CILEGON – Kasus sengketa kepemilikan ruko di Cilegon Plaza Mandiri, Kota Cilegon, sepertinya belum akan segera selesai dalam waktu dekat ini.
Para pemilik yang hingga kini masih menempati ruko-ruko di area tersebut masih akan terus memperjuangkan hak mereka.
Para pemilik ruko tersebut diketahui sebelumnya membeli properti tersebut secara sah dan beritikad baik. Namun kini, mereka terancam kehilangan hak milik atas bangunan yang sudah dimiliki selama puluhan tahun tersebut.
Diketahui ke 12 pemilik ruko tersebut adalah, SENDY TYAS WIHARJA, H. INDRO SUTRISNO/Hj. BUDI HARTATI, SUSANTI, TJHIA BUI PHIN SILLY, MELIAN FITRIS, LEONILA FARIDA, ALINA OEIDY, SETIANA ,TUTI ARNINGSIH, EDY MULYAWAN HARTONO, LIU SIU HA dan TJHAI PIN TAN.
Para pemilik ruko melalui kuasa hukumnya Rumbi Sitompul, S.H & Partners, sebelumnya telah mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum ke Pengadilan Negeri Serang Nomor: 89/Pdt.G/2021/PN Srg sejak tahun 2021.
Gugatan ini dilayangkan setelah para pemilik merasa hak mereka atas ruko di Cilegon Plaza Mandiri atau biasa disebut di sekitar eks-Matahari Lama, di Jalan SA Tirtayasa, Kota Cilegon, diabaikan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN).
Namun gugatan ini tidak berhasil. Pada 11 Juli 2024, Mahkamah Agung mengeluarkan putusan kasasi Nomor: 2010 K/Pdt/2024, yang menolak gugatan para pemilik ruko. Dengan keputusan ini, status sengketa tersebut kini memiliki kekuatan hukum tetap (inkracht).
Putusan ini dinilai sebagai pukulan telak bagi para pemilik ruko yang telah melakukan pembelian secara sah dan mematuhi segala prosedur hukum yang berlaku.
Upaya Hukum Lanjutan
Rumbi Sitompul selaku kuasa hukum dari 12 pemilik ruko berencana untuk menempuh langkah hukum selanjutnya, mengajukan Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung dan mengajukan gugatan perlawanan dari pihak ketiga (Derden Verzet).
“Kami merasa bahwa klien kami, sebagai pembeli yang beritikad baik, tidak mendapat perlindungan hukum yang semestinya. Oleh karena itu, kami akan mengajukan Peninjauan Kembali dan Derden Verzet, serta mempertimbangkan membawa kasus ini ke KOMNAS HAM karena dinilai telah melanggar hak asasi manusia para pemilik ruko,” ungkap Rumbi kepada wartawan, Sabtu (5/10/2024).
Latar Belakang Sengketa
Permasalahan ini berawal dari adanya Hak Pengelolaan (HPL) yang diakui oleh pemerintah setempat atas tanah yang ditempati oleh ruko-ruko tersebut.
Para pemilik ruko sebelumnya mendapatkan sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) dari Badan Pertanahan Nasional (BPN), dan sejak awal tidak pernah diberi tahu tentang adanya HPL di atas tanah tersebut.
Pada periode 1992 hingga 1996, para pemilik membeli ruko tersebut dari PT Genta Kumala melalui akta jual beli yang sah di hadapan notaris. Mereka juga telah memperoleh sertifikat HGB untuk ruko masing-masing.
Saat proses pembelian berlangsung, PT Genta Kumala menyatakan bahwa sertifikat induk tanah, yaitu HGB No. 107, akan dipecah untuk setiap ruko. Pada saat itu, PT Genta Kumala juga menjanjikan bahwa status HGB bisa diubah menjadi hak milik setelah 20 tahun.
