Rumah Sakit di Indonesia Sebagai The Killing Field Umat Islam

 

Benz Jono Hartono, Praktisi Media Massa

Di negeri yang konon katanya mayoritas muslim, rumah sakit seharusnya menjadi tempat penyembuhan, bukan ladang pembantaian.

Namun, kenyataan sering lebih pahit daripada pil yang ditelan paksa oleh pasien BPJS. Dalam bingkai realitas ini, rumah sakit tak ubahnya seperti The Killing Field modern: steril, ber-AC, penuh senyum perawat, namun menyimpan ironi dan tragedi dalam setiap detaknya.

Syariat Dikorbankan di Meja Operasi

Bayangkan seorang muslimah sakit keras, lalu masuk IGD dan harus dioperasi. Suaminya tak bisa menemani. Dokter laki-laki yang menangani.

Aurat terbuka. Tak ada muhrim. Tak ada konsultasi. Semua berjalan seperti pabrik ayam potong. Kata “darurat” digunakan seperti jimat sakti: membungkam protes, meninabobokan nurani.

Padahal, negeri ini punya ratusan ribu ustaz yang berceramah tentang pentingnya menjaga aurat dan adab syar’i.

Tapi di ruang operasi rumah sakit, hukum syariah seakan lenyap seperti sinyal di pelosok desa.

BPJS-Berobat Pakai Jebakan Sistem

BPJS adalah sistem “jaminan” kesehatan yang lebih sering menjamin frustrasi ketimbang kesembuhan. Pasien masuk dengan harapan ditolong, tapi pulang dengan kantong bolong atau mental koyak.

Untuk bisa bertemu dokter spesialis, harus melewati rute yang lebih berliku dari jalan menuju surga: antre di faskes, balik lagi karena surat rujukan kedaluwarsa, hingga akhirnya mendapatkan obat generik yang seolah-olah bisa menyembuhkan segalanya—dari diabetes hingga patah hati.

Dan jika pasien muslim itu kebetulan miskin? Maka selamat datang di ranah kasta bawah rumah sakit: ruang kelas 3, kasur tua, selimut tipis, dan pelayanan yang kadang lebih hangat dari hati satpam mal.

Matinya Ruh Spiritualitas di Rumah Sakit Modern

Ruang rawat inap kini lebih banyak menayangkan sinetron daripada doa. Tidak ada murotal. Tidak ada pembinaan spiritual. Tidak ada ruang bagi ruhani untuk menguatkan yang lemah. Islam, dalam konteks rumah sakit modern, adalah catatan kaki di biodata pasien—bukan pegangan hidup di ambang maut.

Di saat-saat kritis, pasien sering dibiarkan menghadapi kematian tanpa bimbingan agama. Jarang ada petugas rohani. Kalimat syahadat lebih sering terdengar di film religi ketimbang di ruang ICU.

Seolah mati bukan lagi urusan sakral, tapi sekadar proses biologis yang harus dicatat dan ditandatangani.

Dokter sebagai Dewa Kecil, Pasien sebagai Statistik

Banyak dokter yang luar biasa baik, tapi sistem memaksa mereka menjadi seperti mesin. Pasien tak lagi manusia, melainkan kode penyakit dan angka tekanan darah. Waktu konsultasi lima menit, tapi efeknya bisa seumur hidup.

Yang protes dianggap “tidak paham medis,” seakan dokter adalah nabi baru yang tak boleh dibantah.
Dan jika pasien muslim itu bertanya tentang intervensi medis dalam perspektif Islam? Maka jawabannya bisa berupa pandangan kosong, gugling cepat, atau nasihat untuk “serahkan saja pada yang ahli.” Padahal, Islam bukan sekadar agama, tapi juga cara hidup, termasuk cara sakit dan cara mati.

Penutup

Jika rumah sakit terus dibiarkan menjadi medan perang tak kasat mata bagi umat Islam, maka tempat keimanan digerus oleh ketidakadilan sistem.

Saatnya Umat Islam menjadikan rumah sakit, sebagai tempat kasih sayang, bukan ladang pembantaian terselubung.

Perubahan tak bisa ditunda, karena terlalu banyak nyawa yang sudah ditelan sistem yang sakit.***

WP-Backgrounds Lite by InoPlugs Web Design and Juwelier Schönmann 1010 Wien