Kontroversi Golok Day Cilegon

Oleh: Sang Revolusioner (Ilung)

GOLOK, merupakan salah satu peninggalan Sejarah, Teknologi dan Seni Budaya Indonesia.

Golok lebih identik dan juga sudah melekat di kalangan masyarakat Banten, khususnya yang paling ternama yakni dari wilayah Ciomas dan Pandeglang.

Namun kemasyhuran senjata tradisional ini berhasil dicitrakan oleh Kita Cilegon setidaknya sejak setahun terakhir, pasca digelarnya Festival Golok Day I tahun 2016 lalu.

Sebagai apresiasi atas makna filosofi dan budaya Golok sebagai senjata tradisional, Kota Cilegon dalam menyambut HUT ke-18 pada 27 April 2017 ini akan kembali menyuguhkan Festival Golok Day II.

Setelah sukses membuang banyak anggaran yang kecendurungannya lebih pada citra, yakni Pemecahan Rekor MURI; pada Golok Day I (tahun lalu) total rekor 1.200 orang memegang golok. Dengan peragaan golok diangkat, lalu digoyang-goyang di antara ribuan kepala manusia inipun sukses ‘menyirep’ puluhan media massa baik lokal maupun Nasional.

Namun, menjelang penyelenggaraan Golok Day II yang rencananya akan mengundang tokoh Nasional dan duta Internasional ini, Pemkot Cilegon dalam hal ini panitia, seakan kurang peka dalam mendengar beragam kritik dan ketidak setujuan warga Cilegon sendiri terhadap acara Golok Day ini.

Berikut ini coba penulis rangkum alasan-alasan ketidaksetujuan warga Cilegon tersebut;

Pertama, Golok yang dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Cilegon biasanya berfungsi sebagai alat kerja bagi masyarakat di perkampungan, golok juga merupakan bagian dari hidup masyarakat karena golok menjadi sarana untuk membantu pekerjaan sehari-hari bagi para petani berladang dan berkebun.
Keberadaan lahan pertanian yang hampir habis karena drastis terus tergerus oleh arus pembangunan Kota, tentu saja mengurangi fungsi golok itu sendiri bagi masyarakat Cilegon yang sudah beralih profesi dari pertanian. Dan itu harus diakui secara jujur oleh semua kalangan di Cilegon dalam memahami fungsi Golok dan eksistensinya.

Kedua, selain ilmu bela diri dulu para jawara silat selalu menyelipkan sebilah golok di pinggang untuk membela diri. Golok Cilegon adalah benda sejarah yang merupakan simbol peradaban zaman Kerajaan Banten. Dahulu Golok digunakan sebagai alat pertahanan untuk melawan musuh atau orang yang berniat mengancam keselamatan. Golok digunakan para jawara untuk mempertahankan diri dari serangan musuh dan sebagai lambang kehormatan dan derajatnya sebagai jawara.

Kartini dprd serang

Apakah di Cilegon kini banyak musuh yang menyerang dimana kita harus membela diri dengan Golok? Atau sekadar mencari (citra) kehormatan saja?

Ketiga, mengacu pada ketentuan mengenai larangan membawa senjata tajam yang terdapat dalam Pasal 2 UU Darurat No.12 Tahun 1951 tentang Mengubah “Ordonnantietijdelijke Bijzondere Strafbepalingen” (Stbl. 1948 Nomor 17) dan UU Republik Indonesia Dahulu Nomor 8 Tahun 1948 (“UU Drt. No. 12/1951”) yang berbunyi:

(1) “Barang siapa yang tanpa hak memasukkan ke Indonesia, membuat, menerima, mencoba memperolehnya, menyerahkan atau mencoba menyerahkan, menguasai, membawa, mempunyai persediaan padanya atau mempunyai dalam miliknya, menyimpan, mengangkut, menyembunyikan, mempergunakan atau mengeluarkan dari Indonesia sesuatu senjata pemukul, senjata penikam, atau senjata penusuk (slag-, steek-, of stootwapen), dihukum dengan hukuman penjara setinggi-tingginya sepuluh tahun”.

Apalagi acara peragaan aksi ‘goyang’ ribuan Golok digelar di depan Polres dan Kodim Cilegon sebagai penegak hukum dan penjaga keamanan Negara.

Lalu selama ini bagaimana penafsiran secara hukumnya-apakah agar masyarakat Cilegon (taat hukum) sudah dikasih penjelasannya?

Keempat, dampak psikologis peserta. Apakah panitia menjamin semua peserta Golok Day dimana ribuan peserta masing-masing membawa golok dalam jarak berdekatan yang memungkinkan adanya senggolan atau berdesakan, belum labilnya emosi kalau kondisi cuaca panas terik. Lalu apa psikologis semua peserta tetap normal sebagaimana tes pembekalan pada anggota militer sebelum dilengkapi persenjataan?

Kelima, presepsi negatif bagi anak-anak. Dalam moment hajat kota yang tentunya bisa menyedot animo masyarakat yang membawa serta anaknya untuk menyaksikan, atau peserta yang juga mengajak anaknya. Dimana nanti anak-anak ini akan menyaksikan adegan ribuan Golok yang digoyang-goyangkan.

Tabiat anak-anak yang gampang menirukan sesuatu atau apa saja yang dilihatnya, tentu hal ini juga harus menjadi perhatian bagi panitia. Apakah pada Golok Day tahun lalu steril dari mata anak-anak?

Mungkin masih banyak lagi suara-suara masyarakat Cilegon yang tidak setuju dengan acara Golok Day ini, seperti besarnya anggaran, dampak kemacetan dan sebagainya.

Dalam hitam-putihnya kehidupan ini, mungkin hampir semua media massa melihat Golok Day ini adalah putih, maka tak apalah ‘hitam’ itu diambil untuk kuberikan kepada yang pantas mengambilnya. (*)

Polda