Mengenang Kiprah Pak Anton Timur Djaelani

BI Banten Belanja Nataru

Sebuah media literasi yang menghimpun pemikiran, kiprah, dan kenangan para tokoh, kawan seperjuangan dan murid almarhum Prof. Dr. H. Anton Timur Djaelani, MA atau akrab dipanggil Pak Timur diterbitkan pertengahan tahun 2017 ini. Buku berjudul Pak Timur Perintis Pendidikan Islam Membangun Peradaban Bangsa dengan Kata Pengantar Prof. Dr. H. Muhajir Effendy selaku Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI diterbitkan oleh Risalah Peradaban – Orchid Pustaka Grafindo Jakarta.

Pak Timur adalah seorang tokoh Islam dan mantan pejabat senior Kementerian Agama. Meski alumni pendidikan luar negeri dari McGill Canada, sebuah prestasi langka waktu itu, namun beliau meniti karir dari bawah dan tidak merasa dirinya superior. Sejarah kemudian mencatat Pak Timur adalah Inspektur Jenderal Kementerian Agama yang pertama, menjabat dari tahun 1972 sampai 1978 semasa Menteri Agama H.A. Mukti Ali. Ketika urusan Pendidikan Agama Islam dan Peradilan Agama dipisahkan dari Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, dengan membentuk Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam pada 1978, Menteri Agama Alamsjah Ratu Perwiranegara menugaskan Pak Timur sebagai Dirjen Binbaga Islam yang pertama. Beliau menjabat dari tahun 1978 sampai 1983. Direktorat Jenderal Binbaga Islam sekarang berubah nama menjadi Direktorat Jenderal Pendidikan Islam. Kontribusi pemikiran Pak Timur memberi warna pada berbagai kebijakan pendidikan Islam ketika beliau memegang jabatan strategis di Kementerian Agama. Pak Timur adalah sosok yang banyak jasanya tidak hanya bagi Kementerian Agama, tapi juga bagi dunia Pendidikan Islam, dan bagi pembangunan bangsa.

Pengalaman sebagai aktivis organisasi Islam menjadi modal beliau hingga sukses menjadi birokrat yang matang, penentu kebijakan yang komunikatif dan sebagai pendidik. Saya kira tidak semua birokrat yang berhasil meraih gelar akademik tertinggi sukses pula mengukir reputasi dan memberi kontribusi jangka panjang kepada umat seperti yang dicapai Pak Timur. Pak Timur adalah pejabat yang dihargai dan didengar masukannya oleh Menteri Agama waktu itu Alamsjah, seorang Jenderal. Dalam buku itu diceritakan, pernah ada sebuah Keputusan Menteri Agama yang sudah ditanda-tangani Menteri Agama Alamsjah Ratu Perwiranegara, namun belum diumumkan akhirnya ditarik kembali setelah menteri menerima masukan dari Pak Timur sebagai Dirjen terkait. Suatu hal yang langka terjadi di dunia birokrasi.

Lahir di Kauman, Purworejo, Jawa Tengah, 27 Desember 1922, Pak Timur menamatkan Sekolah Dasar di Kebumen, Sekolah Muallimin Muhammadiyah, MULO dan AMS Yogyakarta sampai Jepang masuk. Semasa revolusi fisik tahun 1949 ia bergabung dengan Brigade Tentara Pelajar karena panggilan perjuangan untuk membela kehormatan agama dan tanah air.

Dalam Pengalaman Masa Revolusi, wartawan senior H. Soebagijo I.N. mengenang pengalaman berkesan di zaman Jepang, yaitu sebagai pelajar SGT (Sekolah Guru Tinggi) di Jakarta, Anton Timur Djaelani (ketua) bersama Soebagijo I.N. (sekretaris) menyelenggarakan pelajaran agama Islam yang meliputi pelajaran tauhid dan fiqih, di Asrama Pegangsaan Timur 17 dengan mendatangkan guru tetap H.S.M. Nasaruddin Latif (alm), seorang muballigh Muhammadiyah yang berpengalaman menangani anak muda, tulis Soebagijo.

Pada tahun 1950 Pak Timur melanjutkan pendidikan tinggi di Fakultas Agama Islam Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta yang merupakan cikal bakal Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN). Ia merupakan angkatan pertama mahasiswa perguruan tinggi agama Islam yang mendapat kesempatan melanjutkan studi pascasarjana ke luar negeri tahun 1955. Pak Timur meraih gelar Master of Arts (MA) dari Institute of Islamic Faculty of Graduate Studies and Research McGill University Montreal Canada (1959) dengan thesis berjudul,”The Syarekat Islam Movement: Its Contribution to Indonesia Nasionalism”. Dalam tesisnya Pak Timur meneliti dan membuktikan peran Syarikat Islam mampu menumbuhkan benih kesadaran nasional dan Syarikat Islam adalah gerakan yang telah membangkitkan kesadaran nasional yang pertama di Indonesia.

