PANDEGLANG – Jaringan Rakyat untuk Demokrasi dan Pemilu (JRDP) Kabupaten Pandeglang menggelar kajian rutin, Minggu 28 Juli 2019, di sebuah tempat milik relawan di kecamatan Cisata, kabupaten Pandeglang.
Kajian tersebut membahas 3 isu strategis yang mencuat menjelang pelaksanaan Pilkada 2020. Pertama soal rencana penerapan e-rekap. Kedua tentang durasi kampanye. Dan ketiga perihal rekomendasi pencalonan kepala daerah.
Aktivis JRDP Fuadudin Bagas menjelaskan, soal e-rekap, KPU setidaknya harus mempersiapkan diri secara komprehensif melalui tiga pendekatan. Pertama secara aturan apakah e-rekap tersebut memungkinkan untuk diterapkan. Mengingat dalam UU pilkada disebutkan, hasil resmi pilkada adalah penghitungan yang dilakukan secara manual dan berjenjang mulai dari KPPS, PPK, hingga KPU. Terlebih, kata Bagas, beberapa alat kerja KPU seperti Sidalih dan Situng, berkaca pada Pemilu 2019 lalu, banyak ditemui kelemahan.
Kedua, dari aspek teknis, apakah penerapan e-rekap ini sudah disiapkan perangkat yang memadai. Bagaimana kelak jika ditemukan adanya penulisan Model C-1 yang tidak valid, bagaimana kelak jika ditemukan penulisan Model C-1 yang tidak dijumlahkan. Dan varian kesalahan lain dalam penulisan Model C-1 oleh KPPS.
Belum lagi kualitas jaringan internet di masing-masing daerah sangat berbeda. KPU terlebih dahulu wajib memastikan kualitas jaringan internet ke semua kecamatan harus stabil.
“Pendekatan ketiga adalah soal SDM. Pertanyaannya apakah semua badan ad hoc KPU sudah dipersiapkan secara matang untuk menggunakan pola e-rekap. Faktanya dalam hal penghitungan suara, PPK terbiasa melakukan secara manual dalam rapat pleno terbuka. Apalagi misalkan bimtek nya mepet dan tidak komprehensif, jelas pemahaman PPK akan sangat kurang,” kata Bagas.
Tentang durasi kampanye, JRDP berpendapat agar waktunya dipersingkat. Karena berapapun lamanya durasi kampanye, pasti dimaknai berbeda oleh para kontestan. Bagi petahana, selama apapun durasi kampanye sama sekali tidak menimbulkan masalah. Terlebih dia ditopang oleh sumber daya uang dan jalur birokrasi. Sementara bagi penantang alias bukan petahana, terlebih mereka yang bermodal sedikit, durasi kampanye ini akan menguras energi.
“Faktanya dengan durasi kampanye selama 81 hari pada Pilkada 2018 silam, calon petahana di sejumlah tempat tidak lebih dari dua kali dalam menggunakan kampanye rapat umum. KPU juga kami sarankan untuk bisa mengubah metode kampanye yang selama ini digunakan.” tambah Bagas.
Mengenai pencalonan, JRDP mengusulkan agar pengurus parpol di tingkat provinsi dan kabupaten kota diberikan kewenangan lebih dalam melakukan penjaringan, seleksi, dan penetapan calon kepala daerah yang akan mereka usung. Selama ini penetapan calon kepala daerah dilakukan oleh pengurus pusat atau DPP.
Lebih lanjut Bagas menjelaskan “Satu sisi parpol menerapkan rezim sentralisasi, sisi yang lain mereka memberi ruang kepada pengurus di daerah untuk melakukan penjaringan, tapi kemudian DPP yang memutuskan. Ini jelas pola yang terputus. Kadang ada banyak contoh dimana seorang kandidat sama sekali tidak direkomendasikan oleh pengurus daerah, namun karena lobi-lobi yang bersangkutan langsung ke Jakarta, maka dia kemudian mengantongi tiket pencalonan dari ketua umum DPP.”
Korda JRDP Pandeglang Anton Purwanto menjelaskan, atas 3 isu dimaksud, pihaknya berharap pemerintah dan DPR segera melakukan revisi terbatas pada UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. “Jangan nanti KPU sudah menyusun draf peraturan, revisi UU nya belum dilakukan. Kekosongan hukum ini bisa menyebabkan polemik berkepenjangan yang bakal mengganggu tahapan. Hasil kajian ini akan kami susun secara tertulis untuk diteruskan kepada KPU dan Bawaslu di Jakarta,” kata Anton.
Hadir pada kesempatan kajian tersebut Koordinator Umum JRDP Nana Subana, dan relawan JRDP dari beberapa kecamatan. Selain membahas soal pilkada, kajian juga sedikit menyinggung perihal rencana pelaksanaan pilkades di sejumlah tempat (*/Qih)