Mengadopsi Nilai Budaya PII di Sistem Pendidikan Indonesia

Sankyu

Oleh : Bathalatu Karbela Al-Khumairah, Pendidik di SMKN 8 Kabupaten Tangerang

Faktabanten.co.id – Masyarakat didefinisikan sebagai sekelompok orang yang membentuk sebuah sistem serta melakukan interaksi antarindividu dan memiliki kebudayaan di dalamnya. Untuk terciptanya sebuah masyarakat yang memiliki sistem sosial yang kuat, perlu sebuah kebiasaan yang dipercayai dan disepakati.

Sebuah lembaga sosial dengan sistem pendidikan diciptakan untuk mengatur dan menginkubasi masyarakat agar memiliki sistem sosial yang kuat melalui pelaksanaan budaya. Budaya bukan hal yang bisa tercipta dengan sendirinya, tetapi ada upaya rekayasa dalam hal “sengaja”, “memaksa” dan “mengikat” seseorang agar bisa mencapai nilai-nilai luhur yang diinginkan.

Sistem Pendidikan non formal pada organisasi Pelajar Islam Indonesia (PII) merupakan salah satu contoh sistem di mana terjadi rekayasa proses transformasi, revitalisasi, dan reaktualisasi nilai budaya. PII, merupakan salah satu dari sekian ormas nasionalis agamis yang lahir pada era kemerdekaan Indonesia.

PII memiliki eksistensi dari zaman ke zaman dalam mencetak para pemimpin Bangsa. Dari eksistensi itu kita dapat mempelajari seluk beluk konsistensi dan persistensi penananaman nilai budaya yang tidak berubah sejak zaman kemerdekaan hingga saat ini. Meskipun tantangan yang terjadi di setiap zaman itu berbeda, PII tetap mempertahankan warna dan ciri khas organisasi lewat penanaman budaya-budaya organisasi.

PII memiliki sebuah sistem pendidikan dengan jalur wajib berjenjang layaknya sekolah formal, yaitu leadership basic training, leadership intermediate training, dan leadership advance training. Pembelajaran tersebut tidak dilakukan dengan ‘menyuapi’ segudang materi kepada kader, akan tetapi mengarah pada sistem andragogi. Andragogi merupakan pendekatan yang menggiring orang dewasa untuk belajar.

Di PII setiap kader yang berbeda usia, dianggap sebagai orang yang sama dalam hal kedewasaan. Karena dengan anggapan itu, seorang pembelajar (kader) akan semakin percaya diri dalam menggali potensi intelektual dirinya.

Dalam sistem pendidikan PII, instruktur bukan bertugas untuk menyuguhkan materi dan kompetensi yang harus dikuasai oleh seorang kader, tetapi sebagai fasilitator yang membuat kader terdorong untuk menggali lebih dalam terhadap isu yang dipelajari. Kita akan jarang menemui, kelas-kelas training yang dilakukan di PII nampak sunyi, karena setiap kader terdorong dan merasa bebas tanpa tekanan untuk aktif berpartisipasi.

Sekda ramadhan

Dalam kegiatan pembelajaran pun, seseorang diizinkan untuk salah. Bahkan tidak boleh ada sebuah hal yang mengintimidasi seorang kader untuk takut berbuat salah selama proses pembelajaran. Inilah mungkin sesuatu yang kami anggap merupakan bagian yang vital dan berbeda dari model pendidikan lainnya.

Proses revitalisasi penanaman nilai-nilai budaya tidak serta merta melalui rekayasa lalu penerapan begitu saja. Rekayasa nilai budaya PII dilakukan dengan cara penanaman rasa kepercayaan terhadap nilai tersebut untuk dianut, ditambah rasa nyaman dan mencintai nilai-nilai tersebut. Sehingga setiap orang yang bergabung, akan terbangun loyalitasnya dan dengan suka rela mengikuti nilai-nilai budaya organisasi.

Kontinuitas dan terlibat secara aktif di dalam organisasi tersebut serta melibatkan seseorang pada tanggung jawab tertentu, juga menjadi kunci yang membuat seseorang terbangun loyalitasnya, dengan catatan kader telah merasa nyaman dan organisasi itu dapat mengakomodir passion yang ada dalam dirinya. Untuk mencapai konsistensi dan persistensi nilai budaya, hal terberatnya adalah tantangan zaman yang berbeda, tetapi organisasi dituntut untuk tetap menanamkan nilai yang sama.

Guna mencapai hal tersebut perlu melewati sebuah proses reaktualisasi tanpa mengubah substansi dari budaya organisasi. Salah satu contoh perbedaan yang disebabkan karena zaman adalah perbedaan pemikiran, perilaku, orientasi, cara pandang, dan lain-lain antara remaja di era kemerdekaan dan remaja di era milenial.

Untuk mencapai konsistensi dan persistensi dalam menghasilkan SDM yang sama, perlu dilakukan proses keterlibatan panca indera. Hal ini bisa dilakukan dengan menampilkan secara fisik figur tokoh-tokoh publik yang berhasil dan sukses yang lahir dari organisasi/pranata sosial yang sama.

Dengan cara tersebut, maka setidaknya seorang kader, akan tumbuh jiwa prestige (kebanggaan) serta membangun trust terhadap organisasinya. Dari prestige dan trust itu tumbuhlah kecintaan akan organisasi tersebut. Karenanya, keberhasilan dalam menanam nilai budaya, akan berbanding lurus dengan keberhasilannya organisasi mencetak SDM yang memiliki karakter yang diinginkan.

Jika proses ini mengalami disruption, maka organisasi tidak akan bisa mencetak 1 generasi kader yang sukses di masyarakat. Kegagalan mencetak 1 generasi, bukan hanya akan membunuh 1 generasi, akan tetapi membunuh dua, tiga, empat, atau bahkan 10 generasi di bawahnya.

Penggunaan simbol-simbol dan atribut organisasi juga penting sekali dilakukan dalam proses penanaman nilai budaya. Simbol dan atribut akan mengikat seseorang untuk setidaknya bertindak sesuai representasi simbol dan atribut tersebut.

Terakhir, mempelajari dan mengenali lebih dalam tentang sejarah dan seluk beluk organisasi juga merupakan bagian penting dari proses keberhasilan penanaman nilai-nilai budaya. (***)

Honda