Jokowi Tak Bisa Jadi Panutan Pemberantasan Korupsi
JAKARTA – Mantan Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Busyro Muqoddas mengkritik serangkaian keputusan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang ia anggap tak mendukung pemberantasan korupsi. Dia juga berkaca pada langkah terbaru Jokowi yang memberikan grasi kepada narapidana kasus korupsi, Annas Maamun.
Menurut Busyro, dengan pemberian grasi ditambah tindakannya selama ini, Jokowi tak bisa lagi dijadikan teladan dalam melawan tindakan rasuah.
“Catatan sikap dia menyetujui revisi UU KPK, dibarengi tidak berani mengeluarkan Perppu UU KPK yang baru, ditambah grasi kepada koruptor, sudah cukup untuk menilai bahwa dia tidak bisa dijadikan panutan tertinggi dalam melawan dan memberantas tumor ganas korupsi yang telah menjadi fakta tindak kebrutalan dan radikal yang nyata,” jelas Busyro, Sabtu (30/11/2019).
Menurut mantan ketua Komisi Yudisial itu, banyak yang gelisah dengan rentetan sikap Jokowi selama ini. Kegelisahan itu muncul lantaran Jokowi terindikasi ingin menurunkan standar moralitas.
Busyro berasumsi demikian berangkat kepada langkah-langkah yang diambil Jokowi. Bukan hanya soal korupsi, tetapi juga kebijakan-kebijakan lain.
“Sudah pada level demoralisasi yang berdampak pada deideologisasi terhadap Pancasila, yang tidak dicerminkan pada sejumlah kebijakan pemerintah yang diametral, terutama keadilan sosial,” kata Busyro.
“Tata kelola sektor ekonomi, pajak, tata ruang, perizinan sektor Sumber Daya Alam, dan rekrutmen pejabat dan staf-staf khusus yang tidak based on track record integritas yang teruji adalah contoh konkret,” tambahnya.
Karena itu pula Busyro mengaku kian ragu komitmen presiden menumpas korupsi. “Masih bisa diharapkan kah Presiden Jokowi untuk sungguh-sungguh dan jujur, serta berani melawan korupsi di birokrasi?” kata Ketua PP Muhammadiyah Bidang Hukum dan HAM tersebut.
Presiden Jokowi mengambil sikap yang berseberangan dengan sejumlah pihak mengenai hal-hal yang berkenaan dengan KPK dan pemberantasan korupsi. Kritikan sudah mengalir deras kepada Mantan Wali Kota Solo tersebut sejak beberapa bulan lalu.
Terutama ketika Jokowi menyetujui UU KPK direvisi. Banyak pihak, khususnya pegiat antikorupsi, mengkritik sikap Jokowi itu. Namun, proses revisi berjalan terus.
Hingga kemudian, DPR mengesahkan revisi UU KPK. Gelombang mahasiswa di berbagai daerah melakukan unjuk rasa selama berhari-hari. Di Jakarta, Gedung DPR menjadi sasaran.
Mahasiswa mendesak Jokowi menerbitkan Perppu agar revisi UU KPK tidak digunakan. Menurut mahasiswa dan aktivis antikorupsi, UU KPK yang telah direvisi sangat berpotensi melemahkan KPK dalam memberantas kasus-kasus rasuah.
Namun, Jokowi tak menggubris. Tidak ada Perppu yang diterbitkan agar UU KPK terbaru tidak digunakan. Juru Bicara Kepresidenan Fadjroel Rachman juga telah berulang kali menegaskan tidak ada Perppu yang bakal dikeluarkan.
Termutakhir, Jokowi memberikan grasi untuk Annas Maamun dengan pengurangan masa pidana selama satu tahun. Dengan grasi tersebut, masa hukuman narapidana korupsi itu berkurang dari tujuh tahun menjadi enam tahun sehingga bisa bebas pada Oktober 2020.
Staf Khusus Presiden Dini Purwono menjelaskan bahwa pemberian grasi didasari pertimbangan tentang kepatuhan HAM, karena Annas telah berusia uzur dan sakit-sakitan.
Indonesia Corruption Watch (ICW) mengkritik sikap Jokowi itu meski telah ada penjelasan dari pemerintah.
Menurut ICW sikap Jokowi memberikan grasi kepada koruptor semakin menegaskan bahwa mantan Gubernur DKI Jakarta itu tidak memiliki komitmen tegas dalam memberantas korupsi di Indonesia. (*/CNN)