Oleh: Ilung (Sang Revolusioner)
DINAMIKA sosial budaya masyarakat pada suatu daerah yang mengalami perubahan, bisa mengacu pada gagasan untuk sebuah kemajuan atau mungkin tanpa disadari pada kemunduran sosial dan juga evolusi sosial dan budaya didaerah tersebut.
Perubahan sosial budaya bisa berlangsung dengan sangat cepat atau lambat dan umumnya sangat tidak bisa disadari oleh masyarakat di daerah maupun suatu negara. Karena orang bisa mengetahuinya ketika orang tersebut mulai mengkomparasikan kehidupan sosial di masa lalu dan masa saat ini.
Terlepas disadari atau tidak, namun terjadinya perubahan sosio culture dalam proses tata sosial dalam masyarakat Kota Cilegon dan Banten pada umumnya, penulis rasa sudah terasa adanya.
Perubahan dalam lingkungan akibat dampak Industri, dan Informasi, pada lembaga, perilaku dan juga hubungan sosial budaya masyarakat seperti halnya dalam adat atau budaya pesta pernikahan.
Keberlangsungan pesta pernikahan di Kota Cilegon yang semakin melihat jelas adanya perubahan pada adat pesta pernikahan akibat terkontaminasinya nilai-nilai kearifan lokal yang natural dan khas oleh nilai-nilai yang ditebarkan kapitalis dari barat yang bernaluri pada bentuk materi dan keglamouran hidup. Dianggap maju atau mundurnya perubahan tersebut, itu tergantung dari konteks masing-masing.
Nilai Kearifan Lokal Dalam Pernikahan
Adanya istilah “Usim Kawin” merepsesentasikan ungkapan dari nilai-nilai asli kearifan lokal tradisionil dalam hal pernikahan. Dimana pada bulan-bulan tertentu dalam kalender Jawaliyah dan Hijriyah, umumnya masyarakat di Cilegon banyak yang menikahkan putera-puterinya seperti pada bulan Mulud/Rabi’ul Awal, Ruwah, dan yang sedang musim sekarang ini yakni bulan Haji/Dzulhijjah. Sampai-sampai pencipta lagu pun menulis syair dalam reff lagunya “…Bulan Haji yang kan datang kirim kirim pak penghulu datang…”. Pengambilan tanggal dan bulan pun bukan sembarang ambil, umumnya hasil rujukan atau rekomendasi dari para Kyai atau Ustadz yang ditakdziminya, yang kemungkinan referensinya dari kitab-kitab kuning yang ditulis dan dianjurkan oleh para leluhur yang ‘alim dan waskita.
Sebagaimana kita ketahui, Cilegon dulunya adalah wilayah dari Kerajaan Islam Banten dimana banyak terdapat ‘Alim Ulama yang masyhur. Referensi itu bisa juga diambil dari kitab Mujarobat, dimana didalamnya ada bab yang menganjurkan pernikahan dilaksanakan pada bulan-bulan bagus saja yang dipercaya bisa membawa kebaikan-kebaikan, seperti banyaknya anak, rezeki, rumah tangga yang langgeng dan sebagainya.
Pernikahan yang merupakan syari’at agama dimana dalam Islam dalam rukunnya hanya 4 saja, yakni
-Adanya seorang wali yang sah menikahkan
-Disaksikan minimal dua orang saksi
-Ungkapan akad, ijab qobul atau shighotul aqdi pernikahan yang sah
-Adanya mahar atau maskawin.
Dimana selain empat rukun diatas, ada adab-adab pernikahan seperti adanya khuthbah nikah, mengumumkan pernikahan, panjatan do’a bagi kedua mempelai dan sebagainya
Dan adapun dalam perayaan pesta pernikahan bukan merupakan rukun wajib hanya budaya yang memang dianjurkan dalam batasan tidak menerabas larangan dan mengganggu orang lain.
Merasuknya Nilai Kapitalis (Revolusi Materialisme) dari Barat Dalam Pesta Pernikahan di Cilegon
Zaman Pencerahan atau Abad Kecerahan dari Barat yang dimaksud adalah kebangkitan berpikir. Terbitnya matahari pemikiran, pencarian, eksplorasi, penemuan, dan kreativitas di bidang ilmu pengetahuan.
