Sengketa Pulau Sangiang Tak Selesai, AGRA Nilai Reforma Agraria Ala Jokowi Palsu
CILEGON – Ketua Dewan Pembina Partai Amanat Nasional (PAN) Amien Rais mengatakan saat jadi pembicara diskusi ‘Bandung Informal Meeting’ yang digelar di Hotel Savoy Homman, Jalan Asia Afrika, Bandung, Minggu (18/3/2018), bahwa pembagian sertifikat tanah oleh Presiden Jokowi kepada masyarakat Indonesia adalah sebuah “pengibulan”.
Alasannya, meski sertifikat tanah dibagikan namun 74 persen tanah di Indonesia dikuasai oleh sekelompok tertentu saja.
Pernyataan Amien menjadi viral di media sosial dan dianggap mengganggu citra pemerintahan. Pernyataan tersebut juga langsung mendapat respon dari Menteri Koordinator Kemaritiman, Luhut Binsar Panjaitan. Luhut mengancam akan membuka dosa besar politikus senior yang mengkritik pemerintah asal-asalan. Pernyataan ini sebagai respon kepada pihak yang mengkritik pemerintah. PAN menilai bahwa ancaman tersebut mengarah kepada Amien Rais.
Lantas, bagaimana sebenarnya progam bagi-bagi sertifikat tanah tersebut?
Dalam kampanye Pilpres Tahun 2014, Presiden Jokowi menagetkan sembila juta hektar sebagai bentuk reforma agraria dalam program nawacita. Namun, Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA), reforma agraria yang dilakukan oleh pemerintah adalah reforma agraria palsu bukan reforma agraria sejati.
Dalam sikapnya AGRA menilai, Reforma Agraria (RA) yang akan dijalankan oleh Pemerintah Jokowi-JK adalah reforma agraria palsu. Ini bukanlah reforma agraria sejati sebagaimana harapan kaum tani dan rakyat Indonesia di seluruh penjuru negeri.
Reforma agraria sejati harus dapat menjadi jalan untuk mengakhiri penghisapan dan penindasan kaum tani dan rakyat Indonesia akibat monopoli, perampasan tanah, dan konflik agraria.
Tahun 2016, Jokowi telah mengumumkan program percepatan pelaksanaan program strategis nasional reforma agraria. Kebijakan ini berdasar pada Rencana Kerja Pemerintah (RKP) tahun 2017, khsususnya untuk prioritas nasional reforma agraria yang dipimpin melalui Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) dan Kementerian Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas).
Lebih lanjut, pada 3 Juni 2016, telah dibentuk Tim Kerja Reforma Agraria melalui Kantor Staf Kepresidenan (KSP) yang telah menyusun persiapan dan pelaksanaan reforma agraria dengan koordinasi dengan sejumlah Kementerian dan Lembaga terkait. Strategi Nasional (Stranas) Pelaksanaan Reforma Agraria 2016-2019 telah disosialisasikan di provinsi Jambi, Kalimantan Barat, dan Sulawesi Tengah (Juli – Agustus 2016).
Dari Stranas ini dapat dicermati bahwa target pencapaian utama RA Jokowi melalui dua skema pelaksanaan. Pertama, terget pencapaian 9 juta Ha; 4,5 juta Ha untuk legalisasi dan 4,5 juta Ha untuk redistribusi lahan. dengan rincian sebagai berikut 4,1 pelepasan kawasan Hutan yang akan terhubung dengan program trasmigrasi. 3,9 juta hektar berasal dari tanah milik masyarakat yag akan di legaliasai oleh BPN dan 1 juta hektar merupakan tanah HAK (HGU, tanah Transmigrasi belum tersertifikasi dan tanah terlantar) terdiri dari 0,6 juta hektar tanah transmigrasi yang belum di sertifikat dan 0,4 juta hektar tanah eks HGU dan tanah terlantar.
Kedua, target pencapaian 12,7 juta Ha untuk alokasi Perhutanan Sosial seperti Hutan Kemasyarakatan (HKm), Hutan Desa (HD), dan Hutan Tanaman Rakyat (HTR).
Dari kedua target ini diketahui bahwa:
Pertama, Inti dari kebijakan RA Jokowi adalah legalisasi asset atau sertifikatisasi yang justru berorientasi untuk memperluas pasar tanah (land market) dan kredit perbankan. Dalam jangka panjang, program ini semakin membuka peluang perampasan tanah karena sertifikasi hanya akan memudahkan praktik jual-beli tanah yang menguntungkan tuan tanah dan perbankan yang menyita asset kaum tani. Program ini terkait dengan skema Bank Dunia sebelumnya melalui Land Administration Project (LAP).
