Logika Pentium Dua


Oleh : Ocit Abdurrosyid Siddiq

Karena WFH, kita lebih banyak memiliki waktu di rumah, dan tetap bekerja. Selain melakukan tugas-tugas pekerjaan, juga bisa menyelipkan waktu untuk hiburan. Hiburan dengan menonton tayangan di televisi.

Sekelas Mahfud MD saja, Menkopolhukam RI, sempat meluangkan waktu diantara pekerjaannya, dengan menyimak tayangan sinetron Ikatan Cinta, yang ditayangkan di salah satu stasiun televisi swasta.

Hebatnya dia, walau turut larut dalam alur cerita, perspektif kepakarannya tetap diterapkan. Berbeda dengan penonton pada umumnya yang mengharu-biru, dia meninjaunya dari sudut pandang hukum.

Menurutnya, seseorang tidak bisa ditahan hanya semata karena pengakuannya. Adegan ini menjadi salah satu “angle” dalam Ikatan Cinta. Sayang, sebagian dari kita merespon nyinyir atasnya, semata karena dianggap sinetron bergenre melow bukan kelasnya menteri.

Padahal, dalam cuitannya di Twitter, lebih lanjut dia jelaskan pendapatnya atas penerapan hukum yang keliru dalam tayangan tersebut. Bila kita menangkapnya dari sisi ini, sejatinya Mahfud tidak sedang mendegradasi diri. Dia tetap menunjukkan kelasnya sebagai pakar hukum, walau dalam bingkai dunia pop.

WFH juga membuat saya lebih banyak di rumah. Tentu saja dalam rangka bekerja. Seperti Mahfud, saya pun kadang meluangkan waktu disela kerja untuk nonton tayangan di televisi. Tayangan yang paling saya sukai, film-film Hollywood.

Di saluran HBO, yang mengkhususkan untuk tayangan film, ada banyak film-film bagus. Genrenya beragam. Mulai dari drama keluarga, drama romantic, action, horror, thriller, hingga yang bergenre futuristic. Maaf, Ikatan Cinta di stasiun televisi apa ya? Hehe..

Kartini dprd serang

Setiap kali saya menonton film-film Hollywood, apapun genrenya, ada dua hal yang saya dapatkan; quotes dan simpel. Quotes yang saya maksud adalah banyak terdapat pernyataan, atau statement, atau kalimat-kalimat indah, yang merepresentasikan prinsip, norma, nilai, dan berfungsi sebagai pedoman bersikap.

Hebatnya mereka, ketika sebuah quote dilontarkan, ada kemauan untuk mendengar, lalu membenarkan, kemudian dipraktekan. Quotes dapat mengubah jalan dan pilihan hidup seseorang. Tiada quotes yang menjerumuskan. Itulah mengapa kualitas hidup mereka semakin hari semakin baik.

Berbeda dengan kita, yang menganggap sebuah quote hanyalah teori, yang dimaknai tidak praksis. “Ah teori!” adalah representasi cara pandang kita yang menganggap bahwa teori itu tidak penting. Padahal, “kita hidup pakai teori saja, hidup kita masih berantakan. Bayangkan bila kita hidup tanpa teori!”.

Sementara simpel yang saya maksud, banyak dialog yang terucap dengan tanpa merinci kalimat secara lebih detil dan rigid. Tetapi lawan bicaranya tidak bertanya ulang apa maksudnya. Mafhumnya, dia sudah paham apa yang dimaksud oleh lawan bicaranya.

Saya tidak tahu, apakah kebiasaan dialog seperti itu hanya ada dalam film, dan itu hanyalah acting, ataukah mencerminkan budaya keseharian mereka. Tapi bila menyimak pidato resmi pemimpin Amerika, tidak banyak beda dengan pakem dalam film-film Hollywood.

Bila adegan tersebut merupakan cerminan keseharian mereka, mesti kita akui bahwa kita banyak jauh tertinggal pada aspek “kemampuan seseorang dalam memahami maksud seseorang dengan kalimat umum”. Ya, untuk menangkap maksud, kecerdasan bukan hanya dibutuhkan, tapi sudah disiapkan!

Sementara di kita, fenomena “mohon arahan”, “minta petunjuk”, dan banyaknya “juklak dan juknis”, menunjukkan bahwa kita masih menghajatkan penjelasan lebih lanjut. Wujud tadzim? Ah, itu dalih klasik berbungkus adab. Sebaliknya, itu bukti bahwa kita masih berkutat pada pola logika “pentium dua”.

Semoga anda tidak mengerenyitkan dahi usai baca celoteh ini. Selamat pagi. Jangan lupa, sruput dulu kopinya! Karena kafein, selain bisa membuat mata melek, juga bisa menghilangkan keriput. Ya, keriput di dahi. (***)


Polda