Akademisi: Pascareformasi Konflik Indonesia Meningkat
SERANG – Akademisi Untirta Ail Muldi mengungkapkan bahwa, Pascareformasi, jumlah konflik yang terakumulasi meningkat, hal tersebut berdasarkan hasil dari laporan Konsorsium Pembangunan Agraria (KPA).
Sedangkan berdasarkan riset yang dilakukan oleh Bank Dunia, peningkatan-peningkatan konflik tersebut terjadi akibat tingginya konsesi Pemerintah Daerah dalam pengelolaan Sumber Daya Alam kepada perusahaan.
“Terdapat tiga aktor yang ada dalam konflik-konflik saat ini, yaitu Pemerintah Daerah, Perusahaan dan masyarakat lokal,” ujar Ail saat acara diskusi bulanan bertajuk ‘Konflik Resolusi, Demokrasi dan Suara Kaum Miskin’ di Coloni Lebah, Serang, Selasa (8/10/2019).
Menurutnya, peran Pemda dalam konflik tersebut dianggap belum modernnya pengelolaan pemerintah dalam rangka mencari sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD), sehingga lebih berfikir singkat dalam meningkatkannya.
“Pasca-otonomi daerah, Pemda cenderung memudahkan investasi. Akhirnya berdampak terhadap marginalisasi masyarakat lokal yang menjadikan SDA sebagai sumber penghidupan,” jelasnya.
Dengan adanya hal tersebut, pada akhirnya muncul konflik antara masyarakat dengan Pemda maupun perusahaan. Beberapa konflik tersebut banyak diisi dengan kekerasan, baik dalam menyampaikan pendapat, maupun saaat pengamanannya.
“Dalam menyelesaikan konflik ada tiga cara, dari persuasif, kohersif atau reward. Namun beberapa konflik yang terjadi dengan kekerasan, dirasa rasional dengan alasan mengganggu penghidupan masyarakat,” paparnya.
Ia mencontohkan dalam kasus penambangan pasir di Kecamatan Pontang, Kabupaten Serang. Dimana proses konflik sudah sampai aksi radikal.
“Ada dua solusi dalam menyelesaikan konflik yang saya tawarkan, pertama adalah dialog konstruktif, yang kedua adalah join action,” ungkapnya.
Di tempat yang sama, anggota DPRD Banten dari Fraksi Gerindra Encop Sofia menyatakan, seluruh elemen saat ini harus terus bergerak. Baik dari struktural maupun di akar rumput masyarakat.
“Kita tidak boleh berhenti bergerak, karena kalau kita berhenti bergerak, berarti kita mati,” ucap Encop.
Walaupun saat ini Encop tergabung dalam struktural DPRD, namun Ia mengaku bahwa demonstrasi yang dilakukan oleh masyarakat sipil, baik yang diwakili oleh LSM maupun mahasiswa dan kelompok masyarakat merupakan hal yang baik.
“Saya justru senang ada demonstrasi di DPRD. Karena saya menganggap hal tersebut bukan mendemo saya sebagai individu, tapi mendemo kebijakan,” jelasnya.
Menurutnya, dalam kerja DPRD yang kolektif kolegial, bisa saja ada masukan kebijakan yang tercecer, atau suara yang belum terwakilkan dengan baik. Namun hal tersebut bukan berarti menjadi alasan untuk antipati terhadap organisasi struktural pemerintahan.
“Walaupun sering tidak berpihak terhadap rakyat, tapi kita harus lihat satu persatu orang-orangnya untuk diajak bergerak bersama. Tidak dalam satu gerakan, tapi outputnya sama,” tuturnya.
“Kita ini tidak boleh berhenti untuk bergerak. Karena kalau berhenti bergerak kita mati,” tandasnya (*/Qih)