JAKARTA – Hasil Pemilihan Presiden 2019 masih menunggu rekapitulasi dari Komisi Pemilihan Umum (KPU). Pengumuman hasil pemilihan umum akan digelar 22 Mei 2019 mendatang. Berbagai pandangan pun muncul, terlebih soal Pilpres 2019 yang menuai kontroversi.
Ketua Asosiasi Advokat Konstitusi, Bahrul Ilmi Yakup mengatakan, penetapan pemenang Pilpres 2019 tetaplah harus mengacu dan berdasarkan ketentuan Pasal 6A ayat (3) yang berbunyi; pasangan calon presiden dan wakil presiden yang mendapatkan suara lebih dari lima puluh persen suara di setiap provinsi yang terbesar lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia, dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden.
“Norma Pasal 6A ayat (3) merupakan norma konstitusi yang berlaku positif.
Oleh karena itu, pemenang Pilpres 2019 harus memenuhi dua syarat, pertama, memperoleh suara lebih dari 50 persen dari suara pemilih sah dalam Pilpres 2019. Kedua, perolehan suara tersebut harus tersebar minimal 20 persen di sekurang-kurangnya pada 18 provinsi, oleh karena jumlah provinsi saat ini sebanyak 34,” kata Bahrul kepada VIVA lewat pesan tertulis, Minggu 21 April 2019.
Dosen Ilmu Perundang-undangan ini menuturkan, apabila tidak ada paslon yang memperoleh suara sesuai ketentuan Pasal 6A ayat (3) tersebut, maka pilpres 2019 tidak menghasilkan pemenang yang dapat disahkan dan dilantik sebagai capres-cawapres 2019-2024.
Ia menambahkan, sangat disesalkan sekaligus memalukan, ketika beberapa ahli hukum (tata negara) melacurkan diri, dengan mengatakan norma Pasal 6A Ayat (3) tidak berlaku oleh karena telah ada putusan Nomor 50/PUU-XlI/2014. Pendapat demikian, secara akademis dinilai sungguh memalukan dan menyesatkan. Sebab, telah memanipulasi konstitusi dan untuk menyesatkan rakyat.
“Ada dua alasan yang menyebabkan Putusan MK Nomor 50/PUU-XII/2014, tidak dapat menganulir norma Pasal 6A ayat (3) UUD 1945. Pertama, MK tidak memiliki wewenang menguji norma UUD 1945, oleh karena tindakan demikian bersifat ultra vires. Kedua, putusan MK Nomor 50/PUU-X1l/2014 muncul dalam proses pengujian terhadap pasal 159 ayat (1) UU Nomor 42 tahun 2008 tentang Pilpres yang sudah tidak berlaku,” ucapnya.
“Oleh karena, normanya telah diganti dengan UU Nomor 7 Tahun 2017. Senyatanya UU Nomor 7 Tahun 2017 tidak mengakomodir norma Putusan MK Nomor 50/PUU-XlI/2014, melainkan tetap tunduk bahkan mereduplikasi norma Pasal 6A ayat (3) UUD 1945, sebagaimana termaktub dalam ketentuan Pasal 416 ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 2017 yang berbunyi: “Pasangan Calon terpilih adalah Pasangan Calon yang memperoleh suara lebih dari 50 persen (Iima puluh persen) dari jumlah suara dalam Pemilu Presiden dan WakiI Presiden dengan sedikitnya 20 persen (dua puluh persen) suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari (setengah) jumlah provinsi di Indonesia,” tambahnya.
Dijelaskan, Bahrul, apabila dalam pilpres 2019, tidak ada paslon Capres yang mempcroleh suara sesuai jumlah dan sebaran yang diteutukan dalam Pasal 6A ayat (3) UUD 1945 Jo Pasal 416 ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 2017, maka pilpres 2019 tidak menghasilkan pemenang yang memiliki hak konstitusional untuk dilantik sebagai capres-cawapres 2019-2024. (*/Viva)