Perdebatan Calon Pembantu

Sekda Pelantikan DPRD

FAKTABANTEN – Opini ini terinspirasi ketika penulis mengikuti Kenduri Cinta di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pada Jum’at malam sampai Sabtu pagi (14-15/9/2018) dengan tema: Indo Auto Nesia, diskusi rutin yang diisi oleh Mbah Nun atau Cak Nun dengan didampingi berbagai tokoh.

Seperti diketahui bahwa akhir-akhir ini terasa tendensius ketika kita berbicara Pemilihan Presiden pada Pemilu 2019. Padahal sangat lah wajar apabila kita yang notabene masyarakat Indonesia sebagai pemegang kekuasaan tertinggi atau pemegang saham jika diibaratkan perusahaan, pembicaraan menjadi tendensius karena masing-masing dari kita terbawa isu yang menitik beratkan pada menang atau kalah pasangan calon sehingga perdebatan yang terjadi dukung mendukung dan cenderung materalis.

Bentuk diskusi seperti yang terjadi di akar rumput seolah sengaja di buat dengan berbagai isu yang dikonsumsi oleh kita sehari-hari mengenai masalah Pilpres.

Untuk mendudukkan itu, kita perlu tahu bahwa pemimpin merupakan manusia pilihan, manusia utuh digambarkan dalam bentuk Sholat. Berdiri itu diibaratkan kita bersama pepohonan, rukuk seperti hewan, duduk diantara dua sujud merupakan transformasi dari hewan ke manusia, dan sujud merupakan bentuk yang sempurna sebagai manusia dimana kepala kita lebih rendah dari dubur.

Dari penjelasan diatas, jelas bahwa pimpinan baik pusat ataupun daerah sampai ke tingkat rendah harusnya melayani tuannya bahkan sampai mau untuk bersujud demi kesejahteraan dan kemakmuran tuannya. Jika surga anak ada di orang tua, istri pada suami, maka surga pemimpin itu di Rakyat yang dipimpinnya.

Kedudukan pemimpin sebagai pemakmur Tuannya yang dalam hal ini Rakyat Indonesia tanpa terkecuali sebagai pemilik kekuasaan tertinggi, bukan terbalik seolah-olah balas jasa atas keringat yang dikeluarkan oleh pendukungnya baik moril atau materil.

Lantik dprd

Jadi sangat jelas, perdebatan dukung mendukung seperti kampanye dimana yang baik dijelekkan, yang jelek dibuat bagus, kebagusan dibuat sangat bagus, dan kejelekan dibuat jelas terlihat kesalahan. Perdebatan itu kurang tepat karena posisi pemimpin dan Tuannya sangat jelas digambarkan di atas.

Untuk menilik lebih dalam, penulis gambarkan Sengkuni, mari kita lihat kisahnya dalam cerita pewayangan bahwa keluarga besar Sengkuni yang berjumlah kurang lebih 101 orang dipenjara oleh Raja Astinapura di mana Sang Raja mengawini Kakak Sengkuni, jadi total 102 orang.

Keluarga Sengkuni dipenjara berawal ketika Sang Raja tahu bahwa istrinya yang merupakan Kakak Sengkuni telah berkawin dengan seekor Kambing guna mencocokan perhitungan tanggal lahir pasangan tidak cocok, jalan satu-satunya pihak perempuan harus Janda sehingga kecocokan terjadi. Karena amarah yang luar biasa mengetahui bahwa istrinya adalah Janda dari Kambing, maka ia memenjarakan seluruh keluarga besar Sangkuni.

Di dalam penjara seluruh Keluarga diberi makan sebutir nasi dalam sehari, lalu mereka berkumpul dan bersepakat harus ada yang hidup dan itu adalah Sengkuni dan semua keluarga menyerahkan jatah sebutir nasi kepadanya, secara tidak langsung ia harus memakan Ayah, Ibu, dan semua sanak saudara untuk bertahan hidup melanjutkan keturunan.

Sejarah penderitaan itu hanya menjadikan Sengkuni ‘tukang hasut’ terlalu kecil dengan penderitaan yang dialami dan tidak korupsi pula, harusnya dengan sejarah penderitaan yang sangat pahit itu Sengkuni berhak menjadi teroris menghancurkan Kerajaan Astinapura.

Dari kisah di atas sedikitnya memperjelas gambaran yang seharusnya dilakukan oleh pemimpin walaupun dalam sejarah hidupnya terdapat kepahitan yang bisa jadi tidak sepahit Sengkuni, dimana harus secara tidak langsung memakan seluruh keluarganya demi bertahan hidup. (*/Do’a Emak)

[socialpoll id=”2513964″]

Dinkes HUT Helldy
WP-Backgrounds Lite by InoPlugs Web Design and Juwelier Schönmann 1010 Wien