Gerakan LGBT di Balik Pertarungan Politik di Indonesia

Oleh Abdullah Sammy

FAKTA BANTEN – Isu mengenai LGBT (lesbian, gay, biseksual, dan transgender) kembali mengemuka pekan ini. Mengemukanya isu LGBT tak terlepas keputusan lima hakim Mahkamah Konstitusi yang menolak permohonan uji materi Pasal 284, Pasal 285 dan Pasal 292.

Ada pro dan kontra terkait putusan ini. Terlepas dari teknis putusan MK, inti dari perdebatan besar di ruang publik sejatinya hanya mereka yang pro vs kontra terhadap fenomena LGBT ini.

Isu pro dan kontra soal LGBT sejatinya bukanlah isu yang baru terjadi. LGBT adalah sebuah narasi lintas zaman yang mana pro dan kontranya menjadi perdebatan global.

Ini merupakan perdebatan yang terjadi di berbagai negara. Berbicara dalam konteks sejarah, kita bisa mengetahui bahwa usaha untuk melegalisasi LGBT sejatinya merupakan gerakan yang terencana dan sistematis.

Narasi dari gerakan ini melekat erat dengan gerakan politik. Di beberapa negara, kelompok LGBT bahkan masuk sebagai salah satu kekuatan politik. Di barat, sejumlah partai berhaluan liberal punya misi legalisasi terhadap LGBT.

Di Inggris, LGBT menjadi salah satu bagian dari sayap partai Liberal Demokrat. Sedangkan di Amerika, gerakan LGBT terafiliasi dengan Partai Demokrat.

LGBT memiliki agenda politik. Sebab usaha mereka untuk melegalkan pernikahan sejenis memang berada di ruang-ruang kekuasaan. Karena itu, wajar saja jika kalangan LGBT kemudian memiliki afiliasi dengan calon presiden, calon gubernur, atau kekuatan partai tertentu.

Di Amerika, LGBT bahkan menjadi substansial untuk menentukan pilihan politik. Hampir setiap debat calon presiden di Amerika, soal pro dan kontra LGBT ini selalu dibahas sebagai tema.

Tak hanya debat soal ide, masalah LGBT akhirnya terwujud dalam policy negara. Saat kekuatan pro LGBT berkuasa, konsekuensinya adalah legalisasi pernikahan sesama jenis.

Ini seperti yang tercermin di Amerika.  Menjelang lengser, rezim Barack Obama akhirnya mengesahkan pernikahan sesama jenis pada 26 Juni 2015. Kalangan LGBT maupun liberal bersorak sebab Amerika berhasil ditaklukan.

Tapi di sisi lain,  kemenangan Demokrat soal LGBT akhirnya memanaskan kekuatan politik konservatif di Amerika. Kekuatan yang awalnya mulai apatis, akhirnya kembali solid.

Kalangan yang juga dikenal sebagai white, anglo-saxon, Protestant (WASP) ini memang lebih condong kepada partai konservatif, Republik, yang anti-LGBT. Partai Republik berhasil mengkapilaisasi isu menolak LGBT ini hingga merebut kembali kemenangan pada 2016.

Situasi yang sama dengan Amerika kini terjadi di berbagai negara di dunia. Isu pro dan anti-LGBT memisahkan dua kekuatan politik di sejumlah negara.

Hal yang sama pun sejatinya juga terjadi di Indonesia. Klasifikasi kalangan pro dan kontra LGBT dalam baju politik di Indonesia bisa dicermati secara saksama. Sama halnya seperti pertarungan di berbagai negara dunia, kalangan yang anti-LGBT adalah kekuatan politik konservatif dan keagamaan. Kebetulan, di Indonesia kekuatan politik konservatif ini sedang bangkit usai munculnya gerakan-gerakan keumatan, seperti gerakan 212.

Sebaliknya, yang pro LGBT adalah kalangan liberal. Kebetulan kalangan liberal dalam perpolitikan Indonesia juga sedang terkonsolidasi. Namun berbeda dengan kekuatan keumatan yang solid di dunia nyata, kekuatan liberal lebih nyaring di dunia maya, lewat aksi para politisi, akademisi, dan buzzer-buzzernya.

Kalangan liberal ini alergi dengan relasi mesra agama dan negara. Sebab narasi besar dari gerakan liberal ini adalah negara sekuler.

Kekuatan keumatan vs liberal ini yang menjadi representasi pertarungan anti vs pro LGBT. Karena itu tak heran jika dua kekuatan ini berhadapan secara tajam dalam sejumlah kontestasi politik Indonesia, terutama pada Pilkada DKI lalu.

