BPK: Krakatau Steel Harus Hentikan Proyek Blast Furnace!

DPRD Pandeglang Adhyaksa

JAKARTA – Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyatakan PT Krakatau Steel Tbk (KRAS) harus menghentikan proyek pabrik baja dengan teknologi tanur tiup atau blast furnace. Persoalan ini juga disoroti oleh mantan Komisaris Independen Roy Maningkas karena dinilai bakal merugikan Krakatau Steel.

Anggota III Badan Pemeriksa Keuangan Acshanul Qosasi menilai proyek pabrik baja dengan teknologi blast furnace lebih baik dihentikan karena adanya pemborosan. Blast Furnace atau biasa juga disebut dengan tanur tiup digunakan untuk mereduksi secara kimia dan mengkonversi secara fisik bijih besi yang padat.

“Proses produksi terlalu panjang, sekarang untuk lebih efisien, dihentikan saja,” kata Achsanul kepada CNBC Indonesia, Selasa (30/7/2019).

Tidak hanya itu, Achsanul juga mencermati emiten produsen baja pelat merah itu menghadapi tantangan yang berat di tengah ketatnya persaingan industri baja. “Krakatau Steel harus memperbaiki diri untuk menghadapi persaingan baja dengan perusahaan China,” kata Achsanul menambahkan.

Sebelumnya, Direktur Utama Silmy Karim PT Krakatau Steel Tbk (KRAS) menyatakan proyek pabrik baja dengan teknologi blast furnace harus dilanjutkan. Proyek pabrik baja berbasis teknologi blast furnace ini sudah diinisiasi 10 tahun lalu, namun sampai saat ini belum terealisasi.

Pembangunan blast furnace complex (BFC) KRAS mencakup Sintering Plant, Coke Oven Plant, Blast Furnace dan Hot Metal Treatment Plant dengan kapasitas produksi 1,2 juta ton baja per tahun. 

Silmyyang mulai memimpin BUMN baja tersebut pada September 2018 menegaskan bahwa ketika dia pertama kali masuk, banyak persoalan melingkupi Krakatau Steel.

Loading...

Persoalan-persoalan tersebut kemudian difilter dan dicari solusi terbaik untuk mengatasinya, salah satunya Proyek Blast Furnace.

“Sebenarnya proyek ini dicanangkan 10 tahun lalu, harusnya sudah jadi tahun 2015. Ketika saya masuk [September 2018], saya paksa proyek itu selesai, itu tugas kita [manajemen baru], terus otomatis proyek itu selesai. Setelah itu ya harus test, dengan test itu kita tahu bener atau tidak proyek itu,” kata Silmy dalam talkshow di CNBC Indonesia, Rabu (24/7/2019).

Dia menegaskan dengan adanya performance test itu akan kelihatan apakah tujuan proyek tersebut sudah sesuai dengan feasibility study (FS, studi kelayakan) atau tidak.

Menurut dia, alangkah lebih baik jika yang membuktikan ketidaklayakan proyek itu dari hasil tes dilakukan oleh pihak ketiga sehingga bisa ditarik justifikasi apakah memang benar proyek itu dilanjutkan atau ada opsi untuk menyetop proyek itu.

“Buat kita manajemen baru tak ada beban masa lalu di KRAS, dilanjutkan atau disetop proyek ini adalah bagian dari suatu proses, yang terpenting proyek ini selesai,” tegas mantan CEO Barata Indonesia ini.

“Kalau mangkrak [proyek Blast Furnace] akan lebih parah, mengenai 3 bulan operasi atau 1 tahun operasi, itu berdasarkan pengujian tes, realibilty-nya bagaimana. Udah gitu oh ternyata mahal tak sesuai FS, karena naiknya harga gas, lalu investasi membengkak, lalu dicari solusinya, setop atau dikasi penambahan sistem, karena ini masih masih sistem lama.”

Komisaris Independen Krakatau Steel, Roy Maningkas mengungkapkan bahwa proyek Blast Furnace itu bisa membuat perusahaan merugi hingga Rp 1,17 triliun- 1,38 triliun per tahun (US$ 85-96 juta). Pasalnya, harga pokok produksi dari Blast Furnace justru menjadi lebih mahal, otomatis harga produk pun akan lebih mahal di pasaran.

“Saya menghitung harga pokok produksi akan lebih mahal sekitar US$ 70-82 per ton. Kalau kapasitasnya 1,2 juta ton kan besar sekali kerugiannya,” kata Roy kepada CNBC Indonesia, Rabu (24/07/2019). (*/CNBC)

WP-Backgrounds Lite by InoPlugs Web Design and Juwelier Schönmann 1010 Wien