Namun, masalah muncul ketika pada tahun 2012, Pemkot Cilegon mengajukan klaim bahwa tanah tersebut sebenarnya adalah tanah yang dikelola melalui HPL oleh pemerintah daerah. Mereka menegaskan bahwa tanah tersebut bukan milik PT Genta Kumala, melainkan tanah negara yang berada di bawah pengelolaan Pemkot Cilegon.
Posisi Hukum Pembeli Beritikad Baik
Menurut berbagai ketentuan hukum di Indonesia, pembeli yang beritikad baik seharusnya mendapat perlindungan hukum yang kuat.
Beberapa putusan Mahkamah Agung, termasuk Putusan No. 251 K/Sip/1958 dan Yurisprudensi No. 1230 K/Sip/1980, menegaskan bahwa pembeli yang tidak mengetahui adanya cacat atau masalah hukum dalam objek yang dibelinya harus mendapatkan perlindungan hukum.
SEMA (Surat Edaran Mahkamah Agung) No. 7/2012 juga menyebutkan bahwa pembeli beritikad baik harus dilindungi, meskipun di kemudian hari diketahui bahwa penjual tidak memiliki hak penuh atas tanah tersebut.
Para pemilik ruko merasa bahwa mereka memenuhi syarat sebagai pembeli beritikad baik karena telah melakukan pembelian sesuai prosedur yang sah. Mereka juga sudah membayar Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) serta Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) selama bertahun-tahun.
“Para pemilik ruko ini bahkan taat selama ini taat aturan dengan membayar pajak PBB hingga tahun 2017, sebelum akhirnya disetop sendiri oleh Pemkot Cilegon. Padahal HGB pemilik ruko sudah tidak bisa diperpanjang sejak 2012, tapi Pemerintah kenapa tetap memungut PBB sampai 2017, dan itu pun para pemilik ini menaati ketentuan itu,” jelas Rumbi.
“Berdasarkan hal ini, terbukti kan bahwa mereka ini adalah warga negara dan sebagai pembeli yang beritikad baik. Seharusnya status kepemilikan mereka bisa diakui oleh Pemerintah,” imbuhnya.
Gugatan yang Ditolak Pengadilan
Pada 2021, para pemilik ruko mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum (Onrechtmatige Daad) ke Pengadilan Negeri Serang dengan harapan mendapatkan perlindungan hukum terhadap hak kepemilikan mereka.
Namun, pada 12 April 2022, PN Serang menolak gugatan tersebut, dan justru mengabulkan gugatan balik yang diajukan oleh Pemkot Cilegon, yang menuduh para pemilik ruko telah melakukan perbuatan melawan hukum.
Tidak puas dengan keputusan ini, para pemilik ruko mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Banten. Namun, pada 5 Juli 2022, Pengadilan Tinggi Banten menguatkan putusan PN Serang.
Selanjutnya, mereka mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung, tetapi permohonan ini pun ditolak pada tahun 2024.
Harapan Pemilik Ruko
Setelah serangkaian kegagalan di pengadilan, para pemilik ruko masih berharap ada solusi yang adil bagi mereka.
Mereka meminta agar Pemkot Cilegon memberikan ganti rugi yang layak jika ruko-ruko tersebut memang harus dikosongkan. Selain itu, mereka juga meminta perpanjangan HGB selama 20 tahun sebagai bentuk kompromi, agar dapat mengembalikan modal yang sudah mereka keluarkan untuk membeli ruko tersebut.
Mereka juga menekankan pentingnya dialog antara pemerintah dan pemilik ruko. Menurut mereka, tindakan sepihak yang dilakukan pemerintah hanya akan memperparah situasi dan menambah ketidakpastian hukum.
“Kami berharap pemerintah lebih mengutamakan dialog dan negosiasi daripada mengambil tindakan sepihak. Kami hanya ingin hak klien kami sebagai pembeli beritikad baik diakui dan dihormati,” tegas Rumbi.
