FAKTA BANTEN – Dua Puluh tahun Reformasi berlalu. Demokrasi dan hukum digadang-gadang dapat tegak selepas rezim orde baru lengser. Namun justru dikhianati oleh orang-orang yang mengaku berjuang mewujudkan Reformasi. Gerakan yang mencapai puncak klimaks di bulan Mei 1998 ternyata hanya bertujuan untuk menjadwal siapa yang berkuasa setelah Soeharto.
Soeharto lengser keprabon, namun persoalan tidak selesai begitu saja. Diktator-diktator baru yang tak kalah otoriter justru lahir semakin banyak, bertopeng demokrasi memaksakan kepentingan individu dan golongannya. Kebebasan berpendapat yang dahulu menjadi barang terlarang, kini justru menjadi hal yang sangat murah, bahkan diobral.
Di era Orde Baru, tidak semua orang memiliki keberanian untuk mengungkapkan pendapatnya, sikap kritis rakyat dikebiri. Hampir tak ada yang berani mengkritik penguasa. Siapa yang berani mengusik Macan, nyawa taruhannya.
Setelah Soeharto turun, rezim penguasa silih berganti. Perubahan Indonesia yang baru melalui Reformasi masih belum terwujud. Bergantinya penguasa bukan sepenuhnya dalam rangka mencapai cita-cita luhur untuk mensejahterakan seluruh rakyat Indonesia, topeng demokrasi dimanfaatkan sebagai cara untuk menggulirkan kompetisi perebutan kekuasaan lima tahun sekali.
Ini bukan zaman Nabi dan Rasul. Ini bukan era dimana manusia-manusia terpilih diberi mandat langsung dari Tuhan dan difasilitasi untuk menyebarkan nilai.
Ini zaman penuh dengan topeng kepalsuan. Ini zaman penuh dengan manipulasi informasi. Sementara manusia di zaman ini tak memiliki kemampuan untuk menentukan baik atau buruk, benar atau salah sebuah informasi. Topeng kepalsuan semakin sukar dibongkar kebohongannya.
Ini zaman yang dipenuhi dengan berhala-berhala. Berhala jabatan, berhala popularitas, berhala uang, berhala kekuasaan, berhala like and dislike, berhala viral dan segala macam bentuk berhala yang memenuhi seantero jagat raya.
Dan manusia zaman ini tak memiliki pijakan untuk berdiri pada titik koordinat yang tepat dan seimbang.
Para pendahulu kita menyebutnya sebagai Jababiroh. Jababiroh adalah zaman yang menganut kebebasan menjadi sebuah sikap yang diberhalakan. Perilaku maksiat, fitnah, kebohongan, dusta, ketidakadilan, keserampangan adalah hal yang biasa terjadi dan dimaklumi oleh siapa saja.
Jababiroh, zaman dimana ummat Islam di seluruh penjuru dunia adalah ummat yang paling banyak jumlahnya, namun kuantitas itu ibarat buih yang tampak di permukaan laut. Semua orang berteriak lantang memperjuangkan Islam, namun pada perjuangan itu hanyalah sebatas pemuasan kepentingan kelompoknya semata. Jargon-jargon khas Agama hanya menjadi gincu pemanis saja.
Dan Politik tidak dijadikan alat untuk menempuh keadilan sosial, tapi sekadar untuk merebut dan mempertahankan kekuasaan dengan menjatuhkan lawan. Tahsabuhum jamii’an wa quluubuhum syattaa. Mereka tampaknya bersatu dalam satu barisan, namun mereka tercerai-berai satu dengan yang lain. Masing-masing dari mereka bertujuan untuk kepuasan nafsu sendiri.
Hukum yang sudah disepakati pun bisa miring dipermainkan demi suksesi agenda para pemodal. Amandemen demi amandemen, juga rancangan demi rancangan undang-undang yang baru, dipenuhi pesanan kepentingan. Dari mereka yang hendak menancapkan cakar invasi ekonomi dengan kedok investasi.
Pembangunan dipertontontkan seolah-olah sebagai bahtera penyelamat dari air bah globalisasi. Rakyat dicatut namanya sebagai entitas negara yang dianggap tidak berdaya dan butuh pembangunan. Padahal, rakyat adalah pemilik dari negara yang hakiki dan pemerintah sebatas sebagai karyawan yang bertugas memelihara dan menjaga supaya rumah ini tetap dapat diwariskan ke generasi penerus. Alih-alih menjadi tuan rumah di negeri sendiri, bisa jadi rakyat hanya akan menjadi penghuni kost dan terasing dengan tanah airnya.
Ronggowarsito pernah membikin sebuah syair; Amenangi zaman edan, Ewuh aya ing pambudi, Melu edan ora tahan, Yen tan melu nglakoni, Boya keduman milik, Kaliren wekasanipun, Ndilalah kersaning Allah, Begja begjaning kang lali, Luwih begja kang eling lan waspada. Tidak mudah untuk mengerti zaman yang semakin edan ini, tidak sampai hati untuk ikut
edan, kalau tidak edan tidak kebagian harta akhirnya kelaparan. Seberapapun beruntung orang yang melupakan Tuhan, masih lebih beruntung dan lebih bahagia orang yang ingat kepada Tuhan sadar akan adanya Tuhan dan selalu waspada terhadap kehadiran Tuhan.
Satu hal yang penting adalah berkaca pada diri kita masing-masing, menghitung secara detail apa saja yang salah. Kita arahkan jari telunjuk kepada diri kita
sendiri, agar tidak selalu menyalahkan orang lain, karena bisa jadi ada juga hal-hal yang salah dalam diri kita. (*)
Sumber: caknun.com