Menakar Kesiapan Instrumen Hukum dan Relevansinya Terhadap Pemanfaatan Media Sosial

Dprd ied

 

Oleh: Dr. Reda Manthovani, SH, LL.M (Kepala Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta)

Introduksi
Tumbuh dan berkembangnya teknologi informasi sudah pasti akan membawa perubahan dalam masyarakat dan kecanggihan teknologi informasi seperti sekarang ini, menyebabkan perilaku individu mengalami pergeseran baik dalam hal tataran pola pikir dan pola pola tindak.

Terlebih sejak “outbreak” Corona Virus Disease 2019 atau Covid-19 menerjang Indonesia di awal Maret 2020 lalu kemudian diiringi serangkaian bentuk pembatasan sosial oleh pemerintah, maka sebenarnya secara tidak langsung semakin mendorong masyarakat untuk memanfaatkan media sosial.

Dengan bermodalkan smartphone, laptop dan tablet serta fasilitas tambahan berupa free wi-fi, maka di saat yang sama setiap orang langsung berselancar di dunia maya untuk bersosial media.

Media sosial menawarkan banyak kemudahan bagi masyarakat dan hampir melayani beragam latar belakang mulai dari anak sekolah, kalangan eksekutif, pegawai negeri, bahkan kalangan ibu-ibu yang memiliki industri rumah tangga atau yang bergerak dibidang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) merasa sangat terbantu dengan teknologi ini.

Bahkan, untuk acara-acara seperti resepsi pernikahan atau sekedar mengucapkan ulang tahun atau selamat hari raya bahkan ucapan resmi kenegaraan tidak lagi dengan kartu ucapan yang dikirimkan melalui kantor pos, namun cukup menggunakan sosial media yang terdapat di smartphone.

Segudang kemudahan yang diberikan menyebabkan tren penggunaan media sosial cenderung terus meningkat dengan signifikan. Berdasarkan riset DataReportal menunjukkan jumlah pengguna media sosial mainstream, seperti You Tube, Whatsapp, Facebook, Instagram, Tik Tok, Facebook Messenger, twitter, dsb. di Indonesia jumlahnya mencapai 191,4 juta pada Januari 2022.

Meskipun demikian, media sosial ini dapat diibaratkan seperti “pedang bermata dua” sebab selain mendatangkan banyak manfaat, tetapi jika digunakan secara tidak bertanggungjawab sudah pasti akan berujung dengan persoalan hukum.

Fakta menunjukkan tren kriminal saat ini bukan hanya korupsi, terorisme, narkotika, namun kasus-kasus yang turut mewarnai adalah berhubungan dengan teknologi internet dan media sosial, termasuk kasus pencemaran nama baik lewat media sosial internet.

Disamping pencemaran nama baik, termasuk pula perdagangan gelap, penipuan, pemalsuan, pornografi, SARA dan berita bohong (HOAX).

Pengaturan Ancaman Pidana

Penggunaan media sosial telah cukup banyak yang berujung pada permasalahan hukum, yaitu seperti:
a. Adam Deni dan Ni Made dituntut 8 tahun penjara [melanggar Pasal 48 Ayat (3) jo Pasal 32 Ayat (3) UU No. 11 Tahun 2008 jo.UU No. 19 Tahun 2016 tentang ITE Jo. Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP];
b. Buni Yani divonis 1,5 tahun penjara [melanggar Pasal 28 ayat (2) jo Pasal 45A ayat (2) dan/atau Pasal 27 ayat (3) Jo Pasal 45 ayat (3) UU No. 11 Tahun 2008 jo.UU No. 19 Tahun 2016 tentang ITE];
c. I Gede Ari Astina alias Jerinx (JRX) divonis 1,2 tahun penjara [melanggar Pasal 28 ayat (2) jo Pasal 45A ayat (2) dan/atau Pasal 27 ayat (3) Jo Pasal 45 ayat (3) UU No. 11 Tahun 2008 jo.UU No. 19 Tahun 2016 tentang ITE];
d. Dhani Ahmad divonis 1,6 tahun penjara [melanggar Pasal 28 ayat (2) jo Pasal 45A ayat (2) UU No. 11 Tahun 2008 jo.UU No. 19 Tahun 2016 tentang ITE];
e. Yahya Waloni divonis 5 bulan penjara [melanggar Pasal 45A ayat 2 UU No. 11/2008 jo. UU No. 19 Tahun 2016 tentang ITE];
f. Kasus GA dan atau MYD yang dengan sengaja mengunggah atau mentransfer data untuk pihak lain atau orang lain [melanggar Pasal 27 ayat (1) UU No. 11/2008 jo. UU No. 19 Tahun 2016 tentang ITE]
Bahwa aktivitas diruang virtual sebenarnya telah diatur dalam UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) sebagaimana telah diubah terakhir  dengan UU No. 19 Tahun 2016. Adapun dalam UU No. 11/2008 jo. UU No. 19 Tahun 2016 ini mengatur tentang seluruh bentuk kegiatan terkait dengan pengelolaan informasi, data, serta transaksi elektronik. Terakhir, didalam UU No. 11/2008 jo. UU No. 19 Tahun 2016 juga mengatur sanksi pidana bagi pelaku tindak pidana yang berkaitan dengan kejahatan Informasi dan teknologi.

Adapun berbagai pasal pemidanaan terkait penggunaan medsos adalah meliputi pasal-pasal sebagai berikut:
1. Pasal 27 UU ITE :
1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.

2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan perjudian.

3) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.

4) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan pemerasan dan/atau pengancaman.

2. Pasal 28 :
1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik.

dprd tangsel

2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).

