Single Identity Number dalam Administrasi Perpajakan
Oleh : Azka Tsaqif Ar Raiyan & Sherine Ollivia Augustin
Sebagai Warga Negara Indonesia, tentu kita memiliki data identitas diri yang tersimpan dalam pemerintahan dengan berbagai bentuk, seperti Kartu Tanda Penduduk (KTP), Surat Izin Mengemudi (SIM), Kartu BPJS, Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), dan lainnya.
Data identitas tersebut dapat digunakan sebagai tanda pengenal, izin berkendara, hingga menjadi sarana dalam
aspek perpajakan.
Dalam melaksanakan kegiatan perpajakan, administrasi merupakan salah satu faktor yang mendukung hal tersebut.
Kegiatan perpajakan membutuhkan sistem administrasi yang bagus
dalam penerapannya sehingga memudahkan dalam mencapai target penerimaan pajak tiap tahunnya.
Akan tetapi, administrasi perpajakan yang diterapkan saat ini masih kurang efektif dan efisien sehingga membutuhkan sistem administrasi yang lebih memadai.
Hal tersebut disebabkan salah satunya karena banyaknya data identitas dari Wajib Pajak yang tidak terhubung satu sama lain.
Data-data identitas dari Wajib Pajak yang tidak berhubungan tersebut akan mengakibatkan pendataan yang berulang-ulang oleh banyak instansi sehingga menimbulkan administrative burden dan administrative cost yang cukup berat pada pemerintah.
Maka dari itu, pemerintah memerlukan solusi untuk mengintegrasi dari banyaknya data yang dimiliki seseorang
dalam menjalankan aktivitas perpajakan yang efektif dan efisien.
Pemerintah saat ini sedang menerapkan Single Identity Number (SIN) untuk mengatasi masalah administrasi yang kerap terjadi.
Apa itu Single Identification Number (SIN)?
SIN merupakan satu nomor identitas bagi setiap individu yang digunakan untuk kepentingan semua aspek administrasi di Indonesia.
Satu nomor identitas yang akan digunakan dalam mewujudkan SIN yaitu menggunakan nomor unik pada Nomor Induk Kependudukan (NIK).
Sebagaimana dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 112/PMK.03/2022 Pasal 1 Nomor 3, NIK adalah nomor identitas penduduk yang bersifat unik atau khas, tunggal, dan melekat pada seseorang yang terdaftar sebagai Penduduk Indonesia.
Dapat disimpulkan bahwa NIK merupakan sebuah nomor unik yang dimiliki oleh setiap warga Indonesia.
NIK tidak akan pernah berubah dan berlaku seumur hidup karena NIK merupakan sebuah tanda pengenal dan
termasuk dari identitas seorang warga negara Indonesia.
Implementasi & Dasar Hukum
SIN berjalan karena adanya kolaborasi yang dilakukan oleh berbagai institusi baik dari sektor swasta atau sektor pemerintahan itu sendiri.
Melalui kolaborasi ini, semua data-data yang dimiliki oleh seorang warga negara Indonesia seperti data personal, data keuangan, data kesehatan, dan data-data lainnya akan terintegrasi dalam SIN sehingga melalui SIN, individu tersebut ataupun instansi yang membutuhkan dapat mengakses data melalui satu nomor identitas yang dimiliki oleh individu tersebut.
Salah satu implementasi SIN dapat dilihat dari penggunaan NIK yang menggantikan NPWP. Hal ini mengacu pada Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 112/PMK.03/2022
tentang Nomor Pokok Wajib Pajak Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi, Wajib Pajak Badan, dan Wajib Pajak Instansi Pemerintah.
Dalam PMK tersebut pada Pasal 2 ayat (1) dijelaskan bahwa terhitung sejak 14 Juli 2022, Wajib Pajak Orang Pribadi (WP OP) wajib mulai melakukan pemadanan serta integrasi NPWP dengan NIK.
Melalui pemadanan tersebut, NIK menjadi nomor yang digunakan ketika WP melakukan kewajiban perpajakannya.
Dijelaskan lebih lanjut pada Pasal 2 ayat (3), atas pemadanan yang dilakukan, NIK dapat digunakan untuk kepentingan administrasi lainnya yang diselenggarakan oleh pihak lain selain
Direktorat Jenderal Pajak yang mensyaratkan penggunaan Nomor Pokok Wajib Pajak.
Akan tetapi, pemberlakuan NIK sebagai NPWP secara keseluruhan mengalami
pengunduran. Mengutip dari Ekonomi Bisnis hal tersebut disebabkan oleh penyesuaian terhadap saat implementasi Coretax Administration System (CTAS) sebagaimana yang diungkapkan oleh
Dwi Astuti, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Kementerian Keuangan.
Maka dari itu, NIK sebagai NPWP yang tadinya akan berlaku sepenuhnya pada 1 Januari 2024 diundur menjadi 1 Juli 2024.
Hal ini berarti semua Wajib Pajak Orang Pribadi wajib menggunakan NIK ketika akan melaksanakan kewajiban perpajakannya. Hal tersebut tertuang
pada PMK Nomor 136 Tahun 2023 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 112/PMK.03/2022.
Manfaat SIN
Penggunaan NIK sebagai NPWP memiliki banyak keunggulan dalam bidang administrasi perpajakan. Tentunya keunggulan tersebut dapat dirasakan oleh beberapa pihak, seperti pihak
Wajib Pajak maupun pihak pemerintah sendiri.
Masyarakat akan merasakan keunggulan tersebut saat menjalani transaksi yang
membutuhkan NPWP. Hal tersebut dikarenakan banyaknya data yang dibutuhkan dalam melakukan transaksi tersebut, sehingga dengan pengintegrasian NIK menjadi NPWP akan memudahkan Wajib Pajak atas transaksi tersebut.
Masyarakat juga akan terbantu saat melakukan kewajiban perpajakannya karena pelayanan publik akan jauh lebih cepat dan mudah untuk verifikasi data dan identifikasi dari Wajib Pajak tersebut.
Tak hanya dari sisi masyarakat, pemerintah turut terbantu atas kebijakan tersebut. Potensi
dari penggunaan NIK sebagai NPWP akan memperluas basis penerimaan pajak.
Dengan begitu, maka akan meningkatkan perbandingan antara penerimaan pajak dengan Produk Domestik Bruto (Tax Ratio).
Pemerintah juga dapat dengan mudah melacak serta mengawasi aktivitas ekonomi yang dilakukan oleh masyarakat sehingga aktivitas-aktivitas ekonomi akan menjadi lebih
transparan.
Tantangan/Kelemahan SIN
Tidak dapat dipungkiri, penerapan atas kebijakan ini tentu saja memiliki
kelemahan/tantangan yang dihadapi. Hal tersebut merupakan informasi-informasi yang tersimpan oleh pemerintah sehingga harus dapat dijaga kerahasiaannya dan memberikan
keamanan data yang maksimal.
Melihat dari dugaan banyaknya data-data penduduk yang bocor sebanyak 337 juta di Kementerian Komunikasi dan Informatika per Juli 2023, hal tersebut
membuat kekhawatiran dalam penerapan kebijakan penggunaan NIK sebagai NPWP serta penerapan SIN secara keseluruhan karena lemahnya pertahanan siber di Indonesia yang kerap terjadi sehingga menyebabkan kebocoran data. ***