Semenjak muda Pak Timur adalah aktifis pergerakan Islam. Ia termasuk pendiri dan Pengurus Pertama HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) yang berdiri 5 Februari 1947 dipelopori Lafran Pane dan kawan-kawan. Selain itu Pak Timur adalah pendiri organisasi Pelajar Islam Indonesia (PII) bersama Joesdi Ghozali, Ibrahim Zarkasyi, M. Amien Syahri, Noorsyaf, dan Halim Tuasikal pada 4 Mei 1947. Ia pernah menjabat Ketua Umum PB PII (1948 – 1952), dua periode. Sebelumnya juga aktif sebagai anggota Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII). Dalam usia muda Pak Timur telah tampil mewakili Indonesia dalam forum pertemuan internasional pemuda Islam se dunia di New Delhi, India. Di kemudian hari Pak Timur memegang jabatan Sekretaris Jenderal Dewan Masjid Asia Pasifik.

Menurut Drs. H. Zarkowi Soejoeti, mantan Dirjen Binbaga Islam dan Sekjen Kementerian Agama RI dalam buku tersebut bahwa sejak awal berkiprah di dunia pendidikan Pak Timur sangat bersemangat di dalam dua hal, yaitu: Pertama, bagaimana memadukan antara Agama dan Iptek. Agama itu pedoman, sedangkan Iptek itu andalan. Jika salah satu lemah, seperti orang kehilangan kaki. Motto Einstein yang populer; agama tanpa ilmu lumpuh, dan ilmu tanpa agama buta. Kedua, bagaimana membangun sekolah Islam yang tangguh dan berkualitas. Lahirnya Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri tentang Peningkatan Mutu Sekolah Agama (Ibtidaiyah, Tsanawiyah dan ‘Aliyah) setaraf dengan SD, SMP dan SMA Negeri tak lepas dari perjuangan Pak Timur dan kawan-kawannya. Salah satu tokoh pembangun pendidikan Islam yang sama-sama menjabat pada masa itu ialah Ibu Dr. Hj. Zakiah Daradjat.

Salah satu kebijakan yang lahir ketika Pak Timur menjadi Dirjen Binbaga Islam ialah berdirinya Fakultas Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tahun 1982 (kini Sekolah Pascasarjana UIN). Fakultas Pascasarjana IAIN yang pertama lahir berdasarkan Surat Keputusan Direktur Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama RI H. A. Timur Djaelani MA No KEP/E/422/81. Pak Timur sebagai intelektual tentu sangat menyadari perguruan tinggi merupakan institusi sosial yang berperan dalam mencerdaskan kehidupan masyarakat.

Natsir Zubaidi, selaku penulis buku mengemukakan dalam Kata Pengantar; Pak Timur telah berjasa dalam kebijakan program Kementerian Agama, di antaranya dengan membentuk kelompok studi Islam untuk berbagai disiplin ilmu yang anggotanya terdiri dari dosen-dosen Perguruan Tinggi Agama Islam. Kelompok studi inilah yang telah melahirkan buku rujukan Islam untuk Disiplin Ilmu (IDI). Buku IDI yang sudah berhasil disusun atas prakarasa Pak Timur selaku Dirjen Binbaga Islam, antara lain: Islam untuk Disiplin Ilmu Ekonomi, Islam untuk Disiplin Ilmu Kesehatan dan Kedokteran, Islam untuk Disiplin Ilmu Bahasa, Islam untuk Disiplin Ilmu Hukum, Islam untuk Disiplin Ilmu Sosiologi, Islam untuk Disiplin Ilmu Biologi, dan Islam untuk Disiplin Ilmu Pertanian.

Pijat Refleksi

Dalam pidato pengukuhan sebagai Guru Besar Luar Biasa untuk Sosiologi Agama Islam yang diucapkan pada tanggal 19 Oktober 1981 di IAIN Raden Fatah Palembang, Pak Timur menekankan pentingnya merumuskan masalah Islam dan umat Islam di Indonesia, yang mencakup kerawanannya dan potensinya, penataan kelembagaan internal umat Islam, serta perumusan strategi nasional dalam bidang agama Islam yang terbesar jumlah pemeluknya di Indonesia.

