Desentralisasi Pendidikan di Pandeglang, Jalan Terjal Mewujudkan Sekolah yang Berkeadilan
Oleh: Nazira Aulia Az-Zahra, Mahasiswa Magister Ilmu Pemerintahan, Universitas Lampung
Sudah dua dekade lebih Indonesia menjalankan desentralisasi pemerintahan. Pemerintah pusat menyerahkan sebagian besar urusan publik kepada pemerintah daerah, termasuk sektor pendidikan.
Di atas kertas, kebijakan ini menjanjikan sistem pendidikan yang lebih relevan, adil, dan kontekstual. Namun di lapangan, terutama di daerah seperti Kabupaten Pandeglang, realitasnya masih jauh dari harapan.
Dengan kewenangan yang besar, daerah seharusnya mampu menyusun kebijakan pendidikan yang sesuai karakter masyarakatnya.
Sayangnya, hingga kini, mutu pendidikan di Pandeglang masih tertinggal. Rendahnya angka partisipasi sekolah, tingginya putus sekolah, dan terbatasnya sarana-prasarana menjadi tantangan serius yang belum tertangani optimal, meski berbagai bentuk intervensi sudah dilakukan.
Data yang Bicara: Masalah yang Nyata
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) 2021, rata-rata lama sekolah penduduk Pandeglang hanya 7,11 tahun belum mencapai tamat SMP. Bahkan, hampir 43% penduduk hanya lulusan SD, dan hanya 2,84% yang menempuh pendidikan tinggi.
Lebih memprihatinkan, 18,56% penduduk tidak tamat SD. Ini adalah sinyal bahaya yang seharusnya menjadi alarm kebijakan publik.
Situasi makin mengkhawatirkan dengan data terbaru dari Dinas Pendidikan Kepemudaan dan Olahraga (Dindikpora) Pandeglang, yang mencatat sekitar 11.340 anak SD dan SMP putus sekolah atau tidak melanjutkan pendidikan (per Januari 2024).
Penyebabnya beragam: kehilangan orang tua, kemiskinan, perceraian, hingga memilih jalur pendidikan nonformal seperti pesantren. Fakta ini menunjukkan bahwa hak dasar atas pendidikan masih sulit dijangkau oleh sebagian anak di Pandeglang.
Desentralisasi semestinya memberi ruang bagi inovasi dan respons cepat terhadap kebutuhan pendidikan lokal. Pemerintah daerah bisa mengembangkan kurikulum muatan lokal, memperkuat peran masyarakat dalam pengawasan sekolah, serta menyesuaikan strategi belajar dengan kondisi sosial dan budaya setempat.

Di Pandeglang, pendekatan ini mulai terlihat. Salah satu contoh menarik adalah kebijakan kunjungan guru ke rumah siswa yang absen lebih dari dua hari. Pendekatan personal ini terbukti membantu membangun komunikasi yang lebih hangat antara sekolah, siswa, dan orang tua. Namun, strategi semacam ini masih bersifat insidental dan belum merata di seluruh kecamatan.
Padahal, jika dikembangkan secara sistemik, desentralisasi bisa menjadi kunci untuk mengatasi persoalan pendidikan berbasis kearifan lokal. Sayangnya, implementasi yang belum konsisten dan minimnya koordinasi antar instansi membuat potensi besar ini belum tergarap maksimal.
Salah satu tantangan utama dalam desentralisasi pendidikan adalah soal anggaran. Meski regulasi mewajibkan pemerintah daerah mengalokasikan minimal 20% dari APBD untuk pendidikan, dalam praktiknya banyak daerah, termasuk Pandeglang, kesulitan memenuhinya. Keterbatasan fiskal dan prioritas pembangunan lain sering membuat pendidikan menjadi “korban kompromi”.
Belum lagi masalah kualitas dan distribusi guru. Daerah terpencil di Pandeglang masih kekurangan tenaga pendidik yang berkualitas.
Bahkan, di beberapa desa, satu guru harus merangkap mengajar beberapa kelas sekaligus. Akibatnya, mutu pendidikan sangat tergantung pada lokasi dan keberuntungan hal yang jelas bertentangan dengan semangat keadilan dalam pendidikan.
Aspek lain yang tak kalah penting adalah birokrasi pendidikan yang kaku dan kurang adaptif. Banyak program pusat yang tidak sinkron dengan kondisi lokal, sementara inisiatif daerah terkadang terhambat oleh regulasi yang terlalu teknis atau berubah-ubah. Ini menciptakan ketimpangan antara perencanaan dan pelaksanaan.
Fenomena putus sekolah di Pandeglang sebagian besar berkaitan dengan kemiskinan struktural. Meski iuran sekolah telah dihapus dan pemerintah menyediakan Bantuan Operasional Sekolah (BOS), banyak keluarga tetap kesulitan menanggung biaya tak langsung seperti transportasi, seragam, dan kebutuhan harian lainnya.
Selain itu, tidak semua orang tua memahami pentingnya pendidikan jangka panjang. Banyak yang lebih memilih anaknya membantu bekerja atau menikah muda dibanding melanjutkan sekolah. Ini menandakan bahwa desentralisasi pendidikan belum disertai strategi perubahan budaya dan kesadaran kolektif.
Desentralisasi bukan solusi instan, melainkan proses panjang yang butuh penguatan institusi dan komitmen politik. Untuk menjadikan desentralisasi pendidikan sebagai alat pemerataan dan peningkatan mutu, ada beberapa langkah yang perlu dilakukan:
Pemetaan kebutuhan lokal secara detail agar kebijakan tepat sasaran,
Peningkatan kapasitas guru dan kepala sekolah, terutama di daerah tertinggal,
Penguatan peran masyarakat dalam pengawasan dan partisipasi pendidikan,
Pengawasan anggaran yang transparan agar dana pendidikan benar-benar sampai ke sekolah, kolaborasi lintas sektor, termasuk dengan dunia usaha dan LSM, untuk mendukung pendidikan alternatif dan keterampilan vokasi.
Di sinilah pentingnya kepemimpinan daerah yang visioner. Bupati, DPRD, dan dinas pendidikan harus berani keluar dari zona nyaman. Jika tidak, desentralisasi hanya akan menjadi jargon administratif tanpa makna substantif.
Pandeglang masih memiliki pekerjaan rumah besar dalam sektor pendidikan. Namun dengan semangat otonomi dan potensi lokal yang dimiliki, bukan tidak mungkin kabupaten ini menjadi percontohan dalam pelaksanaan desentralisasi pendidikan yang berpihak pada rakyat.
Diperlukan langkah konkret, keberanian mengambil keputusan, dan kolaborasi lintas sektor. Karena di tengah segala keterbatasan, masa depan anak-anak Pandeglang tetap menjadi tanggung jawab kita bersama. ***