Menteri BUMN Beberkan Indikasi Korupsi di Krakatau Steel

JAKARTA – Menteri BUMN Erick Thohir kembali membeberkan adanya indikasi korupsi di perusahaan pelat merah. Kali ini dia menyinggung soal PT Krakatau Steel (Persero) Tbk atau KRAS.

Menurutnya, indikasi korupsi di Krakatau Steel berasal dari proyek blast furnace yang sempat mangkrak selama 6 tahun dari 2012 hingga 2018. Padahal nilai proyeknya USD 850 juta, membuat beban utang perseroan tembus USD 2 miliar atau sekitar Rp 31 triliun. Persoalan ini kemudian diselesaikan oleh direksi baru mulai 2018.

“Ini hal-hal yang tidak bagus. Pasti ada indikasi korupsi dan kita akan kejar siapa pun yang merugikan. Bukannya kita ingin menyalahkan tapi penegakan hukum. Bisnis proses yang salah harus kita perbaiki,” kata Erick dalam Talkshow Bangkit Bareng di YouTube Republika, Selasa (28/9/2021).

Gara-gara proyek mangkrak ini, KRAS pun menderita kerugian selama delapan tahun. Untuk membenahi keuangan KRAS, perseroan pun melakukan restrukturisasi utang Rp 30 triliun yang dimulai sejak akhir 2018 hingga Januari 2020.

Restrukturisasi utang ini melibatkan 10 bank nasional, swasta, dan luar negeri. Dengan perpanjangan pembayaran utang ini, KRAS bisa menurunkan beban bunga dari USD 847 juta menjadi USD 466 juta yang menjadi tahap pertama dalam upaya penyehatan KRAS.

Restrukturisasi ini juga membuat perseroan bisa meraup untuk Rp 67 miliar pada Agustus 2020 dan jumlah itu terus bertambah per Agustus 2021 menjadi Rp 800 miliar.

Tahap kedua, Erick membentuk subholding pada anak usaha KRAS yang jumlahnya banyak. Di subholding ini, akan ada yang dilepas ke pasar modal (Initial Public Offering/IPO) agar bisa mendapatkan pendanaan untuk mencicil utang USD 2 miliar.

Tahap ketiga, kata dia, KRAS melakukan kesepakatan bisnis dengan Pohang Iron and Steel Company (Posco) dari Korea Selatan untuk bisa memiliki saham sama rata. Sebab, bisnis kedua perusahaan ini sudah berjalan baik selama 8 tahun terakhir.

“Jadi kita transformasi semua ini dan yang tidak kalah penting adalah bisnis proses yang baik. bukan project base. Kita enggak mau karena dikasih penugasan, banyak bisnis mangkrak dan terjadi korupsi karena bisnis prosesnya enggak baik,” ucap Erick.

Berdasarkan catatan kumparan, proyek blast furnace merupakan kerja sama konsorsium MCC CERI China dengan anak perusahaan PT Krakatau Steel, PT KS Engineering. Pabrik ini berdiri pada area Blast Furnace Complex PTKS seluas 55 hektar.

Pembangunan proyek ini mangkrak selama enam tahun pada 2012 hingga 2018. Pembangunan yang tidak sesuai jadwal ini juga membuat biaya bengkak dan sempat membuat salah satu Komisaris Independen KRAS yaitu Roy Edison Maningkas mengundurkan diri pada Juli 2019.

Kala itu, Roy mengundurkan diri terkait dengan sikapnya yang memilih dissenting opinion atas proyek pembangunan pabrik blast furnace oleh Krakatau Steel. Menurut dia, pembiayaan proyek ini membengkak dari perencanaan awal senilai Rp 7 triliun menjadi Rp 10 triliun.

“Jadi ini overrun, maksudnya budget-nya dia terlampaui Rp 3 triliun. Saya pikir ini bukan angka yang kecil ini angka yang besar. Proyek terlambat 72 bulan (6 tahun),” pungkasnya. (*/Kumparan)

Honda