Secara bertahap, dimulai pada abad 14 di Italia kemudian melebar ke seluruh Eropa, memuncak pada abad 17, kemudian dibawa menyebar mewarnai dunia termasuk tlatah Cilegon-Banten-Nusantara hingga abad 21 ini, mewujud jadi prestasi dan produk-produk teknologi yang membuat kehidupan manusia semakin mobil, maju, berkembang, dan bercahaya secara keduniaan.
Rintisan para penemu Muslim di berbagai bidang keperluan hidup, diambil alih pertumbuhannya oleh bangsa-bangsa yang mengalahkan kekuatan Kaum Muslimin. Ibarat kebun, para Sarjana Muslim menemukan benih-benih, kemudian mereka mengalami kehancuran. Sehingga musuhnya yang kemudian menanamnya menjadi perkebunan peradaban keduniawian.
Bahasa jelasnya, yang disebut Abad-abad Kecerahan adalah Revolusi Materialisme. Islam sejak awal sangat menganjurkan dan memacu perkembangan fungsi akal, mendorong kemajuan berpikir – tetapi tidak dengan kehebatan materialisme sebagai goal -nya. Tentu saja revolusi materialisme adalah kecerahan bagi suatu pandangan yang menganggap dunia adalah satu-satunya kehidupan. Tetapi dengan konsep Dunia-Akhirat, itu jebakan yang luar biasa.
“Adapun orang yang melampaui batas dan mengutamakan kehidupan dunia, maka sesungguhnya nerakalah tempat tinggalnya”. (An-Nazi’at: 37-39)
“Sesungguhnya mereka (orang kafir) menyukai kehidupan dunia dan mereka tidak memperdulikan kesudahan mereka, pada hari yang berat di akhirat”. (Al-Insan: 27)
Dan siapa yang bisa menjamin jika nilai-nilai “revolusi materialisme” tersebut tidak mengkontaminasi bahkan menghancurkan tatanan “Desa mowa cara” dan Negara mawa tata” yang asli diwariskan leluhur negeri ini?
Akan panjang lebar tentunya tulisan ini jika harus menjabarkan pengaruh “revolusi materalisme” dari Barat tersebut pada bidang ekonomi, kurikulum pendidikan, eskalasi politik, dan kesehatan. Pada pesatnya pembangunan kota dan makin menjamurnya industri serta teknologi informasi internet yang bisa dengan mudah bisa diakses saja, menurut saya secara langsung, tersortir dan tidak langsung umumnya menjadi faktor determinan terjadinya perubahan ‘sosio culture’ dalam masyarakat Cilegon.
Sebelum membahas pesta pernikahan yang sering menutup akses jalan umum sebagiamana judul diatas, harus kita sadari juga jika pengaruh “revolusi materealisme” tersebut sudah masuk pada adab bahkan rukun pernikahan.
Dalam hal adab mengumumkan pernikahan, siapa yang bisa menjamin dalam melaksanaannya pihak keluarga tidak lebay_kalau bisa ya harus semewah/meriah mungkin_walaupun harus gadaikan ini dulu, hutang dulu padahal mungkin hutang sebelumnya belum dibayar, ‘mando’ ke dulur dan sebagainya? Tentunya banyak yang tidak sampai sebegitunya itu karena secara ekonomi memang mapan. Tapi apakah sudah ada program pemerintah yang mensensus keadaan masyarakat, sehingga terbukti tidak ada yang seperti itu?
Tapi sisi positifnya juga memang ada karena dengan lebih banyak tamu tentunya bisa lebih luas dalam bersilaturahmi.
Dalam rukun nikah ‘mahar/maskawin’, yang cincin besi saja bisa boleh dan sah, memang idealnya sesuai dengan kemampuan dari pihak laki-lakinya. Dan semoga dalam realitasnya masyarakat Cilegon saat ini tidak ada yang tersugesti gengsi kena pengaruh “revolusi materialsme” itu, sehingga tidak harus memaksakan diri dalam memberikan maskawin.
Penuh relativitas memang, manusia hanya bisa bersentuhan dengan indikator-indikator eksplisitnya, itupun masih sangat bisa diperdebatkan, karena kemungkinannya tak terbatas dan berlipat-lipat. Manusia tidak mungkin menyimpulkannya di antara mereka, sejauh-jauhnya hanya masing-masing orang membaca kedalaman batin masing-masing, dicerminkan pada apa yang ia alami secara individu, sosial dan budaya.