Tjhia Bui Phin Silly, pemilik ruko Pulau Indah, berharap Pemerintah Kota Cilegon bijaksana dan ikut memperhatikan hak-hak warganya dalam kasus ini.
“Dalam masalah ini sebenarnya kami bukan berhadapan dengan Pemerintah, kami dibohongi oleh PT Genta Kumala. Hanya saja kami ini juga kan warga negara dan saya sudah sejak 1982 ada di Cilegon ini, tolong lah berbaik hati lah pemerintah kepada kami warganya ini,” ungkap Phin Silly.
Kepastian Hukum Status Tanah yang Dipertanyakan
Kasus ini juga menyoroti masalah ketidakpastian hukum terkait status HGB dan HPL. Para pemilik ruko merasa diperlakukan tidak adil karena mereka membeli properti tersebut dengan keyakinan penuh bahwa status hukum tanah yang dibeli sudah sah.
Bahkan, dalam proses jual beli di hadapan notaris, dan juga dalam sertifikat HGB yang dipegang para pemilik tidak pernah disebutkan bahwa tanah tersebut berada di atas HPL.
Ketidakpastian ini semakin diperkuat oleh pernyataan dari pihak BPN Kota Cilegon, yang mengakui bahwa mereka belum bisa memastikan apakah sertifikat HGB yang dimiliki para pemilik ruko berada di atas HPL atau tidak.
“Sebelumnya para pemilik sudah ada pertemuan dan kami pertanyakan hal ini kepada BPN, bahkan Kepala Seksi Tanah dan Pendaftaran Tanah BPN Cilegon, I Nyoman Marta saat itu mengungkapkan bahwa status tanah tersebut masih perlu diteliti lebih lanjut. Ini kan jadi salah satu bukti, masih adanya keragu-raguan dari status tanah tersebut,” jelas Rumbi lagi.
Sementara itu, Tjhia Bui Phin Silly, pemilik ruko Pulau Indah di lokasi tersebut, mengaku dirinya juga pernah membeli kios di gedung utama Cilegon Plaza Mandiri atau Eks Matahari Lama.
Status kepemilikan kios tersebut sejak awal diberi tahu bahwa di atas HPL, dan sejak awal membeli tidak mendapatkan HGB, berbeda dengan yang dialami saat membeli Ruko.
“Saya juga membeli kios di Plaza Matahari Lama di Lantai 6, dan sudah dikembalikan, kalau di ruko yang kiri kanan perlakuannya berbeda dengan kios itu,” jelas Phin Silly.
“Yang kios di gedung tengah kita tahu itu 20 tahun, kertasnya hanya satu lembar, semacam bukti sewa, kita juga tahu itu hanya kepemilikan sementara,” imbuhnya.
Hal senada diungkapkan Haji Indro Sutrisno, yang mengakui bahwa dari keterangan sejumlah saksi bahwa sertifikat HGB yang dimiliki oleh para pemilik ruko sejak awal tidak ada diketahui di atas HPL Pemerintah.
“Pemerintah ini kan abdi rakyat, seharusnya tidak mempersulit rakyat, dan harus melindungi hak rakyat. Saya kita PT Genta Kumala ini menipu kita,” tegas Haji Indro.
Para pemilik berharap bahwa tidak ada eksekusi segera yang dilakukan oleh Pengadilan dan Pemkot Cilegon atas ruko-ruko tersebut.
“Kami ini jadi korban, mohon jangan dieksekusi, karena kami ini sebenarnya tidak menuntut pemerintah, tetapi kepada PT Genta Kumala, harusnya kami dilindungi oleh pemerintah,” tegas Haji Indro.
Meskipun gugatan hukum mereka telah kandas di tiga tingkatan pengadilan, para pemilik ruko tetap berusaha mencari keadilan. Mereka berharap bahwa pemerintah dan lembaga penegak hukum dapat memberikan solusi yang adil atas permasalahan yang mereka hadapi. (*/Ika)