Tanah perhutanan tidak dibagikan dengan memberikan hak penuh kepada rakyat namun dijalankan dengan skema tumpang sari yang memungkinkan terjadinya sistem bagi hasil yang tidak adil. Selain itu, lahan hasil redistribusi intinya hanya menyasar seluas 400.000 Ha tanah bekas HGU dan tanah telantar, bukan mengakhiri eksistensi monopoli tanah yang saat ini masih berlanjut. Dengan program ini, Reforma Agraria pemerintahan Jokowi justru akan melestarikan monopoli tanah oleh korporasi skala besar yang tetap berkuasa memonopoli tanah, menghisap dan menindas buruh tani dan tani miskin.
Kedua, Program Reforma Agraria Jokowi tidak memiliki ketegasan terhadap penguasaan tanah besar jutaan hektar (perkebunan besar, hutan, Taman Nasional, dan pertambangan raksasa) oleh tuan tanah besar yang diwakili korporasi raksasa milik asing, perusahaan besar Negara, dan swasta dalam negeri sebagai dasar kokohnya sistem monopoli tanah dalam sistem pertanian terbelakang di Indonesia. Hal inilah yang menyebabkan keterbelakangan tenaga produktif di perdesaan, kemiskinan dan kemalaratan yang meluas, dan kekerasan yang dialami petani dan rakyat akibat perampasan tanah.
Ketiga, Program RA Jokowi tidak memiliki kontrol atas sarana produksi (bibit, pupuk, obat-obatan, teknologi dan alat kerja) dan harga produk pertanian sehingga dapat melindungi kaum tani. Sebaliknya, Negara hanya memberikan keleluasaan bagi perusahaan besar asing mengontrol sarana produksi dan harga pertanian. Kondisi ini akan semakin memburuk ketika Pemerintah tidak mampu menjamin upah dan perbaikan penghidupan kaum tani, semakin besarnya peribaan (bunga kredit perbankan, lintah darat) karena kegagalan dalam meningkatkan produksi dan perekonomian tani.
Keempat, RA Jokowi tidak lahir dari dukungan langsung dan menyeluruh dari kaum tani Indonesia melalui organisasi massa tani. Proses penyusunan program dan tim kerja RA Jokowi tidak mewakili posisi kaum tani dan organisasinya di dalam keseluruhan proses persiapan dan pelaskanaan RA Jokowi.
AGRA dan kaum tani berpendirian bahwa reforma agraria sejati memastikan perombakan struktur agraria secara menyeluruh, tidak parsial. Reforma agraria sejati menjadi dasar utama pembangunan industri nasional sehingga dapat menjadi jalan bagi seluruh masalah rakyat Indonesia secara ekonomi, politik, dan kebudayaan.
Melihat Kasus di Banten
Di Banten, terdapat Konflik Agraria, diantaranya Taman Nasion Ujung Kulon, Perhutani, dan di tempat-tempat lain yang dijadikan area Proyek Strategis Nasional. Termasuk yang dijadikan sebagai kawasan industri, pariwisata dan area pendukungnya. hingga yang terkini adalah kasus Pulau Sangiang, di Kecamatan Anyer, Kabupaten Serang.
Beberapa waktu lalu, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan meninjau Pulau Sangiang melalui Dirjen Penyelesaian Konflik KLHK. Mereka membuat Hutan Sosial yang berada di Taman Wisata Alam (TWA) Pulau Sangiang untuk dapat digunakan oleh warga seluas 50 hektar.
Namun, persoalan kembali mencuat lantaran Pulau Sangiang saat ini memiliki konflik antara masyarakat PT Pondok Kalimaya Putih (PKP) dan juga terlibat di dalamnya pengelola Taman Wisata Alam (TWA) dari KLHK. Dalam proses pengukuran yang dilakukan oleh KLHK, tidak ada batasan yang jelas, mana milik warga, mana milik PT PKP mana milik TWA.
Warga menilai, Pulau Sangiang merupakan Pulau ulayat atau adat. Namun dalam rentang beberapa waktu terdapat tiga kepemilikan tanpa warga mengetahui.
Terdapat indikasi gesekan sosial antar warga dalam pembagian 50 hektar tersebut.
Muhibudin, dari Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA) Wilayah Banten menilai, pembagian hutan sosial tersebut tidak menyelesaikan masalah. Lantaran, tuntutan warga saat ini adalah kembalikan hak tanah adat Pulau Sangiang, bukan menambah gesekan sosial dengaan hutan sosial.
Persoalannya, untuk pertanian warga sudah dari dulu ada, persoalannya bukan keterbatasan lahan. Tapi penyerobotan lahan yang dilakukan oleh perusahaan. Masyarakat Pulau Sangiang geram karena ada Babi Hutan yang merusak pertanian mereka.
“Pemangku kebijakan harusnya mengusir perusahaan dan mengembalikan hak adat tanah Pulau Sangiang,” ungkap Muhib kepada faktabanten.co.id, Jum’at (23/3/2018).
Saat ini, AGRA menjadi satu-satunya organisasi yang menolak Reforma Agraria ala Jokowi melalui Kantor Sekretariat Presiden (KSP). (*/Cholis)