Kontroversi Permendikbud 30 Yang Dianggap Legalkan Zina, Ini Isinya
FAKTA – Pengasuh pondok pesantren (Ponpes) Ustaz Hilmi Firdausi menolak Permendikbud No 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi.
Judul Permendikbud 30 dianggap tidak sesuai dengan isi. Judulnya pencegahan dan penanganan kekerasan seksual, tapi isinya seolah melegalkan zina.
“Saya sebagai pemilik lembaga pendidikan dan pengasuh Ponpes menolak keras PERMENDIKBUDRISTEK No 30/2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi,” kata Hilmi, dikutip Sewaktu.com dari Twitter pribadinya @Hilmi28 pada Sabtu (6/11).
Ustaz Hilmi Firdausi mengatakan Permendikbud 30 Tahun 2021 secara tidak langsung melegalkan perbuatan zina.
“Kebijakan ini secara tidak langsung seperti melegalkan perzinahan yang sangat merusak tatanan bangsa,” tegas Ustaz Faisal Hilmi.
Ia meminta kepada Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbud Ristek) Nadiem Makarim untuk meninjau ulang Permendikbud 30 Tahun 2021 tersebut.
“Mas menteri mohon ditinjau ulang,” tutup Ustaz Faisal Hilmi.
Isi Permendikbud 30
Permendikbud 30 dianggap legalkan zina karena perbuatan asusila bukan termasuk kekerasan seksual jika suka sama suka.
Pada Pasal 1 Permendikbud 30 disebutkan bahwa Kekerasan Seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, melecehkan, dan/atau menyerang tubuh, dan/atau fungsi reproduksi seseorang, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan psikis dan/atau fisik termasuk yang mengganggu kesehatan reproduksi seseorang dan hilang kesempatan melaksanakan pendidikan tinggi dengan aman dan optimal.”
Pada Pasal 5 ayat (1) disebutkan Kekerasan Seksual mencakup tindakan yang dilakukan secara verbal, nonfisik, fisik, dan/atau melalui teknologi informasi dan komunikasi.
Pasal 5 ayat (2) menyebutkan Kekerasan Seksual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. menyampaikan ujaran yang mendiskriminasi atau melecehkan tampilan fisik, kondisi tubuh, dan/atau identitas gender Korban;
b. memperlihatkan alat kelaminnya dengan sengaja tanpa persetujuan Korban;
c. menyampaikan ucapan yang memuat rayuan, lelucon, dan/atau siulan yang bernuansa seksual pada Korban;
d. menatap Korban dengan nuansa seksual dan/atau tidak nyaman;
e. mengirimkan pesan, lelucon, gambar, foto, audio, dan/atau video bernuansa seksual kepada Korban meskipun sudah dilarang Korban;
f. mengambil, merekam, dan/atau mengedarkan foto dan/atau rekaman audio dan/atau visual Korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan Korban;
g. mengunggah foto tubuh dan/atau informasi pribadi Korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan Korban;
h. menyebarkan informasi terkait tubuh dan/atau pribadi Korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan Korban;
i. mengintip atau dengan sengaja melihat Korban yang sedang melakukan kegiatan secara pribadi dan/atau pada ruang yang bersifat pribadi;
j. membujuk, menjanjikan, menawarkan sesuatu, atau mengancam Korban untuk melakukan transaksi atau kegiatan seksual yang tidak disetujui oleh Korban;
k. memberi hukuman atau sanksi yang bernuansa seksual;
l. menyentuh, mengusap, meraba, memegang, memeluk, mencium dan/atau menggosokkan bagian tubuhnya pada tubuh Korban tanpa persetujuan Korban;
m. membuka pakaian Korban tanpa persetujuan Korban;
n. memaksa Korban untuk melakukan transaksi atau kegiatan seksual;
o. mempraktikkan budaya komunitas Mahasiswa, Pendidik, dan Tenaga Kependidikan yang bernuansa Kekerasan Seksual;
p. melakukan percobaan perkosaan, namun penetrasi tidak terjadi;
q. melakukan perkosaan termasuk penetrasi dengan benda atau bagian tubuh selain alat kelamin;
r. memaksa atau memperdayai Korban untuk melakukan aborsi;
s. memaksa atau memperdayai Korban untuk hamil;
t. membiarkan terjadinya Kekerasan Seksual dengan sengaja; dan/atau
u. melakukan perbuatan Kekerasan Seksual lainnya.
Pada pasal 5 ayat (3) disebutkan persetujuan korban sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, huruf f, huruf g, huruf h, huruf l, dan huruf m, dianggap tidak sah dalam hal Korban:
a. memiliki usia belum dewasa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
b. mengalami situasi dimana pelaku mengancam, memaksa, dan/atau menyalahgunakan kedudukannya;
c. mengalami kondisi di bawah pengaruh obat-obatan, alkohol, dan/atau narkoba;
d. mengalami sakit, tidak sadar, atau tertidur;
e. memiliki kondisi fisik dan/atau psikologis yang rentan;
f. mengalami kelumpuhan sementara (tonic immobility);
dan/atau
g. mengalami kondisi terguncang. (*/Red/Net)
Sumber: Sewaktu.com
