Keberadaan Gereja Terselubung di Cilegon, Begini Tanggapan Masyarakat
CILEGON – Maraknya keberadaan tempat Ibadah Ummat Kristiani yakni Gereja di beberapa lokasi di Kota Cilegon, mulai ramai diperbincangkan perihal pro dan kontra akan keberadaannya yang dianggap terselebung.
Dari mulai obrolan di Warung Kopi hingga perdebatan di Media Sosial.
Seperti cuitan dari aktivis muda bernama Malik Ibrohim di akun media sosialnya, beberapa hari lalu.
“Mengacu pada Peraturan Daerah masyarakat Link Lembang RT 04/ RW 02 Kelurahan Citangkil, Kecamatan Citangkil, Cilegon-Banten, merasa resah dan tidak setuju dengan adanya Gereja / Tempat Ibadah Non Islam, harapan masyarakat agar aparat kepolisian dan pihak pemerintah menindak tegas sesuai dengan peraturan yg ada,” tulis Malik yang diketahui sebagai pimpinan salah satu Ormas PETA (Pembela Tanah Air) di Banten.
Ormas Pembela Tanah Air (PETA) mengaku sangat menyayangkan dengan adanya tempat ibadah terselubung yang sudah berlangsung lama di Kota Cilegon ini.
“Sangat Di Sayangkan dengan persoalan ini. Aktifitas Gereja Bethel Indonedia / GBI sudah Aktif sejak 2 tahun yang lalu, kenapa pihak aparat dan pemerintah membiarkan sehingga masyarakat menjadi resah. Harapan kami pemerintah daerah segera bertindak tegas agar tidak terjadi konflik di tengah-tengah masyarakat,” ungkapnya lagi.
Namun salah satu akun Achmad Yusron New, yang diketahui sebagai pengurus Ormas LMP (Laskar Merah Putih) justru berkomentar seperti kurang begitu terganggu dengan keberadaan Gereja dan menanggapi lebih meresahkan keberadaan Tempat Hiburan Malam.
Sementara itu tokoh agama H. Bahri Syamsu Arief saat ditemui awak media di kediamannya (10/7/2017), memberikan saran kepada Pemerintah Kota Cilegon dan DPRD agar segera mengambil sikap agar tidak terjadi konflik yang lebih meluas.
Kemudian H. Bahri kemudian membeberkan perihal aturan larangan keberadaan Gereja di Kota Cilegon, yang berawal dari usulan para kasepuhan Ulama Banten khususnya Ulama Cilegon sejak dulu yang tertuang dalam SK Gubernur Jawa Barat, kala itu.
“Wasiat para ulama meminta agar di Cilegon tidak boleh ada Gereja yang kemudian terbitlah SK Gubernur yang melarang adanya gereja dan hanya dibolehkan di Serang, dengan maksud agar terpusat di satu tempat saja, yang seharusnya pada saat Kota Cilegon sudah terpisah dari Serang dan menjadi Pemerintahan Kota Cilegon, harusnya segera mengukuhkannya dengan Perda yang tentunya dengan kajian-kajian terlebih dahulu,” ungkapnya.
Lebih lanjut, tokoh yang pernah aktif sebagai anggota DPRD Cilegon ini mengimbau pihak otoritas di Cilegon untuk mengkaji dan melakukan riset untuk menentukan sikap.
“Kajian-kajian itu nanti akan diketahui secara pasti berapa persenkah sudah masyarakat Non muslim di Kota Cilegon, dengan syarat mutlaknya adalah kembali kepada masyarakatnya, apakah masyarakat mengizinkan? Dan sebaik-baik penolakan itu harus berdasarkan hasil kajian,” ucap Haji Bahri.
Diakhir wawancara dengan awak media, Haji Bahri menegaskan.
“Saya tentu sadar bahwa negara kita adalah negara yang berlandaskan pada Pancasila, saya sangat menghargai adanya perbedaan agama yang tentunya itu sudah menjadi konsekwensi, namun kembali implementasinya kepada masyarakat yang secara mayoritas adalah muslim, apakah iya masyarakat akan mengizinkan rumah ibadah lain berada di tengah-tengah masyarakatnya, dan tentunya sulit akan mengizinkannya, karena dianggap menggangu keyakinan masyarakat Islam,”
“Bukan melarang hanya mohon maaf untuk rumah ibadah non mulsim sudah dipersiapkan di Serang bahkan sudah ada izin resmi, di Serang tidak ada yang mengganggu, itu adalah bukti bahwa rumusan Pancasila itu ada, hanya sekali lagi maaf silahkan di Serang saja, sebab kalau disini akan sangat mengganggu,” tegasnya. (*)