Setelah pensiun, beliau aktif sebagai dosen mata kuliah Etika dan Filsafat Islam di Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), dosen Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan Guru Besar Luar Biasa untuk Sosiologi Agama Islam di IAIN Raden Patah, Palembang. Selain itu sebagai Ketua Dewan Kurator Universitas Ibnu Chaldun Jakarta, salah satu pendiri Universitas Djuanda Bogor, dan Ketua STAI Thawalib Jakarta (1985-1997). Semasa hidupnya beliau mengemban amanah sebagai Ketua Umum dan Ketua Badan Pembina YAPI (Yayasan Asrama Pelajar Islam) Al-Azhar Sunan Giri dan Gunung Jati Jakarta. Saya pernah silaturahim ke kediaman beliau beberapa tahun sebelum wafatnya. Sosok pribadi Pak Timur itu calm, sejuk, santun dan berwibawa, meski saat itu beliau sudah tidak banyak beraktivitas karena usia lanjut.

Drs. H. Amidhan, mantan Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji serta mantan Ketua MUI, dalam testimoninya mengemukakan, “Pak Timur di mata para pegawai lebih sebagai bapak (leader) daripada sebagai pejabat (birokrat). Oleh karena itu Pak Timur sampai akhir hayatnya sangat disayang oleh seluruh pegawai Departemen Agama ketika itu.”

Kepribadian Pak Timur yang rendah hati dikenang oleh Drs. H. Kafrawi Ridwan, MA, mantan Dirjen Bimas Islam. Saat itu Pak Timur yang menjabat Kepala Biro Perguruan Tinggi Departemen Agama mengendarai mobil VW putih pagi-pagi datang ke rumah Kafrawi yang waktu itu dosen IAIN di Yogyakarta, mengajak berangkat ke Malang untuk menyusun statuta IAIN. Konsep pemikiran Pak Timur dalam mengembangkan IAIN tak lepas dari tekad untuk menciptakan intelektual yang ulama dan ulama yang intelektual.

Pak Timur termasuk salah seorang yang gigih mempertahankan pendidikan agama tetap di bawah Departemen Agama. Mengutip Kafrawi, “Pak Timur beralasan, pendidikan agama itu adalah aset umat Islam yang mempunyai ciri kekhususan. Kalaupun akan disempurnakan, kurikulumlah yang perlu diperbaiki, sedangkan pengelolaannya tetap di bawah Departemen Agama. Pada saat itu Pak Timur dianggap sebagai tokoh ekstrem mempertahankan pendiriannya, terutama ketika harus berhadapan dengan bekas muridnya, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Prof. Dr. Daoed Joesoef.”

”Man ’arafa nafsahu, faqad ’arafa rabbahu, siapa yang mengenal dirinya, ia akan mengenal Tuhan Penciptanya. Inilah inti filsafat Islam. Sampai ke Barat saya belajar filsafat, tetap demikian kesimpulan yang saya peroleh. Kebenaran Allah itu mutlak. Kebenaran manusia relatif karena ada nilai pembandingnya dari sudut pandang yang lain.” Kalimat ini diucapkan oleh Pak Timur di ruang kuliah Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) yang tetap diingat oleh salah seorang mahasiswanya yaitu Sdr. Drs. Adi Sunarya ketika kami memperbincangkan sosok Pak Timur Djaelani semasa hidupnya tidak lama setelah beliau meninggal dunia.

Pak Timur meninggal di Jakarta pada 7 Februari 2009 dalam usia 86 tahun. Sesuai permintaan Menteri Agama Muhammad Maftuh Basyuni dan Wakil Ketua MPR-RI A.M. Fatwa yang hadir melayat di kediaman beliau saat itu jenazah Pak Timur dimakamkan di komplek pemakaman keluarga UIN Syarif Hidayatullah Jakarta di Ciputat.

Seperti diungkap A.M. Fatwa, motivasi gerak Pak Timur, selalu diwarnai oleh ruhul Islam. Selain itu pendidikan adalah bidang yang menjadi perhatian beliau. Sejalan dengan kesimpulan A.M. Fatwa di atas, saya kira tepat sekali generasi sekarang mempelajari pemikiran dan jejak perjuangan Pak Timur yang masih relevan sampai kini, seperti pemikirannya tentang kebudayaan, sumbangan Islam terhadap sosiologi di Indonesia, negara Pancasila bukan negara Sekuler, Islam dan Kebangsaan, aspek politik hukum di Indonesia dan lain-lain. Pikiran-pikiran Pak Timur sebagian dimuat dalam buku yang baru diterbitkan tersebut.

Semoga generasi muda Indonesia lebih memiliki kepedulian, lebih mampu menghargai dan memelihara legacy para pemimpin umat di masa lampau tanpa melihat dari golongan mana atau organisasi mana asal usul seseorang.

 

Sumber : M. Fuad Nasar (fuadnasar.wordpress.com)

PJ Gubernur Banten
WP-Backgrounds Lite by InoPlugs Web Design and Juwelier Schönmann 1010 Wien