Pemilu Dan Perempuan
Penulis: Herawati, S.H, Aktivis Lembaga Penggerak Perempuan Pandeglang (LAPPAN)
Pemilihan Umum (Pemilu) bagi bangsa Indonesia memang bukanlah hal yang baru, pemilu pertama dilangsungkan pada tahun 1955 dan kerap disebut dengan pemilu 1955 saat itu dipersiapkan dalam kekuasan Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo.
Dalam perjalananya Ali mengundurkan diri saat melakukan pemungutan suara dan dilanjutkan oleh Perdana Menteri Burhanuddin Harahap.
Saat itu pemilu dibagi menjadi dua tahap yakni tahap pertama tanggal 29 September 1955 tahap ini memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan diikuti oleh 29 partai politik dan individu. Sementara untuk tahap dua pada 15 Desember 1955 untuk memilih anggota Konsituante.
Dalam pemilu ini ada lima besar masuk yakni Partai Nasional Indonesia (PNI), Masyumi, Partai Komunis Indonesia (PKI) Nahdatul Ulama, dan Partai Syarikat Islam.
Posisi perempuan dalam pemilu pertama saat itu jelas sudah terakomodir namun banyak yang kurang terekspos dalam konsitusi Undang-undang Dasar 1945 jaminan persamaan kedudukan laki-laki dan perempuan dalam bidang pemerintahan dan hukum telah ada sejak diundangkanya UUD 45 tertuang dalam pasal 27 ayat 1 dengan bunyi “Segala warga Negara bersaman kedudukannya didalam hukum dan pemerintahanya dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada yang terkecuali”.
Keterwakilan perempuan dalam parlemen sebuah kebutuhan yang tidak bisa diabaikan karena banyak masalah perempuan yang harus diperjuangkan oleh perempuan sebab hanya perempuanlah yang faham akan kebutuhannya sendiri,juga untuk bagaimana mengatasi masalah-masalah perempuan tentunya yang tahu adalah perempuan itu sendiri maka dari itu rasanya kurang pas jiga kepentingan-kepentingan perempuan harus dititipkan pada laki-laki.
Lalu bagaimana perempuan saat pemilu pertama di Indonesia? dalam sejarah pemilu pertama di negeri ini perempuan punya hak yang sama memiliki hak pilih dan memilih, bahkan saat itu ada partai perempuan yang ikut dalam pemilu pertama bangsa Indonesia antara lain Partai Wanita Indonesia atau Partai Wanita Rakyat.
Dalam pemilu pertama 19 perempuan terpilih sebagai anggota parlemen (DPR) hal ini membuktikan bahwa peran perempuan dan pemilu dalam negeri ini ternyata banyak mewarnai.
Meski pada saat itu parlemen yang dibentuk, perwakilan di lembaga pada saat itu bukan karena pilihan rakyat, tetapi pilihan dari para pemuka perjuangan khususnya bagi mereka yang berjasa dalam memperjuangkan kemerdekan, sampai pada jaman orde baru saat itu perempuan hanya diberikan status sebagai pendamping suami, pada saat orde baru berkuasa organisasi perempuan yang dibesar-besarkan adalah PKK dan Darma Wanita dan itupun tidak memiliki kontribusi dalam pengambilan kebijkan politis, akhirnya organisasi perempuan pada masa itu hanya menjadi alat pelaksanan program pemerintah.
Selanjutnya pasca kepemimpinan orde baru, peran perempuan sangat dibutuhkan, dalam setiap pembangunan dan pelayanan terbaik.
Angin segar ditiupkan oleh pemerintah pada saat pemilu tahun 2004, Kebijakan yang memberi ruang porsi perempuan yakni 30 persen dalam perhelatan pemilu. Ruang ruang untuk perempuan terbuka baik untuk para peserta maupun untuk penyelengara pemilihan umum (Pemilu).
Pada saat itu buah perjuangan perempuan terlihat dalam undang-undang nomor 31 tahun 2002 tentang partai politik (UU No. 31/2002) dan Undang-undang nomor 12 tahun 2003 tentang pemilihan umum anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Meski dalam dua undang-undang ini hanya normatif karena tidak dituangkan sangsi namun ini adalah bagian dari kemajuan peran serta dalam keterlibatan perempuan.
Dari pemilu ini ada kemajuan keberadaan perempuan dalam parlemen dari 550 orang ada 11 persen perempuan menduduki di bangku parlemen. Begitu juga pada tahun 2009 masih diangka 30 persen untuk perempuan dan jumlah yang ada di parlemen juga tidak jauh berbeda dengan lima tahun sebelumnya.
Keterwakilan dalam pemilu bukan hanya pada ranah sebagai calon anggota legislative saja namun ruang-ruang lain seperti penyelengara pemilihan umum mulai dari tingkat pusat, provinsi , kabupaten, kecamatan sampai tingkat desa di daerah sendiri kerap masih sangat minim.
