Warga Banten Kirim Petisi ke Pengadilan Korea, Minta Hentikan Pendanaan Proyek PLTU Suralaya

Sankyu

CILEGON – Masyarakat Banten mengirimkan petisi kepada Perdana Menteri Korea Moon Jae-In, dan Pimpinan Dewan Nasional Iklim dan Udara Bersih Korea Ban Ki Moon, untuk meminta penghentian dukungan pendanaan Korea terhadap proyek PLTU batu bara Jawa 9-10 di Suralaya, Kecamatan Pulomerak, Kota Cilegon.

Tiga orang warga Banten bergabung dengan warga Korea memasukkan gugatan hukum preliminary injunction di Pengadilan Tingkat 1 terhadap lembaga keuangan publik Korea.

Seorang warga Banten, Joko Suralaya (bukan nama sebenarnya), dalam petisinya ke PM Moon Jae-In dan Ban Ki-Moon menuliskan bahwa dia yakin banyaknya cerobong PLTU di Suralaya yang sekarang beroperasi sebagai penyebab tercemarnya udara di Banten. Ia yakin, paparan polusi bertahun-tahun telah menyebabkan ayahnya terkena kanker otak.

“PLTU baru akan sangat membahayakan kesehatan kami. Ayah saya meninggal karena kanker otak, dan polusi udara banyak berhubungan dengan penyakitnya. Saya tidak ingin tragedi lain terjadi. Saya hanya ingin bayi saya yang berusia 6 bulan dapat tumbuh di lingkungan yang lebih baik,” tulisnya di surat petisi yang juga disampaikan ke pengadilan, seperti dikutip dari trendasia.org, Kamis (29/8/2019).

Proyek PLTU batu bara Jawa 9-10 Suralaya yang berkapasitas 2,000 MW dengan nilai 33 miliar dollar Amerika ini ditargetkan dibangun pada 2019 dan selesai pada 2024. Rencananya, pembangunan dilakukan oleh PT Indoraya Tenaga, anak perusahaan patungan PT Indonesia Power dengan Barito Pasific. Sementara teknologi dan konstruksinya menggandeng Doosan Heavy Industries dan Korea Midland Power.

Sumber pendanaan proyek ini diketahui berasal dari Korea Development Bank (KDB), Korea Export-Import Bank (KEXIM) dan Korea Trade Insurance Corporation (K-SURE) yang akan diputuskan akhir tahun ini.

Diketahui, penduduk setempat telah mendapat pukulan langsung dari cepatnya peningkatan jumlah PLTU di wilayah Banten. Perairan Selat Sunda, yang merupakan sumber pendapatan terbesar bagi warga lokal, kini telah merosot produktivitasnya seiring dengan berkurangnya pendapatan dari pertanian dan perikanan. Warga lokal juga menderita akibat meningkatnya penyakit pernafasan dan kardiovaskular.

Meskipun polusi udara telah menimbulkan keprihatinan serius dari publik, dampak kerusakan dari 22 PLTU yang saat ini beroperasi di sekitar wilayah Banten dan Jakarta, kini akan diperparah dengan tambahan 7 pembangkit baru.

Para penggugat bukanlah satu-satunya yang menderita dari PLTU-PLTU tersebut. Warga Jakarta diketahui juga telah memasukkan gugatan terhadap otoritas pemerintah pada Juli tahun ini dengan alasan bertanggung jawab atas penurunan kualitas udara.

Sekda ramadhan

Karena lembaga keuangan publik Korea telah berinvestasi dalam PLTU yang saat ini beroperasi di Indonesia seperti Cirebon 1 dan 2 serta Kalsel, Pemerintah Korea dituntut untuk tidak bebas dari tanggung jawab terhadap kondisi yang terjadi saat ini.

Para penggugat mengkritik Pemerintahan Korea karena menyediakan dana publik yang masif melalui lembaga keuangan yang dikontrol pemerintah untuk proyek-proyek batu bara di luar negeri, sementara di dalam negeri menghapus batu bara untuk melindungi warganya. Para penggugat juga menjelaskan bahwa pembangunan PLTU melanggar hak konstitusional mereka untuk hidup sehat.

Salah satu penggugat, Wahyudin (28), yang keluarganya tinggal dekat PLTU, menjelaskan dampak negatif dari PLTU terhadap masyarakat sekitarnya.

“Saya mendengar bahwa semakin sedikit ikan di perairan sekitar PLTU dan banyak antrean di rumah sakit dekat PLTU karena warga terkena penyakit pernafasan dan kulit. Kita perlu menghentikan PLTU batu bara baru ini,” katanya.

Begitu juga tulisan dari Sunja Hwang (57), penggugat dari Korea yang berharap uang pajak rakyat Korea yang dikelola oleh pemerintah digunakan untuk kebaikan, bukan memberikan ancaman.

“Saya ingin uang pajak saya digunakan dengan baik. Uang dari pajak kami seharusnya tidak digunakan untuk mengancam hidup orang di negara lain. Industri batu bara saat ini sedang merosot. Akan sangat sia-sia berinvestasi pada sesuatu yang pasti akan menghasilkan kerugian,” ucapnya.

Diketahui, peletakan batu pertama pembangunan PLTU Jawa 9 dan 10 dilakukan langsung oleh Presiden Jokowi pada Oktober 2017. Pada saat itu, bukannya mempertimbangkan keselamatan rakyat dari paparan polusi yang semakin parah dengan penambahan PLTU baru, Jokowi justru mempercepatnya dari yang direncanakan pada 2020 menjadi 2019.

Gugatan ke Pengadilan Korea ini menjadi jalan bagi warga dalam menyelamatkan masa depan keluarga mereka dan sekaligus mempertanyakan komitmen presiden Indonesia untuk melindungi rakyatnya.

Korea adalah satu di antara tiga teratas investor PLTU di dunia dan telah membangun banyak pembangkit di kawasan Asia Tenggara. Total pendanaan yang disediakan untuk proyek pembangkit batu bara asing oleh KEXIM dan K-SURE dalam 10 tahun terakhir mencapai 9,3 juta dollar Amerika. Investasi sebesar ini dinilai bertentangan dengan target kenaikan 1,5 derajat suhu yang disepakati dunia. (*/Ilung)

Honda