Kekuatan anti dan pro LGBT ini pun akan terus bertarung dalam kontestasi politik Indonesia, utamanya di Pilkada serentak dan Pilpres 2019. Seperti sudah dibahas sebelumnya, tujuan dari pro LGBT untuk melegalkan pernikahan sejenis butuh ruang dalam kekuasaan. Karena itu pro LGBT berkepentingan agar calon kepala daerah, anggota DPR, dan calon presiden terpilih adalah mereka yang punya paham liberal.

Sebaliknya kalangan pro LGBT ini akan sangat alergi dengan kehadiran calon kepala daerah, anggota DPR, dan calon presiden yang punya komitmen keagamaan yang kuat. Karena segala kaitan antara politik dan agama mereka tolak.

Kekuatan konservatif Islam Indonesia sedang saling berhadapan dengan kekuatan liberal di segala sisi. Peta politik seperti ini sejatinya merupakan  pertentangan politik yang substansial. Sebab tren di berbagai negara, iklim pertarungan politiknya berkutat pada policy konservatif vs liberal. Perdebatan itu termasuk soal keagamaan, pernikahan sejenis, dan perdebatan soal aborsi.

Memang di berbagai media, pertarungan antara kalangan liberal dan konservatif di Indonesia lebih digemborkan soal politik identitas. Padahal substansinya jauh lebih dalam. Ini adalah pertarungan soal melekatkan atau memisahkan agama dari negara.

Tapi oleh sebagian media, pertarungan yang substansial antara kubu konservatif vs liberal ini sengaja dibelokkan menjadi pertarungan identitas politik Islam melawan minoritas. Bahkan lebih jauh lagi pertarungan ini kerap dipropagandakan oleh kalangan liberal sebagai pertarungan penganut SARA vs kaum toleran.

Ini tak terlepas soal perdebatan memilih pemimpin dengan dasar agama. Padahal memilih dengan dasar agama ini bukan tujuannya untuk mempertegas identitas melainkan soal yang jauh lebih substansial.

Sebaliknya, memilih dengan dasar agama menjadi sebuah pilihan rasional dan sah-sah saja. Rasionalisasi memilih pemimpin dengan dasar agama bisa dipakai oleh kekuatan keumatan untuk mempertegas nilai-nilai agama tetap dipakai di tengah masyarakat. Bagi kekuatan keumatan, penting untuk memilih kepala daerah, anggota DPR, dan presiden yang punya komitmen keumatan untuk menjamin bahwa negara tidak melegalkan sesuatu yang ditentang agama, seperti LGBT.

Rasionalitas dalam memilih dengan dasar keagamaan pun pernah dibahas oleh Bung Karno dalam pidato lahirnya Pancasila pada 1 Jui 1945. Saat itu Bung Karno berkata, “Jikalau memang kita rakyat Islam, marilah kita bekerja sehebat-hebatnya, agar-supaya sebagian yang terbesar dari pada kursi-kursi badan perwakilan Rakyat yang kita adakan, diduduki oleh utusan Islam.”

“Kalau misalnya orang Kristen ingin bahwa tiap-tiap letter di dalam peraturan-peraturan negara Indonesia harus menurut Injil, bekerjalah mati-matian, agar suapaya sebagian besar dari pada utusan-utusan yang masuk badan perwakilan Indonesia ialah orang kristen, itu adil, – fair play!”

Begitu penggalan ucapan Bung Karno yang menjadi rasionalisasi alasan memilih dengan dasar keagamaan.

Sebaliknya, wajar pula bagi kalangan liberal dan pro LGBT untuk memilih calon-calon kepala daerah, anggota DPR, atau calon presiden yang bisa mengegolkan legalisasi LGBT.

Keputusan MK menyerahkan permohonan pemidanaan bagi pelaku LGBT pada mekanisme di DPR dan pemerintah, kembali jadi penegasan bagi kita dalam memilih pemimpin. Keputusan MK menegaskan wewenang untuk melegalkan LGBT atau sebaliknya akan ditentukan oleh palu presiden, politisi, atau kepala daerah lewat aturan yang lebih rendah.

Walhasil mereka yang kita pilih sebagai anggota legislatif dan eksekutif-lah yang akan menentukan apakah pernikahan sejenis dan LGBT akan diharamkan atau jadi legal di Indonesia.

Jika anda memang ingin LGBT tak dilegalkan maka silakan bergabung dengan kekuatan konservatif yang punya komitmen keagamaan. Sebaliknya memilih calon kepala daerah, anggota DPR, dan calon presiden yang berlatar liberal akan membuat Indonesia selangkah lebih dekat menuju legalisasi LGBT seperti di Inggris dan Amerika.

Semua kini tergantung pada pilihan anda di Pilkada maupun Pilpres mendatang. (*/Republika.co.id)

Honda