Dikutip dari rilis pusat kajian politik (Puskapol) Universitas Indonesia (UI) partisipasi perempuan dalam tahapan pendaftaran seleksi penyelenggaran pemilu 2022-2027 belum menyentuh angka 30 persen sebagaimana yang diperintahkan oleh Undang-undang.
Jumlah pelamar perempuan untuk anggota Komisi pemilihan umum (KPU) periode 2022-2027 hanya mencapai 27,6 persen, sementara pendaftar perempuan sebagai anggota badan pengawas pemilihan umum (Bawaslu) sebanyak 25 persen.
Kondisi ini membuktikan bahwa peran perempuan saat ini memang masih dibawah kaum laki-laki baik dalam menjadi peserta pemilu maupun sebagai penyelengara pemilu, ruang yang diberikan undang-undang sebesar 30 persen masih terbuka, hal ini terjadi karena masih adanya maskulinitas dari kaum laki-laki yang kerap menganggap perempuan tidak bisa melakukan pekerjaan seperti kaum laki-laki, proses ini juga masih terjadi pada posisi penyelengara pemilu atau peserta pemilu, ditambah aturan yang kurang saklek atau hanya normatif saja dengan jumlah 30 persen, karena ketika tidak ada pelamar perempuan seleksi untuk penyelengara pemilu tetap bisa berjalan dan tidak ada sanksinya.
Masih lemahnya tekanan keberadaan perempuan sebesar 30 persen dalam ranah publik membuat hal ini kerap diabaikan oleh sejumlah pihak, karena aturan untuk perempuan sebesar 30 persen ternyata tidak dilakukan tidak ada sangsi buat instansi atau lembaga yang membuka seleksi atau lamaran pekerjaan, sehingga wacana keberadaan perempuan di ranah publik masih sangat minim.
Simpulan
Peran perempuan dalam pemilu di Indonesia memang masih minim, walaupun sudah ada affirmative action didalam undang-undang kepemiluan tapi ternyata itu masih dianggap belum cukup, sebab faktanya pemenuhan kuota 30 persen hanya sebatas persyaratan untuk meloloskan partai politiknya saja, yang mana system didalamnya sangat bias keadilan bagi perempuan dan dirasa sangat mempersempit ruang gerak perempuan di ranah pemilu.
Ini dapat terlihat dari begitu banyaknya persoalan tentang pemilu akibat dari sistem dan paradigma pemilu itu sendiri tidak berubah, mulai dari pemilu kedepan yang akan datang adalah pemilu yang rumit, persoalannya kompleks, yang harus dipilih banyak, mulai dari DPD, DPRD tingkat I dan II, DPR RI, Presiden dan Wakil Presiden sehingga ini akan menyebabkan mahalnya biaya Pemilu sehingga ini akan menghambat perempuan untuk mengakses kompetisi yang adil dan setara dengan laki-laki karena seperti yang kita tahu budaya di kita kerap mendukung perempuan untuk selalu jadi kelas kedua setelah lelaki sehingga dalam hal modal untuk pemilu perempuan akan jadi sangat kewalahan dan banyak memiliki keterbatasan.
Selain itu dari pemilu yang besar dan rumit ini juga akan membuat pemilih cenderung sulit untuk bisa memilih secara cerdas pada pemilu legislatif akibat dari kebingungan karena lagi-lagi kontestannya terlalu banyak, pengetahuan dan pemahaman (literasi) terhadap teknis dan substansi kepemiluan yang masih rendah dapat dilihat dari tingginya suara tidak sah di tahun pemilu 2019 lalu.
Pencalonan yang tertutup dan tidak akuntabel membuat makin suburnya praktik politik dinasti yang itu-itu saja dengan minimnya kaderisasi, belum lagi persoalan perempuan yang mayoritas belum ditempatkan pada nomor urut yang strategis sebab para ketua umum partai politik kerapkali dikuasai kaum lelaki juga kebijakannya yang patriarki.
Sehingga ini juga jadi salah satu sarana yang membuat maraknya praktik politik transaksional (jual beli pencalonan nomor urut, menyuap penyelenggara, jual beli suara, persoalan lainnya yang juga dihadapi perempuan dalam pemilu kedepan adalah masih ada paradigma dari elit politik bahwa kuota 30 persen keterwakilan perempuan hanya beban dan jadi penghambat bagi kepesertaan partai politik di pemilu.
Dimana keterwakilan perempuan di politik belum terinternalisasi dalam tata kelola partai, dianggap sebagai kewajiban semata atau bisa juga disebut sebagai pemaksaan regulasi saja bukan sebagai bagian dari system nilai berdemokrasi.
Polarisasi politik ini menjadi penghambat pemilih perempuan untuk berpartisipasi secara bebas dalam pemilu ke depan.
Komitmen dan dukungan juga konsistensi gerakan dari semua pihak khususnya perempuan rasanya masih menjadi kunci bagi peran perempuan di pemilu yang akan datang sehingga apa yang jadi cita-cita bersama menuju masyarakat adil makmur dapat tercapai secara massif, terstruktur dan efisien. ***