Oleh Dr. Syahganda Nainggolan, MT, (Sabang Merauke Circle)
Azan masjid tadi di kompleks rumahku, yang baru direnovasi hampir 5 milyar bergema. Ini azan Jumat, 25 Januari 2019. Hatiku tetap bingung apakah aku ke Masjid itu, atau ke Masjid yang lebih kecil berjarak 500 an meter, di mana Ustadz Abdul Somad (UAS) menjadi Khatib Jumat dan ceramah sesudahnya.
Di tengah jalan sepada motorku berbelok ke Masjid Nurul Huda, Cimanggis, di mana UAS berada. Naik motor memudahkanku menerobos jalan yang sudah di blokir. Jalan sepanjang lebih 1 KM diblokir untuk tempat massa berkumpul.
Masjid baru akan mulai Azan. Aku harus buru-buru menerobos massa yang sudah tiba sejak awal. Masih ada ruang di seberang Masjid, sebuah rumah tua berhalaman luas. Hujan gerimis membasahi tanah. Untung penjual tikar sebesar dua kali sajadah seharga Rp10.000 gampang dijumpai.
Disitulah aku mulai mendengar suara UAS yang menggelegar sebagai Khotib Jumat. Sebagai Khotib, UAS memberikan pencerahan soal tanggung jawab kita terhadap anak.
Di masa lalu, ada Muhammad Al Fatih, yang bisa menaklukkan Constantinopel. Saat ini dia menganjurkan agar jamaah berdoa agar memiliki anaknya yang bisa menaklukkan Israel.
Jumatan dan doa berakhir. Massa ibu-ibu dan bapak-bapak mulai bangkit berdiri. Somad akan menuju panggung. Rumah di seberang Masjid ini terhalangi tembok untuk pandangan ke panggung. Tentu bisa melihat sambil berdiri. Saya memilih naik ke pohon yang sedikit basah. Agar ketinggian saya dan Somad sejajar, sehingga enak mendengar dan melihatnya.
Laskar FPI sibuk mengatur massa yang sudah seribuan di sekitar panggung untuk tertib. Semua harus adil melihat, yang berdiri di depan harus duduk.
Ceramah di panggung ini disetting tanya jawab. Ada 7 pertanyaan yang diberikan ke UAS di kertas setelah 10 menit ia memulai ceramah membangkitkan gairah massa.
Pertanyaan 1) menyangkut Ghibah alias menggosip aib orang, 2) istri Solehah, 3) kawin beda agama, 4) kawin ketika hamil, 5) kredit emas, 6) belanja di toko 212, dan 7) turunnya Dajjal.
Dari pertanyaan ini dan jawaban UAS terlihat pandangan holistic dia yang melingkupi persoalan masyarakat, individu dan negara.
UAS megatakan bahwa pelacuran makin subur karena persepsi materialistik memenuhi otak manusia. Anak-anak perempuan dibuatkan mahar yang terlalu mahal, sehingga banyak pria yang kesulitan menikah. Akhirnya sebagian memilih zina. UAS mengharapkan orang-orang tua kembali kepada ukuran keagamaan, yakni keshalehan calon suami sebagai ukuran mencari menantu.
Kesalehan istri, menurutnya, banyak terganggu dengan membanjirnya budaya mempercantik diri bagi wanita bersuami di luar rumah, daripada di rumah. Suami juga jangan terpesona dengan kecantikan perempuan bukan istrinya. Karena beban istri mengurus anak dan rumahtangga akan berkorelasi dengan kecantikan. Sehingga suami harus melihat kesalehan istri sebagai jaminan.
Dikaitkan dengan peran negara, UAS mengatakan bahwa diskriminasi terjadi terhadap guru-guru Madrasah, yang mengajarkan bathiniah, yang ditandai dengan kecilnya honor guru-guru tersebut. Sebaliknya, guru-guru yang megajarkan “ilmu material” di sekolah-sekolah umum mendapatkan penghasilan yang jauh lebih besar.
