CILEGON – Meski pada umumnya di Indonesia ketupat atau kupat sangatlah identik dengan Hari Raya Idul Fitri, tapi bagi masyarakat Kota Cilegon yang heterogen serta dalam historisnya banyak terjadi akulturisasi budaya pada era Kesultanan Banten, Sehingga tradisi ngupat (membuat kupat) di Cilegon kerap dilakukan di beberapa momen sakral. Seperti Qunutan (pertengahan bulan Ramadlan), habis panen padi (Di Kecamatan Purwakarta), dan Idul Adha yang akan jatuh pada besok Rabu, (22/8/2018).
Terpantau pada H-1, Selasa (21/8/2018), banyak sekali masyarakat Cilegon yang sedang ngupat untuk disajikan dan salibg mengirim makanan kepada sanak keluarga dan kerabat pada perayaan Idul Adha 1439 Hijriyah.
Dalam sejarahnya, Idul Adha merupakan peristiwa besar bagi ummat Islam untuk belajar kepada ‘Kholilullah’ Ibrahim As dan anaknya Ismail As yang bergelar ‘Dabihullah’, yang mengajarkan ummat Islam untuk rela mengorbankan apapun milik kita yang paling dicintai sekalipun di dunia ini, untuk ke jalan Allah SWT.
Subhanallah, ibadah yang dalam niat bernilai transenden vertikal- lillah. Namun dalam implementasinya sangat berdampak besar pada tataran sosial horizontal, di mana masyarakat yang kurang mampu dan jarang makan daging, bisa menikmati daging gratis dari ‘Udhiyah’ yang mendistribusikan dari para ‘Mudhahhy’. Sungguh luar biasa skenario Allah, peristiwa sekian ribu tahun lalu yang masih diamalkan oleh ummat Islam hingga kini.
Dan di Cilegon, peristiwa hari besar Idul Adha disambut lebih meriah dengan adanya upaya masyarakat yang ‘nguwuri-nguwuri’ kebudayaan dengan ‘ngupat‘. Namun tentu ketupat ini bukan hanya sekedar pelengkap hari raya saja, karena budaya ini sarat akan makna di dalamnya.
Ketika mencarai asal-usul sejarah ketupat, banyak versi yang menyebutkan Kanjeng Sunan Kalijaga yang pertama kali memperkenalkan pada masyarakat di tanah Jawa, hingga ke ujung Barat Cilegon bahkan kini se-Indonesia hingga Asia Tenggara.
Pada mulanya, kupat yang setelah selesai dianyam, ketupat diisi dengan beras kemudian dimasak. Lalu kupat tersebut diantarkan ke kerabat yang lebih tua, sebagai lambang kebersamaan.
Dalam filosofi Jawa, arti kata ketupat lebaran bukanlah sekedar hidangan khas hari raya lebaran. Ketupat memiliki makna khusus. Ketupat atau kupat dalam bahasa Jawa merupakan kependekan dari Ngaku Lepat dan Laku Papat.
Ngaku Lepat mengandung makna untuk kita mengakui kesalahan. Ngaku Lepat tradisi ‘sungkeman’ menjadi implementasi ngaku lepat (mengakui kesalahan) bagi orang Jawa. Prosesi sungkeman yakni bersimpuh di hadapan orang tua seraya memohon ampun, dan ini masih membudaya hingga kini. Sungkeman mengajarkan pentingnya menghormati orang tua, bersikap rendah hati, memohon keikhlasan dan ampunan dari orang lain , khusunya orang tua.
Sedangkan Laku Papat berarti Empat Tindakan atau Prilaku dalam perayaan lebaran, diantaranya;
1. Lebaran
Lebaran bermakna usai, menandakan berakhirnya waktu puasa. Berasal dari kata lebar yang artinya pintu ampunan telah terbuka lebar. Dan di Cilegon, Idul Adha juga kerap disebut ‘Lebaran Haji’ yang terdapat dua hari puasa sunah di hari sebelumnya, yakni Puasa Tarwiyyah dan Arafah.
2. Luberan
Bermakna meluber atau melimpah . Sebagai simbol ajaran bersedekah untuk kaum miskin. Pengeluaran zakat fitrah menjelang lebaran pun selain menjadi ritual yang wajib dilakukan umat Islam, juga menjadi wujud kepedulian kepada sesama manusia. Hal ini juga tercermin dari Idul Adha dengan adanya daging qurban.
3. Leburan
Maknanya adalah habis dan melebur . Maksudnya pada momen lebaran, dosa dan kesalahan kita akan melebur habis karena setiap umat Islam dituntut untuk saling memaafkan satu sama lain.
4. Laburan
Berasal dari kata labur atau kapur. Kapur adalah zat yang biasa digunakan untuk penjernih air maupun pemutih dinding. Maksudnya supaya manusia selalu menjaga kesucian lahir dan batin satu sama lain.
Setelah mengetahui makna dari tradisi yang diwariskan dan masih dijaga hingga kini, tentunya kita harus bangga dan berterima kasih kepada leluhur kita. Dan tentunya yang lebih penting adalah bagaimana kita harus bisa menjaga tradisi atau kearifan lokal ini terus berlangsung hingga ke anak cucu kita kelak. (*/Ilung)
[socialpoll id=”2513964″]