Masyarakat Cilegon Persoalkan BNI The Royale Krakatau Music Fest 2023 yang Belum Kantongi Izin
CILEGON – Elemen masyarakat Banten Bersatu dan Gerakan Anti Maksiat (Gebrak) menyatakan tegas menolak agenda konser bertajuk BNI The Royale Krakatau Music Fest 2023.
Event ini digadang-gadang akan menjadi festival musik terbesar di Kota Cilegon di awal Tahun 2023 ini.
Belum adanya perizinan dari Kepolisian untuk gelaran konser yang menghadirkan beberapa band ternama di Indonesia tersebut, menjadi celah bagi masyarakat menuntut dibatalkannya event itu.
Elemen masyarakat juga mempersoalkan event yang telah dipromosikan dan melakukan penjualan tiket, namun hingga saat ini ternyata tidak memiliki perizinan.
Pantauan wartawan Fakta Banten di website penjualan tiket milik panitia kegiatan dari Krakatau Sarana Properti (KSP) yaitu kspsportainment.com, tiket berjenis Festival – Early Bird telah habis terjual atau sold out.
Eddy Jhon, Koordinator Gebrak atau Dewan Penasehat Masyarakat Banten Bersatu (MBB), salah satu yang akan mempersoalkan event yang akan digelar PT Krakatau Sarana Properti ini.
Event tersebut dipastikan mengundang keramaian yang akan berdampak luas bagi masyarakat, karena digelar tempat terbuka. Menyikapi hal itu, Eddy mempertanyakan terkait manajemen keamanan yang akan diterapkan jika event tersebut digelar nanti.
“Dari keamanan, dari Polres Cilegon, Polda Banten dan dari TNI apakah sudah mendapatkan izin? karena pastinya akan melibatkan unsur-unsur tersebut,” ujar Eddy Jhon, saat diwawancarai melalui WhatsApp, Selasa (17/1/2023).
“Nah pertanyaannya sampai saat ini saya belum mendengar perizinannya seperti apa gitu,” imbuh Eddy.
Meski sudah melakukan penjualan tiket, namun Eddy meminta agar Krakatau Sarana Properti harus mengantisipasi pengembalian dana tiket tersebut, karena event tersebut berpotensi dibatalkan dikarenakan belum adanya izin.
“Sedangkan dengan harga tiket yang fantastis tersebut masyarakat Kota Cilegon tetap dan sudah membeli tiket bahkan satu jenis tiket yang telah sold out, tapi ini tidak terdengar perizinannya seperti apa sih, melibatkan siapa saja?” tegas Eddy Jhon.
Lebih lanjut, Eddy Jhon memperingatkan pihak panitia, bahwa apabila perizinan tersebut tidak dipublikasikan secara terbuka, yang melibatkan perizinan dari beberapa pihak seperti aparat, pemerintah, tokoh masyarakat, ulama dan lainnya, maka elemen Gebrak Banten akan menggeruduk pihak penyelenggara untuk menanyakan hal itu.
“Gebrak Banten pastinya akan berkoordinasi ke seluruh ulama dan seluruh masyarakat Kota Cilegon, dan pastinya kami akan membawa seluruh organisasi, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang tergabung dalam Masyarakat Banten Bersatu ingin menanyakan, dan bisa jadi kami akan datang ke lokasi acara tersebut dan menanyakan terkait hal-hal seperti tadi,” tuturnya.
Ia bahkan meminta pihak penyelenggara dalam hal ini Krakatau Sarana Properti untuk membuat dialog publik untuk menyelesaikan kontroversi ini.
“Panitia-panitia kalau bisa dialog bersama kita, dan dimana agar bisa memahami kultur Kota Cilegon,” kata Eddy menerangkan.
Selain dari Gebrak Banten, penolakan pun datang dari salah satu tokoh masyarakat Kota Cilegon, yaitu Ustadz Sunardi Jamud, Ketua Presidium Persatuan Masyarakat Asli Gusuran (PMAG) Krakatau Steel.
Ustadz Sunardi mengatakan, bahwa festival musik yang akan digelar nanti dirasa tidak tepat manfaat dan tidak tepat waktunya.
Terlebih event tersebut diselenggarakan oleh anak usaha Krakatau Steel, dimana kata Ustadz Sunardi, saat ini masyarakat Kota Cilegon tengah berduka dengan banyaknya perubahan kebijakan dari Krakatau Steel Group yang menggeser budaya dan tidak lagi berempati pada perekonomian masyarakat Kota Cilegon.
Ustadz Sunardi menyinggung soal kebijakan pengusiran Pedagang Kaki Lima (PKL) di Kawasan Perumahan yang dikelola PT Krakatau Sarana Properti. Dimana hal itu mengganggu sumber pendapatan masyarakat lokal dan kalangan bawah.
Tokoh agama kharismatik ini juga mengungkapkan soal terjadinya dampak pergeseran budaya dan sosial masyarakat, karena kehadiran industri.
“Seni dan budaya Islam bergeser pada seni dan budaya Westernisasi.
“Aneh bin ajaib di masa sulit, masa lesu, dan sedang berusaha melepaskan dari ragam lilitan hingga menawar-nawarkan asset atau saham, kok malah mau hura-hura mengadakan festival musik segala,” tegas Ustadz Sunardi.
“Gak pas waktunya, lagi di masa sulit malah mau senang-senang,” imbuhnya. (*/Hery)