Seharusnya pemerintah memberikan perhatian yang seimbang bagi guru-guru yang mengajarkan akhlak.Tentu juga masyarakat harus bertanggung jawab dengan memperbesar infak dan sedekah.
Dalam menyikapi soal kredit emas, UAS memasukkan sebagai riba. Riba adalah haram dalam Islam. Pertukaran dalam Islam haruslah uang vs. uang. Dinar vs. rupiah, misalnya.
Terhadap isu “warung 212” UAS menjawab dua hal, pertama warung 212 harus membanjiri majelis-majelis taklim dan pengajian dengan jualan sembako miliknya. Masyarakat pengajian juga harus gairah membeli produk warung 212 tersebut. Perinsip membeli di warung umat, UAS menekankan agar pembeli mempunyai misi menyelamatkan gairah perekonomian umat tersebut. Bukan sekedar faktor harga.
Di akhir ceramahnya UAS mengajak berdoa agar Indonesia diberikan pemimpin yang cinta terhadap Islam dan umat Islam, bukan pemimpin yang benci Islam, bukan pemimpin yang bisa menerima komunis. Sebelumnya UAS mengatakan bahwa sudah ratusan bahwa seribu tahun lalu dari Sabang sampai Papua, Islam itu telah menpersatukan Indonesia, sehingga tidak ada persoalan permusuhan antar suku bangsa.
Kekuatan Somad
Ribuan orang berkumpul mendengarkan UAS meskipun gerimis datang. Tidak ada yang gelisah, semuanya senang. Majelis ini adalah majelis dengan bahasa rakyat, bahkan rakyat jelata.
Kekuatan Somad terpancar dari 1) bahasanya tidak dibuat-buat. Bahasa UAS adalah bahasa lepas. Spontan. Namun pas. 2) UAS mempunyai intonasi dengan penyesuaian pada bahasan. Ketika UAS membahas seseorang mati dalam keadaan syirik, misalnya, UAS dalam bahasa menggegelar dan intonasi tinggi.
3) UAS menekankan pentingnya pemimpin yang soleh, peraturan yang memihak orang kecil dan partisipasi rakyat dalam membangun suatu peradaban yang adil.
Tentu kekuatan UAS sebelumnya terpancar saat dia dilamar Prabowo dan Ijtima ulama menjadi calon wakil Presiden, malah dia melarikan diri ke pedalaman hutan, menghindar. Somad tidak menjual agama dan ketenaran untuk kekuasaan. Dia hanya ingin berdakwah.
Pandangan UAS soal peranan pemimpin dan regulasi yang baik, merupakan “Windows” bagi UAS untuk melihat bahwa urusan agama bukanlah urusan privat semata, melainkan menyangkut negara.
Meskipun UAS menekankan kewajiban individual dalam konteks ilahiah, yakni sebagai manusia pecinta Rasulullah, penekanan kepemimpinan dan negara membuat bahasan UAS tentang manusia dan masyarakat menjadi satu kesatuan utuh, holistik.
Lebih holistik lagi ketika UAS menutup doa bagi keselamatan berbagai negara muslim dan yang di awal meminta orang tua mendoakan anaknya agar kelak jadi penakluk Israel, menjadikan kita melihat UAS sebagai manusia dengan beban berskala dunia.
Acara bubar, saya berjalan menerobos massa menuju sepeda motor yang parkir. Penjual-penjual buku UAS, Kalender UAS yang ada logo Prabowo Sandi, penjual topi dan syal Tauhid dll membanjiri jalan.
Di antara kerumunan massa, saya masih tetap merenung kenapa seorang manusia yang lahir di pedalaman Kisaran, hampir 200 km dari tanah saya lahir di kota Medan, lalu saya sekolah di ITB, Somad kuliah Agama, namun akhirnya saya duduk di pohon yang licin menjadi penonton dia yang terkenal. Semuanya itu rejeki Allah. Itulah kekuatan Ustadz Abdul Somad. (*/Kanigoro.com)