*) Oleh : Ahmad Basori (Penggiat Politik Islam)
FAKTA BANTEN – Pada masa penjajahan Belanda dan orde baru, peran politik ulama pernah mengalami peminggiran dan pembatasan. Ulama sebagai sosok yang memiliki kharismatik tradisional mampu memobilisisasi massa untuk menentang pemerintah kolonial dan ancaman penguasa orde baru berpotensi menciptakan kekacauan sosial-politik . Untuk membatasi ruang gerak itu penguasa membuat berbagai Undang-undang (regeering Reglement).(Sumanto al-qurtubi,2017).
Era reformasi kran demokrasi dibuka, setelah sekian lama dipinggirkan, ulama sejak era orde reformasi merangsek ke tengah pusat kekuasaan. Sejumlah ulama terlihat berperan aktif masuk ke dunia politik praktis bahkan terdapat ulama yang memimpin sejumlah partai politik Seperti KH Zaenuddin MZ dan KH Syukron Makmun. Puncaknya adalah naiknya KH Abdurrahman Wahid sebagai Presiden RI yang ke-4. Setelah KH Abdurrahman Wahid, politik islam berjalan lurus secara grafik, tidak naik dan tidak turun.
Setelah peristiwa demonstrasi besar umat Islam 212 yang dihadiri jutaan umat Islam untuk menuntut ahok sebagai Gubernur Jakarta saat itu, agar dijatuhi hukuman, karena telah melakukan penistaan agama, umat Islam kembali menemukan momentumnya.
Kesadaran akan pentingnya umat Islam berpolitik dan ulama sebagai pemimpin umat untuk terjun ke dunia politik kembali digaungkan di majelis taklim, media sosial, ormas dan perbincangan di komunitas-komunitas kecil maupun besar.
Puncaknya adalah pada pemilihan Capres dan Cawapres Pemilu 2019, partai koalisi incumbent dan oposisi setuju untuk mempertimbangan ulama sebagai pendamping Capres pada Pemilu 2019. Terdapat nama ulama yang beredar saat itu, seperti KH Maruf Amien, Ustazd Abdul Somad, Habib Salim Segaf, KH Arifin Ilham, dan Aa Gym.
Di kubu incumbent akhirnya memutuskan KH Maruf Amien Sebagai Cawapres, sedangkan di kubu oposisi sempat mencuat nama Ustazd Abdul Somad (UAS) dari hasil Ijtima Ulama sebagai Cawapresnya Prabowo Subianto, namun UAS menolak dan lebih memilih untuk konsentrasi pada urusan dakwah. (Republika, 2018).
Menguatkan peran Politik Ulama,
Euforia kemimpinan ulama yang berlatar belakang politik tidaklah mesti disamakan dengan kemunculan sosok artis yang dimanfaatkan oleh partai politik untuk mendulang suara partai. Artis diajukan sebagai kepala daerah atau wakil, untuk bertarung dalam Pilkada karena memiliki modal popularitas yang tinggi sehingga terpilihlah menjadi kepala daerah. Namun setelah berkuasa sosok artis memiliki kinerja yang tidak memuaskan karena tidak diikuti dengan kemampuan kepemimpinan yang mumpuni. Akhirnya di sejumlah daerah kepemimpinan artis tidak dipilih lagi pada paruh periode kedua dalam Pilkada.
Tidak seperti para artis, sebenarnya ulama dalam dunia politik (high dan low politik) memiliki kapasitas dan kapabilitas yang mumpuni. Tradisi keilmuan yang dipelajari oleh ulama di pesantren tidak hanya belajar urusan-urasan ibadah mahdhoh tetapi juga diajarkan masalah urusan sosial politik. Hal ini karena Islam sebagai agama yang Syumuliyah mengatur seluruh aspek kehidupan. Maka tidak aneh apabila seorang ulama mahir ilmu fiqih, tafsirnya tetapi juga mahir ilmu ekonomi dan politiknya.
Karakter ulama klasik yang menguasai multidisiplin ilmu terdapat nama Imam Al-Ghazali, Ibnu Shina, Al-Khawarizmi, sedangkan di Indonesia terdapat nama Hasyim Asy’ari, Hamka, dan M. Natsir. Mereka adalah sosok yang tidak masuk kategori asketis, yaitu ulama yang lebih memilih mengurusi umat, memberdayakan warga, dan menjauhi hingar-bingar dunia politik praktis kekuasaan yang korup.
Mereka ikut terjun langsung masuk ke dunia politik praktis berjuang menegakkan nilai-nilai luhur agama dan cita-cita berbangsa dan bernegara.
Merangseknya sosok ulama ke tengah kekuasaan politik tidak boleh hanya dimanfaatkan oleh partai untuk kepentingan mendongkrak perolehan suara dalam Pemilu/Pilkada. Lebih dari itu, ulama tidak boleh menjatuhkan martabat hanya rela menjadi “bamper” Paslon tertentu atau menjadi broker-broker suara umat. Mereka rela “berkelahi” dan “berperang” (psywar) dengan para tokoh agama dan ulama yang mendukung Paslon lain. Demi memuluskan jalan bagi Paslon yang mereka dukung itu, mereka juga tidak segan-segan menyitir ayat-ayat dan teks-teks keagamaan sebagai “legitimasi teologis”.
Peran ulama di panggung politik harus mampu menjadi sosok pemimpin yang memiliki visi yang jelas sehingga mampu mengendalikan kekuasaan. Keberadaannya tidak hanya menjadi pelengkap tetapi mampu mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang pro rakyat, kebijakan-kebijakan yang mensejahterkan dan kebijakan yang mampu membawa bangsa ini menjadi bangsa yang besar dan menjadi tuan di negeri sendiri. (***)