3. Pasal 45 :
(1) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

(2) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) atau ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Bahwa ketentuan pasal-pasal diatas bukan sama sekali tanpa kritik sebab sejak awal diberlakukan tahun 2008 sampai perubahan terakhir di tahun 2016, UU ITE ini banyak dikeluhakan oleh masyarakat sebab dalam pelaksanaannya masih menimbulkan multitafsir dan kontroversi yang berujung pada kriminalisasi. Oleh sebab itu, dalam perkembangan terakhir, pasal-pasal diatas tadi telah dilengkapi dengan pedoman implementasi berdasarkan Keputusan Bersama Menteri Komunikasi dan Informatika RI No. 229 Tahun 2021, Jaksa Agung RI No. 154 Tahun 2021, dan Kepala Kepolisian Republik Indonesia No. KB/2/VI/2021 tentang Pedoman Implementasi Atas Pasal Tertentu Dalam UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana telah diubah dengan UU No. 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas UU No. 11 Tahun 2008 tentang ITE.

Menerapkan Budaya Filterisasi dalam Bersosial Media

Dalam tulisan saya yang berjudul “Di Balik Sosmed, Antara Berkah dan Musibah” yang dimuat hukumonline.com edisi 24 Juni 2019, tegas dikatakan bahwa di era digitalisasi, orang dapat dengan mudah menyebarkan informasi, namun informasi yang disebarkan justru tidak dapat dipertanggungjawabkan sumber, bertebarannya berita yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya alias hoax. Terlebih, kadang berita tersebut dilengkapi dengan video dan photo yang juga sebenarnya bukan berasal dari berita yang di wartakan tersebut.

Dunia sosial media terus berubah dan berkembang, sehingga diperlukan  sikap untuk menyaring berita yang diterima dan dibagi. Seyogyanya setiap individu dapat menyaring sendiri melalui identifikasi website yang menjadi sumber berita ataupun melihat secara seksama turunan informasi yang didapat.

Hal lain yang perlu disikapi ketika menghadapi sosial media, mesti lebih selektif dalam memberikan komentar ataupun respon terhadap suatu berita. Bahkan postingan seseorang. Yakni dengan menghindari penggunaan kata atau bahasa  yang mengarah pada sikap yang terkesan membenci atau tidak suka.

Selain itu juga, perlu diperhatikan secara baik terhadap berbagai postingan status yang di unggah ke facebook, Instagram dan lainnya, sebab sangat mudah untuk dicopi ataupun di photo. Sehingga bukan tidak mungkin dijadikan bukti awal. Namun akan lebih baik apabila diri sendiri yang memfilter diri dalam mengunggah postingan atau memberikan komentar atas suatu postingan.

Jika terjadi sesuatu hal akibat dari postingan di medsos milik sendiri serta adanya ketersinggungan terhadap individu tertentu, maka jauh lebih baik menempuh langkah mengajukan permohonan maaf.

Kemudian untuk prosedur mediasi atau perdamaian diantara para pihak ini, telah diatur dalam peraturan internal dimasing-masing institusi penegak hukum:
1. Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif;
2. Kejaksaan memberlakukan Peraturan Kejaksaan Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif dan Surat Edaran Jaksa Agung Muda Pidana Umum Nomor: 01/E/EJP/02/2022 tentang Pelaksanaan Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif;
3. Mahkamah Agung memberlakukan Surat Keputusan Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum Nomor: 1691/DJU/SK/PS.00/12/2020 tentang Pedoman Penerapan Restorative Justice Di Lingkungan Peradilan Umum.

Namun, untuk terhadap postingan penistaan agama, ujaran kebencian atau fitnah dalam rangka menghasut, maka permintaan maaf dinilai tidaklah cukup. Seperti yang dikatakan sebelumnya diuraikan diatas, karena korbannya tak saja individu, melainkan agama, golongan, suku, dan negara.

Trend Pemanfaatan Cyber Troops, Upaya Mengimbangi Pemberitaan Negatif.

Saat ini sudah mulai dikenal dengan adanya penggunaan Cyber Troops. Teknologi ini familiar tidak hanya di pemerintah, namun juga digunakan para publik figur, dll. Cyber Troops merupakan terobosan unit hubungan masyarakat (Humas) yang memang secara khusus diperuntukkan menangani atau mengawasi ruang virtual. Selain itu, cyber troops ini dalam rangka meningkatkan dalam pencegahan penyebaran berita bohong atau yang tren disebut hoax tak bisa dipandang sebelah mata sebab terkadang turut berimbas pemberitaan negatif institusi pemerintah.

Pola bekerja dari Cyber Troops atau apapun nama dan bentuknya, secara sederhana yaitu menyaring adanya peredaran isu negatif menjadi hal yang positif.

Membantu proses penyebaran yang positif dalam upaya-upaya yang telah berhasil dicapai, serta melakukan counter issue dan klarifikasi terhadap hal-hal yang tidak benar.

Adapun dalam praktiknya adalah dalam bentuk banyak menyebarkan pemberitaan positif melalui kanal instagram, website, dan beragam media mainstream lainnya.

Pola bekerja seperti ini akan selalu otomatis memantau setiap perkembangan informasi terhadap berita hoax dan pemberitaan palsu. Bahkan dalam beberapa kasus, juga dimanfaatkan untuk mencegah maupun proteksi sebuah jaringan online pada rumah atau perkantoran dengan memonitor aktifitas online masing-masing.

Ke depannya, semua institusi pemerintah pusat maupun daerah bahkan untuk kepentingan pribadi akan membutuhkan Cyber Troops dikarenakan pada era informasi saat ini, kejahatan bisa berlangsung tanpa mengharuskan adanya hubungan fisik. ***

Golkat ied