Oleh Tb Ardi Januar
Pepatah lawas berkata, setiap zaman ada orangnya dan setiap orang ada zamannya. Begitu juga dalam dunia syiar agama. Meski zaman sudah berbeda, selalu saja ada nama ulama terkemuka yang muncul dalam lini kehidupan kita. Abdul Somad salah satunya.
Ya, nama Abdul Somad belakangan ini begitu sering menghiasi mata dan singgah di telinga kita. Ceramahnya selalu meramaikan dunia maya, kajiannya kerap menjadi obrolan di dunia nyata. Buka Youtube ada dia, buka Facebook ada dia, buka grup Whatsapp ada dia juga. Siapa sangka, lelaki berusia 40 tahun ini menjadi idola baru lintas usia.
Kerempeng tubuhnya, menggelegar suaranya, ringan tapi berbobot isi ceramahnya, luas referensi ilmunya dan sesekali dia selipkan bumbu jenaka. Itulah kesan hampir semua orang kepada lelaki yang bernama asli Abdul Somad Batubara.
Saya berusaha mencari tahu latar belakang dia. Baru menulis kata “Ustadz” di Google, langsung muncul secara otomatis sejumlah kata. Pertama “Ustadz Abdul Somad”, kedua “Ustadz Abdul Somad Terbaru”, dan yang ketiga “Ustadz Somad”. Selebihnya baru nama-nama ustadz lainnya. Luar bisa, dia saat ini menjadi pendakwah yang paling banyak dicari warga di dunia maya.
Bagi saya fenomena Abdul Somad melahirkan dua rasa. Rasa bahagia sekaligus berduka. Bahagia karena ternyata banyak sekali warga net yang ingin mendalami ajaran agama. Berduka karena dari sekian banyak pemuka agama di Indonesia yang luas ilmunya belum mendapat kadar ketenaran yang sama seperti dia.
Dalam tulisan ini saya tidak mau mengulas atau mendebat tentang ajaran yang disampaikannya, apa alirannya, ataupun apa mazhabnya. Terlalu berat bagi saya. Saya mah apa atuh, Juz Amma saja banyak yang lupa. Yang menarik bagi saya adalah metode dakwahnya yang modern dan berbeda. Suka tidak suka, di era digitalisasi perbedaan dan keunikan menjadi semacam syarat agar bisa dilirik banyak mata.
Abdul Somad begitu massif menyebarkan isi ceramahnya ke dunia maya. Dari mimbar ke mimbar dia sampaikan dengan beragam tema. Dia seperti sadar masyarakat modern tak punya banyak waktu untuk belajar agama. Faktor sibuk bekerja adalah alasan klasik yang menjadi salah satu penyebabnya. Somad pun menjemput bola dan menyapa warga via sosial media. Ceramahnya bisa didengar kapan saja kita suka. Saat hendak memejamkan mata atau saat bermacet ria di jalan raya.
Tak perlu pergi ke Riau untuk mendengar paparannya. Tak perlu juga mengadakan tabligh akbar untuk menyimak tausiyahnya. Cukup membuka internet saja, dan sederet tema pun sudah tersedia. Mulai dari tema etika, riba, hingga persoalan rumah tangga ada di sana.
Selain itu, gaya Abdul Somad berceramah juga sedikit berbeda. Dia tidak monolog dan kerap membuka dialog. Dia sadar banyak jamaah yang ingin bertanya dan memiliki persoalan berbeda-beda. Dia menjawab sebisanya tentu harus dengan referensi Kitab Suci atau Hadits Nabi.
Tulisan ini tidak bermaksud mempromosikan. Saya bukan orang yang rajin ke pengajian. Saya hanya ingin para pendakwah dan pemuka agama dapat lebih melek dengan zaman dan berdamai dengan perubahan. Saya ingin konten-konten internet diisi dengan hal-hal kebaikan dan mencerdaskan.
Sebuah penelitian menyebutkan Indonesia menjadi negara yang warganya banyak mengakses situs dewasa. Begitu banyak tindakan kejahatan dan kekerasan yang bersumber dari sana. Sosial media dihantui banyak konten berbahaya. Dan salah satu betuk perlawanan terhadap konten negatif adalah memperbanyak konten positif di dunia maya.
Para mubaligh zaman now perlu mengubah cara berdakwah dan menyampaikan pesan. Jangan hanya menunggu undangan panggilan, tetapi juga harus bisa manfaatkan kecanggihan zaman. Semakin banyak pemuka agama yang syiar di dunia maya, semakin baik pula pembentukan norma bagi generasi muda. Abdul Somad mungkin tidak sempurna. Mari kita ambil sisi positifnya.(*/Kanigoro)