Oleh: Muhammad Arifin Ilham
Sakit, sebagaimana juga setiap ujian bukan menguji ketangguhan dan kemampuan seseorang. Sebab, Allah SWT berikan sakit kepada seseorang sudah sesuai takaran dan daya tahannya. Ia sejatinya menguji kemauan untuk memberi makna. Maka, bagi mereka yang mampu memberi makna terbaik bagi sakit, insya Allah kemuliaannya diangkat dan membuat malaikat yang selalu sehat takjub.
Sakit adalah jalan kenabian Ayub yang menyejarah. Kesabarannya yang lebih dari batas (disebut dalam sebuah hadis selama 18 tahun menderita penyakit aneh) diabadikan jadi teladan semesta. Dan, atas kenyataan sejarah tersebut, hari ini cobalah bercermin kepadanya.
Hari ini pula kita bisa bercermin kepada sosok-sosok mulia yang pernah juga sakit. Sakit, yang di ujung penggal kehidupan mereka yang ditemukan adalah kemuliaan serta terus bertambah derajat kemuliaanya di mata Allah SWT.
Imam As-Syafi’i wasir karena banyak duduk menelaah ilmu, Imam Malik lumpuh tangannya dizalimi penguasa, Nabi tercinta kita pun pernah sakit oleh racun paha kambing di Khaibar yang menyelusup melalui celah gigi yang patah di perang Uhud.
Bukankah setelah akhirnya sakit, semuanya semakin mulia di mata Allah bahkan juga di mata sejarah manusia? Sakit itu zikrullah. Mereka yang menderitanya akan lebih sering dan syahdu menyebut asma Allah dibanding ketika dalam sehatnya.
Sakit itu istighfar. Dosa-dosa akan mudah teringat, jika datang sakit. Sehingga, lisan terbimbing untuk mohon ampun. Sakit itu tauhid. Bukankah saat sedang hebat rasa sakit, kalimat thayyibat yang akan terus digetar?
Sakit itu muhasabah. Dia yang sakit akan punya lebih banyak waktu untuk merenungi diri dalam sepi. Menghitung-hitung bekal kembali. Sakit itu jihad. Dia yang sakit tak boleh menyerah kalah; diwajibkan terus berikhtiar, berjuang demi kesembuhannya.
Bahkan, sakit itu ilmu. Bukankah ketika sakit, dia akan memeriksa, berkonsultasi, dan pada akhirnya merawat diri untuk berikutnya ada ilmu untuk tidak mudah terkena sakit. Sakit itu nasihat. Yang sakit mengingatkan si sehat untuk menjaga diri. Yang sehat hibur si sakit agar mau bersabar. Allah cinta dan sayang keduanya.
Sakit itu silaturahim. Saat menjenguk, bukankah keluarga yang jarang datang akhirnya datang membesuk, penuh senyum dan rindu mesra? Karena itu pula sakit adalah perekat ukhuwah.
Sakit itu gugur dosa. Barang haram tercelup di tubuh dilarutkan di dunia, anggota badan yang sakit dinyerikan dan dicuci-Nya. Sakit itu mustajab doa. Imam As-Suyuthi keliling kota mencari orang sakit lalu minta didoakan oleh mereka.
Sakit itu salah satu keadaan yang menyulitkan setan; diajak maksiat tak mampu, tak mau; dosa lalu malah disesali kemudian diampuni. Sakit itu membuat sedikit tertawa dan banyak menangis; satu sikap keinsyafan yang disukai Nabi dan para makhluk langit
Sakit meningkatkan kualitas ibadah; rukuk-sujud lebih khusyuk, tasbih-istighfar lebih sering, tahiyyat-doa jadi lebih lama. Sakit itu memperbaiki akhlak; kesombongan terkikis, sifat tamak dipaksa tunduk, pribadi dibiasakan santun, lembut, dan tawadhu.
Dan pada akhirnya, sakit membawa kita untuk selalu ingat mati. Mengingat mati dan bersiap amal untuk menyambutnya adalah pendongkrak derajat ketakwaan. Karena itu, mulailah belajar untuk tetap tersenyum dengan sakit. Wallahu a’lam.(*/Republika)