*) Oleh: Sang Revolusioner (Ilung)
FAKTA BANTEN – Bila kita amati prosesi tradisi mudik setiap lebaran di tanah air kita, secara sosiologis, akan terpupuk kembali hubungan emosional si pemudik setelah sekian lama berpisah dengan orang tua, sanak saudara, dan tetangga di kampung halaman melalui perjumpaan silaturahmi.
Sedangkan secara ekonomis, budaya mudik bisa diinterpretasikan sebagai pemulangan uang yang menggumpal di kota-kota besar yang terdistribusi ke perkampungan di daerah-daerah.
Inilah kesempatan orang Desa atau orang Kampung seletelah sekian lama bekerja, menikmati hidup mengumpulkan uang di kota. Di kampung halaman, para pemudik membagikan uang “persenan” kepada keluaraga tetangga dan kerabat, berbagi cerita dan kebahagiaan, dan tentunya membelanjakan uangnya bukan sekadar untuk oleh-oleh.
Namun, jika dari puasa ia tidak mampu belajar mengendalikan diri, pemudik juga berpotensi menghadirkan sisi gelap. Diantaranya pemudik yang konsumtif menjadi ajang pamer kekayaan, penampilan, perhiasaan, kendaraan, dan properti-properti kemewahan lainnya.
Mudik, sebagaimana diilustrasikan di atas, hanyalah “mudik biologis” karena ritual tahunan itu berorientasi pada pemenuhan insting dan naluri kemanusiaan semata, seperti mengobati rasa kangen dan rindu pada sanak keluarga.
Padahal esensi Idul Fitri yang sesungguhnya adalah untuk menjadikannya sebagai momentum “mudik spiritual”, yakni kembali ke kampung halaman rohani yang fitri dan suci. Ini tentunya sejalan dengan makna Idul Fitri yang hakiki. ‘Ied berasal dari bahasa Arab dari akar kata ‘aada, yang berarti kembali. Sedangkan fitri bermakna “fitrah atau asal kejadian yang masih suci atau murni”.
Karenanya Idul Fitri itu artinya “kembali (mudik) ke asal kejadian (ruhaniah yang masih fitri dan suci)”. Pasalnya, manusia itu memang terlahir dengan fitrah yang suci. Inilah makna mudik yang sejati, yakni mudik spiritual bukan mudik biologis.
Bukankah Ramadhan telah menempa kita untuk kembali menjiwai nilai-nilai kebaikan dan kebenaran yang selama ini terkaburkan oleh kepentingan dan nafsu duniawi. Idealnya, pasca berakhirnya Ramadhan, umat Islam telah kembali ke fitrahnya, seperti saat terlahir ke dunia.
Dengan berlalunya Ramadhan, prestasi ibadah dan amal saleh yang telah diukir di bulan suci tersebut setidaknya dipertahankan, lebih baik lagi jika ditingkatkan. Jangan sampai dengan berlalunya Ramadhan, berakhir pula ibadah dan amal saleh yang dikerjakan. Mereka yang hanya giat beribadah dan beramal saleh di bulan Ramadan, seolah-olah beranggapan bahwa Allah SWT hanya ada dan hidup di bulan Ramadhan. Padahal Allah SWT itu ada, hidup, dan abadi selama-lamanya, karena Dia itu Hayyun Baqq (Dzat yang Maha Hidup lagi Kekal). Mereka yang hanya rajin beribadah dan giat beramal saleh di bulan Ramadhan, pada hakikatnya tidak menyembah Allah SWT, namun menghamba pada Ramadhan. Mereka itulah yang disindir para ulama dengan sebutan ‘Ubbad Ramadhan, para penghamba Ramadhan.
Dr. Yusuf al-Qardhawi malah mempunyai istilah tersendiri, yakni Ramadhaniyyun yang berarti para pengkhianat Ramadhan. Mereka dikatakan sebagai pengkhianat, karena mengingkari komitmen spiritual untuk menjadi lebih baik pasca berakhirnya Ramadan. Tetapi yang terjadi justru sebaliknya. Hakikat Idul Fitri bukanlah mudik biologis untuk sekedar berkangen-kangenan, melepas rindu, atau menghamburkan uang.
Terlebih lagi, untuk pamer baju baru, unjuk kekayaan, atau plesir ke tempat-tempat hiburan. Akan tetapi esensi mudik yang sejati adalah mudik spiritual dengan kembali kepada asal kejadian yang fitri dan suci. Dalam konteks ini patut kita renungkan sebuah syair Arab yang teramat menyentuh:
Bukanlahlah disebut berhari raya, orang yang hanya memakai baju baru, akan tetapi hari raya sesungguhnya adalah orang yang ketaatannya bertambah.
Maka alangkah baiknya jika kita mengevaluasi niat mudik kita tahun ini dan menjadikannya mudik lebaran yang bermakna dunia akhirat.
Sebagaimana pesan dalam puisi yang disampaikan oleh guru bangsa kita Emha Ainun Nadjib, bahwasanya;
Kerinduan untuk pulang ke kampung halaman dan bersilaturahmi dengan sanak famili, sesungguhnya adalah episode awal dari teater kebutuhan batin manusia untuk kembali ke asal usulnya.
Mudik Lebaran itu episode pulang secara geografis dan kultural. Dari alam nasional, global, universal dan liar, manusia beramai-ramai balik ke lingkungan primordial.
Kampung halaman adalah tanah air konkret. Tanah dan air sejarah kelahiran mereka. Sehingga mudik episode kedua adalah kesadaran atau ikrar kembali bahwa diri manusia berasal dari tanah dan air yang akan kembali ke tanah dan
air.
Episode mudik yang ketiga adalah kesadaran tentang Ibu Pertiwi dalam pengertian yang lebih batiniah. Yakni kekhusyukan menginsafi kasih sayang Ibunda, kandungan dan rahim Ibunda. Betapa di puncak kepusingan hidup ini kita terkadang ingin kembali masuk ke gua garba Ibunda.
Episode mudik berikutnya adalah kembalinya kita semua ke pencipta tanah air, ke sumber dan asal usul. Jadi, senantiasa siap kembali kepada Allah adalah puncak mudik, adalah mudik sejati. (*)
*) Penulis adalah Jurnalis Fakta Banten Online