Fatwa Halal “Menjarah” dari Pemerintah

Dprd ied

Oleh : Hersubeno Arief

“Pemimpin itu Din, bisnisnya mengambil keputusan. Kamu pasti pernah mendengar: Quick to see, quick to decide, quick to take action.” Presiden SBY Kepada Dino Pati Djalal dalam buku “Kamu Pasti Bisa.”

Pernyataan yang disampaikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) kepada Dino Pati Djalal saat terjadi gempa dahsyat dan tsunami Aceh 2004 itu, penting untuk kembali kita renungkan. Bukan untuk membanding-bandingkan. Tapi untuk kita pelajari. Sebuah pelajaran manajemen pengambilan keputusan di saat genting. Itu adalah sebuah best practice dari SBY ketika menghadapi sebuah bencana dahsyat.

Dua periode kepresidenan SBY, Indonesia mengalami sangat banyak bencana. Ada yang menghitung sampai 300 kali bencana. Mulai dari gempa bumi, banjir, longsor, gunung api meletus, sampai angin puting beliung. Tentu saja yang terdahsyat adalah gempa dan tsunami Aceh.

Gempa yang terjadi pada tanggal 26 Desember 2004 itu bahkan termasuk salah satu bencana terdahsyat di dunia. Selain Aceh, beberapa wilayah di Sumatera Utara juga terkena bencana. Sekitar 220.000 orang lebih meninggal dunia, jutaan rumah dan bangunan hancur. Pemerintah memperkirakan total kerusakan dan kerugian akibat bencana tsunami di Aceh dan Sumatera Utara mencapai Rp 42,7 triliun. Jumlah ini mencapai 2,2 persen dari total produk domestik bruto Indonesia atau 97 persen PDB Aceh.

Saat gempa terjadi, SBY dan rombongan tengah di Jayapura, Papua untuk merayakan Natal bersama. Tepat sebulan sebelumnya provinsi di ujung paling Timur itu juga diguncang gempa. Gempa di Nabire. 32 orang tewas, dan ratusan rumah hancur.

Kabar adanya gempa di Aceh hanya sayup-sayup diterima SBY. Hancur totalnya infrastruktur, termasuk alat komunikasi, membuat kepastian adanya gempa, dan dampak dari gempa tersebut lambat diterima. “Ini keadaan yang serius, dan bisa menjadi krisis nasional, oleh karena itu saya harus segera ke depan!” ujar SBY setelah mendapat keputusan kabar adanya gempa dan tsunami.

Keputusan tegas SBY tidak bisa ditolak para stafnya. Padahal saat itu laporan kerusakan belum jelas. Bagaimana kondisi lapangan, apakah bandara bisa didarati dll, juga belum jelas.
SBY terbang ribuan kilometer menembus dua zona waktu, dari ujung Timur menuju ujung Barat Indonesia. Karena menggunakan pesawat kecil, terpaksa harus mengisi bahan bakar di Makassar, Batam, dan Lhokseumawe.

Pada hari kedua setelah gempa dan tsunami SBY sudah tiba di lokasi. Dia bahkan memutuskan untuk berkantor dan memimpin langsung operasi pemulihan.
“Di tempat itulah saya lihat pertama kali Presiden mengeluarkan instruksi yang bersifat operasional untuk melakukan langkah-langkah tanggap darurat, “ tulis Dino. Intinya upaya penyelamatan jiwa penduduk, perawatan korban, SAR, dan bantuan pangan. Tampaknya nalurinya sebagai seorang jenderal mendorongnya mengeluarkan perintah-perintah cepat itu. “Semalaman beliau tidak tidur merencanakan strategi dan aksi penanganan bencana yang luar biasa ini. ”

Soal kapasitas
Sama seperti SBY, Presiden Jokowi juga tiba dua hari setelah gempa dan tsunami menerjang Palu, Sigi, dan Donggala, Sulawesi Tengah. Gempa terjadi pada hari Jumat (28/9), Jokowi tiba dua Ahad (30/9) dengan menggunakan pesawat militer.
Usai mendarat di Bandara Mutiara Sis Al Jufri, Palu, Jokowi langsung memimpin rapat terbatas (ratas) dengan sejumlah menteri, Kepala BNPB, Kepala Basarnas, Panglima TNI dan Kapolri.

Setelah ratas, Jokowi kemudian memberikan arahan kepada prajurit TNI di pelataran atau teras bandara. “Saya minta saudara-saudara semuanya siap untuk bekerja siang dan malam menyelesaikan yang berkaitan dengan evakuasi, siap?” kata Presiden.

Jokowi tidak memutuskan tinggal dan berkantor di Palu. Mungkin Jokowi menilai situasinya tidak mengharuskan dia berada disana. Disamping itu gempa Palu, Sigi, dan Donggala tidak sedahsyat Aceh.

