia nerima saja harga yang dipatok oleh Rio Tinto,” kata dia.
Dradjad mengatakan jika transaksinya terwujud nanti, Indonesia harus membayar Rp 55 triliun. “Tapi, FCX ngotot kontrol operasional tetap mereka yang pegang,” ujar dia.
Pada Kamis, 12 Juli 2018, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengumumkan penekenan perjanjian awal, yang disebut pula heads of agreement atau HoA, antara PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) serta Freeport dan Rio Tinto. Menurut Sri Mulyani, perjanjian tersebut merupakan sebuah langkah yang maju dan strategis untuk mewujudkan kesepakatan antara pemerintah dan Freeport yang sebelumnya diumumkan pada 27 Agustus 2017.
“Dengan ditandatanganinya heads of agreement, artinya sudah dicapai divestasi. Harapannya, partnership antara Freeport dengan Inalum dan pemerintah mampu meningkatkan kepastian di dalam koperasi dan nilai tambah industri ekstraktif Indonesia, serta bisa menambahkan kemakmuran Indonesia dan Papua,” ujarnya dalam konferensi pers selepas penandatanganan itu di kantornya, Jakarta, Kamis, 12 Juli 2018. (*/Tempo)