*) Oleh: Ilung (Sang Revolusioner)
PUASA itu melatih “tidak” karena kehidupan sehari-hari kita adalah melampiaskan “ya”. Sekurang-kurangnya mengendalikan “ya”. Mental manusia lebih berpihak pada “melampiaskan” dibanding “mengendalikan”.
Wajar kalau menjelang puasa harga-harga pada naik karena rasio; kebutuhan banyak stok barang terbatas, ini terlepas adanya oknum-oknum tengkulak yang bermain.
Kita seakan kurang waspada pada kesadaran, dimana puasa yang mestinya jatah konsumsi makan kita berkurang tapi dari analisa pasar, kebutuhan konsumsi justru meningkat bisa sampai 2-3 kali lipat di bulan Ramadhan ini.
Siang atau sore hari hasrat kita begitu menggebu membeli menu pembuka ini itu seakan tidak mengukur kapasitas perut kita. Di bulan puasa makanan dan minuman menumpuk bahkan sampai tidak muat di meja makan kita.
Padahal, keselamatan peradaban, keindahan kebudayaan, tata kelola manajemen, kepengurusan negara dan kemasyarakatan lebih mengacu pada pengendalian daripada pelampiasan.
Bahkan idiom “kemerdekaan” kita selama ini sedemikian tidak terkontrol sehingga identik dengan “pelampiasan”. Maka Ramadhan menjadi sangat penting untuk melatih “tidak” itu.
Bukan hanya tak makan tak minum tak banyak omong dan lain sebagainya, tapi juga berbagai macam “tidak” yang lain coba dilatihkan selama bulan Ramadhan. Termasuk “tidak” ribut, riuh rendah, gebyar-gemebyar, melonjak-lonjak, melampiaskan makan saat berbuka. Puasa mungkin juga merupakan perjalanan memasuki kesunyian, menghayatinya, merenunginya, kemudian menemukan nikmatnya.
Dunia dan Indonesia sudah selalu ribut, dan begitu memasuki Ramadhan: semakin ribut keadaan, dari mulai naiknya harga-harga di Pasar, THR pegawai, mudik, shopping baju dan sangu lebaran yang membuat apa saja menjadi komoditas semakin jadi pengeras suara dari keributan itu.
Penderitaan diributkan bukan oleh orang-orang yang menderita, tetapi oleh saudagar-saudagar penderitaan yang menjualnya sana sini dengan keributan statement, opini, dan asumsi, sambil menempuh strategi jangan sampai ada solusi.
Di pusat, Kelompok A sama kelompok B masih ribut terus dan tentang apa saja. Sedang Cilegon yang ‘ngodod’ mega proyek ingin menyulap dirinya menjadi metropolitan, dengan dalih untuk kesejahteraan rakyatnya, tapi nyatanya sudah 18 tahun rakyat yang sudah kerja saja tak kaya-kaya, apalagi rakyat yang nganggur dan diakuinya cuma 11,3% itu.
Bagi yang memasuki Ramadhan dengan mencoba menyelinap memasuki bilik “swaraning asepi ” atau dunia “kasyful hijab”, mungkin mereka mulai belajar membuka telinga batin sehingga terdengar suara-suara setan dan Iblis. Kalau suara Allah, para rasul dan nabi, atau auliya’, anggaplah kita kurang cukup bersih untuk bersentuhan dengan frekuensi itu. Mendengar suara setan saja alhamdulillah rasanya. (*)
Cilegon, 2/6/2017
*) Penulis adalah Jurnalis Fakta Banten Online