Sampai disini apa yang dilakukan dan keputusan yang diambil Jokowi dan SBY sama. Cepat meninjau lokasi. Cepat memerintahkan penanganan gempa. Yang berbeda adalah pada pengambilan keputusan, dan aksi. Terutama apa yang dilakukan kalangan pembantu dekatnya.

dprd tangsel

Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo yang tiba bersama Menko Polhukam Wiranto, dan Panglima TNI Hadi Tjahjono mengambil langkah cukup mengagetkan. Melihat keterbatasan logistik di lapangan Tjahjo mempersilakan warga untuk mengambil makanan di sejumlah mini market. “Pemerintah nanti yang bayar.”

Pernyataan Tjahjo sangat jelas. Disiarkan semua tv nasional, media online, dan cetak. Rekaman pernyataannya bisa ditemukan di kanal youtube, dan tersebar di berbagai medsos.

Dampak dari “fatwa” Tjahjo sangat terasa di lapangan. Warga segera menyerbu beberapa mini market, dan toko-toko yang menyediakan bahan makanan dan minuman. Tidak hanya berhenti pada toko makanan, dan minuman, warga juga menyerbu beberapa toko dan super market. Mereka tidak hanya mengambil bahan makanan, tapi juga berbagai alat elektronik.

Sejumlah relawan yang membawa bantuan, dihadang warga, dan dijarah. Padahal terlihat lokasi di sekitar kejadian tidak terjadi bencana. Rumah mereka masih tegak berdiri.

Situasi yang tidak menentu membuat warga mencoba berbondong-bondong mencoba meninggalkan Palu. Mereka memenuhi bandara dan mencoba naik ke pesawat hercules militer yang membawa bantuan. Perpaduan antara kekhawatiran adanya gempa susulan, ketiadaan logistik, dan masalah keamanan, membuat warga khawatir.

Mendapati situasi yang berkembang cepat dan tak terkendali, para petinggi negeri ini, mulai mengambil langkah “menyelamatkan diri.” Mendagri Tjahjo menyalahkan media, karena memelintir berita. Menurutnya dia tidak pernah mempersilakan warga mengambil makanan dan minuman.

“Dalam rapat saya minta pemda untuk memfasilitasi beli minuman dan makanan di toko yang jual, berikan dulu kepada pengungsi dan yang dirawat di rumah sakit. Cari yang punya toko, dibeli dulu, dan saya minta pengawalan Satpol PP dan polisi, kemudian dibagikan makanan tersebut,” kata Tjahjo dalam pesan singkat yang diterima di Jakarta, Minggu (30/9).

“Penjarahan tidak ada. Jadi seluruh supermarket di sana itu dibuka untuk diserahkan pada masyarakat. Tidak ada penjarahan,” tegas Panglima TNI Hadi Tjahjono di Mabes TNI, Cilangkap, Jakarta Timur, Minggu (30/9/2018

Menko Polhukam Wiranto juga membantah ada penjarahan. “Saya sendiri baru lihat tadi malam, saya tiga hari di sana. Saya lihat langsung bahwa ada perbedaan antara penjarahan dan pengambilan barang dari toko terutama makanan dan minuman,” ujar Wiranto di Kantor Kemenkopolhukam, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta, Senin (1/10).

Presiden Jokowi meminta agar masalah kecil tersebut tidak perlu dipersoalkan. Apalagi dalam kondisi darurat. Mungkin ada satu, dua peristiwa penjarahan, tapi itu merupakan kebaikan pemilik toko.”Ya mungkin hanya satu dua peristiwa, karena toko memberikan untuk membantu saudara-saudaranya. Jadi itu semuanya dalam proses membantu,” ujar Jokowi.

Benarkah para pemilik toko ini membantu? Ketua Asosiasi Peritel Indonesia (Aprindo) Roy Nicholas Mandey menyayangkan langkah dan keputusan Mendagri yang dinilainya arogan.
“Pernyataan tersebut disampaikan tanpa koordinasi terlebih dahulu dengan para pemilik usaha, manajemen ataupun Aprindo sebagai asosiasi pengusaha toko modern,” katanya.

Keputusan pemerintah justru memberikan kesan tidak mendidik pada masyarakat. Selain itu, Roy menambahkan, pemerintah seolah memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk bertindak di luar tata krama, moral, etika dan kurang berbudaya.

Jelas sudah duduk persoalannya. Pemerintah harus membenahi manajemen penanganan bencananya. Sebagai negara yang berada dalam kawasan Cincin Api Pasifik (Ring of fire) potensi Indonesia mengalami bencana ganda (multiple disasters) sangat besar. Selasa (2/9) gempa 6.2 skala richter melanda Sumba Timur, NTT. Donggala juga kembali diguncang gempa 5.3 skala richter.

Tak ada gunanya saling menyalahkan. Apalagi menyalahkan media yang hanya mengutip pernyataan seorang pejabat tinggi.(*/Harsubenoarief.COM)

Golkat ied