Ketika “Usim Kawin” Banyak Akses Jalan Umum yang Ditutup
Walaupun banyak pihak yang memakluminya ada “Raja Sehari” duduk dipanggung pelaminan menutup akses jalan umum, yang ketika datang siklus “Usim Kawin” pada bulan-bulan tertentu, yang tentunya kita ketahui bersama satu Kampung di Cilegon dalam seminggu bisa sampai 2-3X ada pesta pernikahan yang harus menutup jalan Kampung tersebut. Maka tidak sedikit pula orang yang hatinya ngegerunek mengeluh karena harus harus putar balik atau memang ia sedang terburu-buru.
Kontroversi juga kalau diperpanjang, mulur mungkrek dan tak bisa ketemu juntrungannya kecuali untuk mencari solusi terbaik.
Bila flash back pada beberapa puluh tahun silam, seingat saya saat pada tahun 80an akhir hingga 90an, yang sering diajak/ikut orangtua kondangan, pesta pernikahan waktu itu dilaksanakan masih didalam rumah dimana pengantinnya berada diruang tamu, halaman dan sedikit bahu jalan saja yang ditempati kursi untuk tamu undangan makan, sehingga tidak sampai menutup akses jalan umum yang saat itu belum begitu banyak kendaraan seperti saat ini.
Namun, mau tidak mau inilah trand pesta pernikahan di Kampung-kampung Kota Cilegon, terlebih yang ruas jalannya tidak begitu lebar, biasanya harus ditutup sehari semalam bahkan kalau petugas tenda dan penata rias panggung pengantinnya _ngemblek_bisa sampai dua hari.
Bukan bermaksud merubah kembali sosial budaya atau sejarah, namun apakah tidak ada solusi terbaik yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Cilegon sebagai pengatur tata kelola Kota terhadap persoalan ini?
Diperlukan Inovasi Kebijakan dari Pemkot Cilegon
Jika Pemkot Cilegon bisa memberi honor ketua RT, RW, Linmas se Kota Cilegon, dengan program DPW Kel dari 5% APBD saja satu Kelurahan bisa mendapatkan 1-2 Miliar, masa iya Pemkot nggak mampu merumuskan solusi dengan terobosan kebijakan mengatasi penutupan jalan umum di Kampung akibat pesta pernikahan?
Terinspirasi dari salah satu kampung di Cilegon yang masih terdapat tanah lapang, yang mana setiap ada warganya yang mengadakan pesta pernikahan selalu dilaksanakan di tanah lapang itu dan tidak perlu menutup akses jalan Kampung tersebut.
Maka, sebagai urun pemikiran, saya kira apa susahnya Pemkot Cilegon yang APBD nya sudah hampir 2 Triliun ini berinovasi dalam kebijakan, memberikan solusi dari adanya persoalan ini dengan melakukan pembebasan lahan ‘sekian’ ribu meter (sesuai kebutuhan atau hasil kajian) di setiap RT yang ada di Kota Cilegon. Misalnya.
Kalau perlu dan kalau memang Walikota Cilegon benar pro rakyat, di tanah lapang tersebut dibangun permanen sebagaimana gedung-gedung instansi tertentu yang bisa disewakan untuk pesta pernikahan. Dan nantinya bilamana ada warga yang akan mengadakan pesta pernikahan tidak usah menyewa tenda yang berjuta-juta, cukup membayar alakadarnya atau disesuaikan untuk biaya kebersihan dan perawatan gedung tersebut. Ya 200-500 ribu, cukup logislah.
Dengan begitu, saya kira masyarakat Cilegon akan menyambutnya dengan gembira dan mungkin akan lebih loyal mendukung Pemkot Cilegon.
Semoga dengan adanya fasilitas gedung untuk pesta pernikahan di setiap RT yang ada di Cilegon, masyarakat Cilegon yang sudah mantap dengan budaya glamournya perayaan pesta pernikahan, bisa lebih ringan mengeluarkan biaya tenda. Selain itu masyarakat juga tidak terganggu oleh tertutupnya akses jalan umum. (*)
*) Penulis adalah wartawan Fakta Banten