Nasib Buruh Indonesia Dalam Serbuan Covid-19 dan Cengkraman Omnibus Law
Oleh : Eza Yayang Firdaus
Tanggal 1 mei diperingati sebagai hari Buruh internasional, hari buruh lahir dari berbagai rentetan perjuangan kelas pekerja untuk meraih kendali ekonomi-politis dan hak-hak industrial. Lalu apa sebenarnya definisi kata “buruh” itu ?
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), buruh adalah orang yang bekerja untuk orang lain dengan mendapat upah. Berarti secara garis besar, buruh dapat dibedakan menjadi dua, buruh profesional dan kasar. Buruh profesional yaitu buruh yang menggunakan otak untuk bekerja, sedangkan buruh kasar adalah buruh yang menggunakan otot untuk bekerja. Artinya tidak ada perbedaan antara kata pekerja, karyawan, meskipun ‘buruh’ memiliki arti sebagai pekerja rendahan, hina, kasaran dan sebagainya. Sementara untuk sebutan lainnya mempunyai ‘kasta’ yang lebih tinggi.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, berdasarkan catatan pemerintah, saat ini ada 1,7 juta orang yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) dan dirumahkan sepanjang pandemi covid-19 di Indonesia.
Data tersebut, juga termasuk 314.833 orang pekerja sektor informal yang juga terdampak covid-19.
Lalu bagaimana dengan nasib buruh hari ini ? Serbuan virus corona atau covid-19 yang kini kian masif dan telah banyak menjalar ke krisis ekonomi membuat banyak perusahaan di Indonesia harus melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap karyawannya, membuat peringatan hari buruh internasional kali ini merupakan duka yang mendalam.
Karena pemerintah masih menjadi penguasa dan terlalu berpihak kepada pemodal serta pengusaha yang pada akhirnya membuat gerakan refleksi atas beberapa ancaman besar ini menjadi perhatian serius dari aspek Indonesia memperingati May Day kali ini, yang mana bersikerasnya pemerintah dan DPR dalam hal pembahasan omnibus law meskipun Indonesia dalam serbuan virus dengan alih-alih hanya melakukan penundaan.
Dengan situasi dan kondisi pandemi saat ini rentan untuk melakukan gejolak dan perlawanan apabila terdapat keputusan-keputusan yang merugikan, karena penderitaan buruh kali ini berbaur dengan kondisi sosial yang tidak aman.
Erat kaitannya dengan kondisi ekonomi yang kian ironi ditengah pandemi, maka pemerintah sudah seharusnya bukan sekedar menjadi penguasa melainkan menunjukan sisi kebaikan lainnya seperti sikap yang cenderung memberi angin segar kepada para buruh dan harus berfikir panjang dalam mengambil sikap serta tindakan agar tidak ada potensi gejolak buruh dan pengusaha efek pandemi virus corona ini. (*)
* Ketua Keluarga Mahasiswa Lebak (Kumala) Perwakilan Rangkasbitung.