Masyarakat Cilegon Tuding Pemerintah Bersalah Atas Kerusakan Alam yang Sebabkan Banjir
CILEGON – Peristiwa banjir yang semakin parah dan meluas di Kota Cilegon mendapat sorotan tajam tadi aktivis dan elemen masyarakat lainnya yang menduga permasalahan kerusakan lingkungan hidup selama ini menjadi pokok persoalan dalam musibah banjir di kota industri tersebut.
Seperti yang dikatakan oleh Direktur Eksekutif NGO Rumah Hijau, Supriyadi, yang dalam kejadian banjir kali ini terparah bahkan mendesak Walikota Cilegon Edi Ariadi dan Wakilnya Ati Marliati untuk mundur.
“Walikota Cilegon dan Wakil Walikota Cilegon lebih baik mundur. Karena patut diduga ketidakpahaman pemerintah dalam menyikapi persoalan banjir di Kota Cilegon sudah sering kali tidak dijadikan pelajaran. Banjir dalam sejarah Kota Cilegon sejak didirikan baru ini yang paling besar dan luas,” ujar Supriyadi kepada Fakta Banten, Senin (4/5/2020) malam.
Selain itu, Supriyadi juga menilai banjir juga disebabkan atas kebijakan Pemkot yang sering kali melakukan kesalahan fatal dalam merubah tata ruang tata wilayah Kota Cilegon.
Pemkot Cilegon juga dinilai selama ini melakukan pembiaran atas aktivitas perusakan alam, baik atas nama investasi maupun oleh praktik ilegal.
“Kami juga menduga Pemkot Cilegon lebih mementingkan kapitalis, dalam persoalan reklamasi dan galian tambang menjadi tugas besar pemerintah yang selama ini dilakukan oleh perusahaan dan menyalahi aturan. Oleh pemerintah dianggap biasa saja padahal melanggar peraturan yang ada,” tegasnya.
Untuk itu, pihaknya selaku organisasi yang concern di masalah lingkungan hidup akan melakukan upaya hukum.
“Terhadap banjir yang tiada henti karena kurang ati ati. Pemerintah jangan sampai salah urus tata kelola persoalan lingkungan hidup akibatnya alam akan murka. Bahaya jika tidak becus mengelola pemerintahan rakyat akan kecewa,” tandasnya.
Hal senada juga diungkapkan oleh Pengamat Sosial di Cilegon, Ali Fahmi, dalam WA Grup Menatap Masa Depan Cilegon. Dengan tegas Ali Fahmi menyatakan faktor penyebab banjir lebih diakibatkan kerusakan alam oleh manusia berupa pembangunan terutama eksploitasi alam berupa aktifitas tambang atau galian C di Kota Cilegon.
“Ini bukan bencana, tapi musibah yang diakibatkan oleh ulah manusia itu sendiri, Kota Cilegon dataran tinggi, sebagian besar pantai dikelilingi pegunungan sangat dekat dengan laut, hanya berjarak beberapa kilometer saja. Artinya mustahil Cilegon banjir, jika bukan karena kegagalan pembangunan, uji Amdal dan lain-lain,” tulisnya.
Ia juga menyoroti soal area hilir berupa pesisir pantai dan muara sungai di Kota Cilegon yang hampir semuanya sudah penuh bangunan bisnis industri, mulai dari pabrik, pelabuhan hingga perhotelan.
“Sehingga ada banyak penyempitan sungai sungai menuju pantai, dan penyempitan saluran dipantai itu sendiri. Yang kita tau bahwa seluruh pantai bukan lagi wilayah umum tapi sudah menjadi kawasan industri. Ini evaluasi yang harus dibangun, bukan sekedar narasi untuk menyudutkan pihak lain,” bebernya.
Aktifis Cilegon lainnya, Martin Al-Qosim menyambutnya argumen tersebut dengan menuliskan secara spesifik maraknya aktifitas tambang pasir di kawasan Selatan Cilegon sejak adanya pembangunan Jalan Aat-Rusli.
“Banjir Cilegon yang paling dominan yaitu rusaknya alam wilayah Selatan Cilegon dan Serang akibat galian C alias tambang pasir dan gunung yang tidak terkontrol, anehnya tidak ada satupun yang peduli rusaknya alam tersebut, baik Pemkot, DPRD, maupun LSM yg mengaku peduli lingkungan. Silahkan cek and ricek saudaraku,” tulisnya.
Salah satu anggota DPRD Kota Cilegon dari Fraksi PDIP, Ahmad Sudrajat, juga ikut berkomentar dan mengakui akan faktor banjir yang disebabkan oleh kerusakan alam.
“Ini akibat lahan gunung yang ada di sekitar Cilegon habis dipangkas dan digali sampai gundul alias cekung,” tandasnya. (*/Ilung)